100 Hari Anies-Sandi
A
A
A
GUBERNUR dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno genap 100 hari memimpin Jakarta. Pasangan ini dilantik pada 16 Oktober 2017 seusai terpilih melalui Pilkada DKI Jakarta. Sejumlah program kerja yang sudah dilaksanakan oleh Anies dan Sandi. Sebagian besar merupakan bagian dari 23 janji kampanyenya saat pilkada.
Waktu 100 hari tentu tidak ideal untuk jadi dasar mengukur pencapaian Anies-Sandi dalam memimpin Jakarta. Durasi tersebut terlalu pendek untuk menyimpulkan keduanya berhasil atau gagal dalam menjalankan sebuah program.
Namun, ada sejumlah hal menarik untuk dilihat kembali di masa awal pemerintahan keduanya. Apalagi, sejumlah kebijakan yang dibuat sempat memicu pro-kontra yang tajam. Sebutlah misalnya keberaniannya dalam menutup Hotel Alexis yang di masa pemerintahan sebelumnya bisa dikatakan nyaris tak tersentuh.
Pemenuhan janji kampanye lainnya yang juga menyita perhatian luas adalah penolakannya atas reklamasi Teluk Jakarta. Tidak hanya menarik raperda reklamasi, tapi Anies juga meminta kepada Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) tiga pulau reklamasi, yakni pulau C, D, dan G.
Penataan pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya, Jakarta Pusat, juga menyita perhatian. Meski kebijakan ini bertujuan baik, yakni memberi ruang kepada PKL yang notabene rakyat kecil untuk mencari nafkah, namun protes bermunculan, mulai keluhan kemacetan sebagai akibat penutupan Jalan Jatibaru Raya hingga sopir angkot yang mengeluh pendapatannya menurun.
Masih cukup panjang daftar program Anies-Sandi dalam 100 hari kerja pertamanya. Sebutlah misalnya, realisasi program rumah down payment (DP) 0 rupiah. Itu dibuktikan dengan peletakan batu pertama (ground breaking ) pembangunan rumah susun Kelapa Village di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Rumah DP 0 rupiah ini diperuntukkan bagi warga DKI yang berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah. Selain itu, Anies-Sandi juga sudah membentuk sekretariat dan menyiapkan infrastruktur OK OCE di tiap kecamatan; menggelar uji coba OK Trip, membentuk komite pencegahan korupsi Ibu Kota, memberi tunjangan untuk guru PAUD; meluncurkan Kartu Lansia, hingga membuka kembali kawasan Monas untuk kegiatan seni, kebudayaan, dan agama.
Dari sejumlah kebijakan yang dibuat itu, terlihat jelas Anies mengembangkan corak kepemimpinan populisme. Salah satu cirinya yakni menekankan rakyat adalah segalanya. Anies terlihat ingin membuktikan bahwa dirinya bukan penganut politik citra yang lazim dalam demokrasi prosedural, melainkan bersungguh-sungguh mewujudkan janji kampanye melalui formulasi kebijakan yang terukur, komprehensif, dan memihak rakyat.
Di sini terlihat semangat Anies-Sandi ingin mewujudkan cita-cita Jakarta yang “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Namun, memperjuangkan rakyat tentu tidak bisa hanya dengan berbekal semangat dan niat baik. Sebuah kebijakan tetap berpijak pada hukum.
Di bagian ini, Anies terlihat kurang berhati-hati. Sebagai contoh, penataan PKL Tanah Abang dengan menutup jalan dilakukan tanpa dilandasi peraturan gubernur. Begitu pun dengan rencana becak kembali akan beroperasi di Ibu Kota. Padahal Perda Nomor 5/2014 tentang Moda Transportasi dan Perda Nomor 28/2007 tentang Ketertiban mengatur bahwa moda angkutan tradisional ini dilarang beroperasi di Ibu Kota.
Masalah banjir yang langganan Ibu Kota juga butuh langkah strategis Anies. Jika normalisasi sungai tidak ingin dilakukan karena harus menggusur warga di bantaran sungai, perlu ada langkah lain yang hasilnya bisa terlihat nyata. Warga Jakarta tahunya ingin rumah dan lingkungannya tak lagi terendam saat musim hujan tiba.
Pekerjaan rumah lainnya adalah mengurangi kemacetan di Jakarta. Namun berhubung pemerintahan baru 100 hari berjalan, sekali lagi tidak ideal jika itu dijadikan acuan dalam mengukur keberhasilan atau kegagalan.
Anies pun meminta kerja 100 hari dijadikan bahan evaluasi. Sebagaimana yang dikatakannya: “Tentu kita merasa bahwa 100 hari bukan tujuan utama kita bekerja. Terlalu awal kalau kita merasa berbesar hati, terlalu awal pula untuk mengatakan bahwa ada banyak masalah.”
Waktu 100 hari tentu tidak ideal untuk jadi dasar mengukur pencapaian Anies-Sandi dalam memimpin Jakarta. Durasi tersebut terlalu pendek untuk menyimpulkan keduanya berhasil atau gagal dalam menjalankan sebuah program.
Namun, ada sejumlah hal menarik untuk dilihat kembali di masa awal pemerintahan keduanya. Apalagi, sejumlah kebijakan yang dibuat sempat memicu pro-kontra yang tajam. Sebutlah misalnya keberaniannya dalam menutup Hotel Alexis yang di masa pemerintahan sebelumnya bisa dikatakan nyaris tak tersentuh.
Pemenuhan janji kampanye lainnya yang juga menyita perhatian luas adalah penolakannya atas reklamasi Teluk Jakarta. Tidak hanya menarik raperda reklamasi, tapi Anies juga meminta kepada Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) tiga pulau reklamasi, yakni pulau C, D, dan G.
Penataan pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya, Jakarta Pusat, juga menyita perhatian. Meski kebijakan ini bertujuan baik, yakni memberi ruang kepada PKL yang notabene rakyat kecil untuk mencari nafkah, namun protes bermunculan, mulai keluhan kemacetan sebagai akibat penutupan Jalan Jatibaru Raya hingga sopir angkot yang mengeluh pendapatannya menurun.
Masih cukup panjang daftar program Anies-Sandi dalam 100 hari kerja pertamanya. Sebutlah misalnya, realisasi program rumah down payment (DP) 0 rupiah. Itu dibuktikan dengan peletakan batu pertama (ground breaking ) pembangunan rumah susun Kelapa Village di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Rumah DP 0 rupiah ini diperuntukkan bagi warga DKI yang berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah. Selain itu, Anies-Sandi juga sudah membentuk sekretariat dan menyiapkan infrastruktur OK OCE di tiap kecamatan; menggelar uji coba OK Trip, membentuk komite pencegahan korupsi Ibu Kota, memberi tunjangan untuk guru PAUD; meluncurkan Kartu Lansia, hingga membuka kembali kawasan Monas untuk kegiatan seni, kebudayaan, dan agama.
Dari sejumlah kebijakan yang dibuat itu, terlihat jelas Anies mengembangkan corak kepemimpinan populisme. Salah satu cirinya yakni menekankan rakyat adalah segalanya. Anies terlihat ingin membuktikan bahwa dirinya bukan penganut politik citra yang lazim dalam demokrasi prosedural, melainkan bersungguh-sungguh mewujudkan janji kampanye melalui formulasi kebijakan yang terukur, komprehensif, dan memihak rakyat.
Di sini terlihat semangat Anies-Sandi ingin mewujudkan cita-cita Jakarta yang “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Namun, memperjuangkan rakyat tentu tidak bisa hanya dengan berbekal semangat dan niat baik. Sebuah kebijakan tetap berpijak pada hukum.
Di bagian ini, Anies terlihat kurang berhati-hati. Sebagai contoh, penataan PKL Tanah Abang dengan menutup jalan dilakukan tanpa dilandasi peraturan gubernur. Begitu pun dengan rencana becak kembali akan beroperasi di Ibu Kota. Padahal Perda Nomor 5/2014 tentang Moda Transportasi dan Perda Nomor 28/2007 tentang Ketertiban mengatur bahwa moda angkutan tradisional ini dilarang beroperasi di Ibu Kota.
Masalah banjir yang langganan Ibu Kota juga butuh langkah strategis Anies. Jika normalisasi sungai tidak ingin dilakukan karena harus menggusur warga di bantaran sungai, perlu ada langkah lain yang hasilnya bisa terlihat nyata. Warga Jakarta tahunya ingin rumah dan lingkungannya tak lagi terendam saat musim hujan tiba.
Pekerjaan rumah lainnya adalah mengurangi kemacetan di Jakarta. Namun berhubung pemerintahan baru 100 hari berjalan, sekali lagi tidak ideal jika itu dijadikan acuan dalam mengukur keberhasilan atau kegagalan.
Anies pun meminta kerja 100 hari dijadikan bahan evaluasi. Sebagaimana yang dikatakannya: “Tentu kita merasa bahwa 100 hari bukan tujuan utama kita bekerja. Terlalu awal kalau kita merasa berbesar hati, terlalu awal pula untuk mengatakan bahwa ada banyak masalah.”
(whb)