KPAI Minta Pelarangan Anak dalam Kampanye Dipertegas
A
A
A
JAKARTA - Keterlibatan anak di bawah umur dalam kegiatan kampanye pasangan calon kepala daerah seolah terus berulang dalam setiap gelaran pilkada.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi aturan lebih tegas terkait larangan pelibatan anak dalam kegiatan kampanye pasangan calon maupun partai politik dalam Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, Pasal 87 Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak Nomor 35/2014, telah mengatur pelarangan pelibatan anak di dalam kegiatan politik.
Bahkan bagi yang melanggar diancam dengan pidana lima tahun penjara dan atau denda Rp100 juta. Namun, aturan ini menurut dia masih belum efektif, sebab belum menghilangkan kebiasaan menghadirkan anak dalam kegiatan politik pasangan calon maupun partai.
“Pelibatan anak dalam kegiatan politik terutama penyalahgunaan itu dilarang. Maka tadi sudah sepaham bahwa kita tidak boleh melibatkan anak dalam aktivitas politik,” ujar Ketua KPAI Susanto seusai menggelar pertemuan dengan KPU di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, kemarin.
Dalam pertemuan itu, KPAI juga meminta KPU agar tema debat pasangan calon mengedepankan isu tentang perlindungan anak. Lembaganya meyakini komitmen kepala daerah terhadap perlindungan anak akan berpengaruh pada masa depan bangsa. “Ini penting saya kira, karena jadi bagian dari komitmen untuk membangun Indonesia ke depan yang ramah anak,” lanjut Susanto.
Anggota KPAI lainnya, Rita Pranawati, mengingatkan KPU untuk juga memperhatikan pemenuhan hak anak sebagai pemilih pada pilkada maupun pemilu. Dia mengatakan untuk di pilkada diperkirakan jumlah pemilih anak (pemula) mencapai 10 juta jiwa, di mana 5.630 di antaranya merupakan pemilih di bawah 17 tahun yang sudah memiliki hak suara karena telah menikah.
“Jumlahnya 5.630, itu karena sudah menikah dan di bawah 17 tahun,” kata Rita.
Dia meminta perhatian penyelenggara pemilu kepada daerah-daerah yang rentan memiliki pemilih dengan kategori semacam ini, seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Selatan, serta NTT dan NTB.
“Jakarta justru tidak, tapi memang perlu ada pengecekan menyeluruh terkait pemilih yang belum 17 tahun, tapi memang mereka sudah punya hak pilih,” tambah Rita.
Sementara itu, Komisioner KPU Ilham Saputra memastikan lembaganya akan mempela jari masukan dari KPAI tersebut. Tidak menutup kemungkinan menurut dia masukan ini nantinya akan ditindaklanjuti hingga kerja sama antara dua lembaga. “KPU akan mengakomodasi beberapa hal yang diusulkan teman-teman KPAI dan tidak menutup kemungkinan menindaklanjuti sampai level MoU,” ucapnya.
Komnas HAM Fokus Hak Politik Kelompok Marginal
Sementara dalam pertemuan lain, Komnas HAM menyampaikan pesan kepada penyelenggara pemilu untuk lebih memperhatikan hak politik kelompok marginal di Indonesia.
Pengalaman selama ini, kelompok-kelompok yang kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat ini tidak diikutsertakan dalam pelak sanaan pesta demokrasi.
“Bagi kita, jangan sampai hak pilih tadi tercederai oleh persoalan yang bersifat administratif. Nah , ini kemudian jadi salah satu pantauan Komnas HAM,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Hairansyah.
Komnas HAM juga meminta KPU mengantisipasi tidak tercatatnya masyarakat yang tinggal di pengungsian akibat bencana maupun konflik sehingga melarikan diri dari tempat tinggalnya. (Dian Ramdhani)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi aturan lebih tegas terkait larangan pelibatan anak dalam kegiatan kampanye pasangan calon maupun partai politik dalam Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, Pasal 87 Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak Nomor 35/2014, telah mengatur pelarangan pelibatan anak di dalam kegiatan politik.
Bahkan bagi yang melanggar diancam dengan pidana lima tahun penjara dan atau denda Rp100 juta. Namun, aturan ini menurut dia masih belum efektif, sebab belum menghilangkan kebiasaan menghadirkan anak dalam kegiatan politik pasangan calon maupun partai.
“Pelibatan anak dalam kegiatan politik terutama penyalahgunaan itu dilarang. Maka tadi sudah sepaham bahwa kita tidak boleh melibatkan anak dalam aktivitas politik,” ujar Ketua KPAI Susanto seusai menggelar pertemuan dengan KPU di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, kemarin.
Dalam pertemuan itu, KPAI juga meminta KPU agar tema debat pasangan calon mengedepankan isu tentang perlindungan anak. Lembaganya meyakini komitmen kepala daerah terhadap perlindungan anak akan berpengaruh pada masa depan bangsa. “Ini penting saya kira, karena jadi bagian dari komitmen untuk membangun Indonesia ke depan yang ramah anak,” lanjut Susanto.
Anggota KPAI lainnya, Rita Pranawati, mengingatkan KPU untuk juga memperhatikan pemenuhan hak anak sebagai pemilih pada pilkada maupun pemilu. Dia mengatakan untuk di pilkada diperkirakan jumlah pemilih anak (pemula) mencapai 10 juta jiwa, di mana 5.630 di antaranya merupakan pemilih di bawah 17 tahun yang sudah memiliki hak suara karena telah menikah.
“Jumlahnya 5.630, itu karena sudah menikah dan di bawah 17 tahun,” kata Rita.
Dia meminta perhatian penyelenggara pemilu kepada daerah-daerah yang rentan memiliki pemilih dengan kategori semacam ini, seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Selatan, serta NTT dan NTB.
“Jakarta justru tidak, tapi memang perlu ada pengecekan menyeluruh terkait pemilih yang belum 17 tahun, tapi memang mereka sudah punya hak pilih,” tambah Rita.
Sementara itu, Komisioner KPU Ilham Saputra memastikan lembaganya akan mempela jari masukan dari KPAI tersebut. Tidak menutup kemungkinan menurut dia masukan ini nantinya akan ditindaklanjuti hingga kerja sama antara dua lembaga. “KPU akan mengakomodasi beberapa hal yang diusulkan teman-teman KPAI dan tidak menutup kemungkinan menindaklanjuti sampai level MoU,” ucapnya.
Komnas HAM Fokus Hak Politik Kelompok Marginal
Sementara dalam pertemuan lain, Komnas HAM menyampaikan pesan kepada penyelenggara pemilu untuk lebih memperhatikan hak politik kelompok marginal di Indonesia.
Pengalaman selama ini, kelompok-kelompok yang kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat ini tidak diikutsertakan dalam pelak sanaan pesta demokrasi.
“Bagi kita, jangan sampai hak pilih tadi tercederai oleh persoalan yang bersifat administratif. Nah , ini kemudian jadi salah satu pantauan Komnas HAM,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Hairansyah.
Komnas HAM juga meminta KPU mengantisipasi tidak tercatatnya masyarakat yang tinggal di pengungsian akibat bencana maupun konflik sehingga melarikan diri dari tempat tinggalnya. (Dian Ramdhani)
(nfl)