Lawatan Menhan AS
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
“Be polite, be professional, but have a plan to kill everybody you meet.” -James Mattis
JAMES Mattis mengucapkan kalimat tersebut pada saat kunjungannya sebagai Komandan Marinir Divisi Pertama di Irak pada tahun 2003.Terjemahannya adalah: "bersikaplah santun, profesional, tetapi punya rencana untuk membunuh siapapun yang kau temui”.
Setahun lalu ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memilihnya sebagai Menteri Pertahanan banyak orang terkejut karena ia terkenal dengan sebutan Jenderal Cowboy yang dikenal tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertempuran. Namun wajah Mattis tersebut berubah ketika ia menjadi Menteri Pertahanan.
Saat awal-awal masa kepemimpinannya, ia pernah tercatat menunjukkan ketidaksepakatan dengan Presiden Trump mengenai beberapa hal seperti posisi AS di NATO dan hubungan mereka dengan para aliansi di Timur Tengah.
Lambat laun, mungkin karena ia semakin mendalami peranannya di Pentagon, Menteri Pertahanan ini mengurangi komentarnya di media massa bahkan ia seringkali menolak untuk diwawancarai. Ia lebih memilih untuk menyembunyikan pendapatnya apabila ada hal yang dirasanya tidak cocok terkait dengan kebijakan pimpinannya.
Garis pandangan Mattis sejauh dibaca lewat media massa dan hubungannya yang dekat dengan Menteri Luar Negeri adalah untuk bekerja sama dan merawat mitra aliansi mereka di luar AS termasuk Indonesia di Asia. Mattis adalah salah seorang yang menolak politik isolasionis yang ditabuh oleh Trump dan mendorong kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara lain.
Sebagai latar belakang karier militer selama 41 tahun, Mattis memahami bahwa tugas militer adalah untuk mendukung diplomasi dan kontak antarnegara yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri.
Oleh sebab itu James Mattis amat sering berkordinasi dengan Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri AS untuk sekedar saling menginformasikan perkembangan masing-masing. Mattis bahkan meminta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri untuk mendampingi ia agar kebijakannya tetap sejalan dengan kebijakan Kementerian Luar Negeri. Dalam istilahnya sendiri ia mengatakan bahwa diplomasi tanpa didukung oleh militer yang siap perang tidak akan memiliki kekuatan.
Dalam konteks tersebut ia tetap harus menempatkan diri dalam kebijakan Donald Trump yang cenderung isolasionis. Donald Trump memperlakukan hubungan militer dengan aliansi mereka seperti layaknya bisnis keamanan. Oleh sebab itu kita perlu bertanya-tanya apakah maksud dan tujuan kedatangan James Mattis ke Indonesia.
Informasi secara resmi yang disampaikan ke masyarakat oleh Kementerian Luar Negeri RI disebutkan bahwa kunjungan ini akan membicarakan tiga hal: kerja sama peralatan militer (alutsista), kerja sama Indo-Pasifik dan kerja sama pemberantasan terorisme.
Indonesia dalam alutsista memang masih tergantung impor dari luar negeri sebesar 70% sementara sisanya dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri. Pasar perlengkapan militer di dunia memang masih didominasi oleh AS sebesar 33% dan posisi kedua ditempati oleh Rusia sebesar 23%. Ekspor senjata AS meningkat sebesar 21% pada tahun 2016 dan Timur Tengah adalah wilayah yang menyerap 47% produk militer dari AS walaupun secara total Asia adalah penyerap terbesar produksi senjata dunia.
Rusia tetap menjadi kompetitor utama AS di mana Indonesia juga mulai meningkatkan perdagangannya dengan pembayaran yang lebih fleksibel dibandingkan AS (misalnya, dibayar dengan produk kelapa sawit, teh dan kopi). Hal ini mungkin bisa menjadi cara berbisnis dengan AS terutama untuk produk-produk Indonesia yang sulit masuk ke pasar AS.
Di luar bisnis senjata, kebijakan luar negeri AS terutama terkait dengan pertahanan sedikit berubah dalam tahun ini. Apabila dalam pemerintahan Obama sebelumnya upaya AS adalah untuk terlibat secara selektif ke sebagian konflik (artinya tidak ke segala lini konflik), baik di Timur Tengah atau belahan negara lain, maka dalam pemerintahan Trump kebijakan luar negeri secara khusus diarahkan untuk menangkal ancaman yang berasal dari Rusia dan China.
AS juga mengirim sinyal ke Timur Tengah bahwa kemungkinan mereka juga tidak akan terlibat jauh dalam konflik di sana dengan mengatakan bahwa terorisme bukan lagi ancaman utama AS. Trump juga tidak tertarik dengan masalah-masalah yang terjadi di Eropa seperti misalnya di Krimea atau Ukrania. Baginya, negara-negara Eropa kurang memberikan dukungan lebih, khususnya finansial kepada AS, sehingga ia merasa tidak perlu capek-capek mengurusi Eropa.
Kebijakan yang mungkin masih konsisten adalah hubungan dengan negara-negara Asia. Ia tetap melihat Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang sedang menggeliat dan ia juga melihat Rusia dan China telah mendekatkan diri mereka secara intensif ke beberapa negara khususnya Asia Tenggara.
Salah satu penanda penting dari kebijakan Trump di Asia adalah penggunaan istilah “Indo-Pacific” yang menggantikan istilah “Asia-Pacific”. Analisis yang ada sejauh ini menduga perubahan istilah ini untuk menekankan bahwa tidak lagi benar untuk memisahkan
Asia Selatan dan Asia Timur. Istilah "Asia-Pasific" secara konvensional berfokus pada area mulai Korea Utara ke ujung selatan China sementara "Indo-Pacific" mencakup negara-negara dengan pantai di Samudra Hindia, Asia Tenggara, dan Australia, Indonesia, dan Selandia Baru. Inti di wilayah itu adalah Samudera India dan Samudera Pasifik."
Menyikapi gerak-gerik AS, Indonesia harus mengedepankan politik luar negeri yang percaya diri. AS memang “memformat ulang” hubungan luar negerinya dengan kawasan Asia, khususnya dalam konteks arah isolasionis AS yang diinginkan oleh Presiden Trump di saat suasana politik di segala belahan dunia merasakan ketidakpastian akan wujud arsitektur hubungan internasional yang stabil.
Pesan-pesan yang disampaikan Menhan Mattis menunjukkan bahwa AS-lah yang sedang memastikan AS mendapatkan tempat nyaman dalam konstelasi hubungan internasional yang berkembang di Asia. Nyaman dalam arti bahwa kepentingan AS tidak terganggu, AS tidak dianggap absen juga dari kawasan, dan AS menjaga kemitraannya di wilayah ini.
Sejauh ini tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan dari lawatan seorang Menhan ke Indonesia; bahkan secara umum hal ini perlu ditanggapi dengan sikap asertif bahwa Indonesia menginginkan AS yang berkomitmen tinggi untuk tidak menggunakan cara-cara militeristik dalam mencapai kepentingannya di kawasan.
Logika militer seorang Mattis perlu diperkaya dengan pemahaman bahwa modernisasi alutsista di kawasan tidak serta merta perlu dikhawatirkan sebagai awal suatu konfrontasi senjata, sehingga kecurigaan yang saat ini membuncah dalam laporan-laporan AS tentang arah militerisasi negara-negara di Asia dapat ditempatkan sesuai porsinya.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
“Be polite, be professional, but have a plan to kill everybody you meet.” -James Mattis
JAMES Mattis mengucapkan kalimat tersebut pada saat kunjungannya sebagai Komandan Marinir Divisi Pertama di Irak pada tahun 2003.Terjemahannya adalah: "bersikaplah santun, profesional, tetapi punya rencana untuk membunuh siapapun yang kau temui”.
Setahun lalu ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memilihnya sebagai Menteri Pertahanan banyak orang terkejut karena ia terkenal dengan sebutan Jenderal Cowboy yang dikenal tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertempuran. Namun wajah Mattis tersebut berubah ketika ia menjadi Menteri Pertahanan.
Saat awal-awal masa kepemimpinannya, ia pernah tercatat menunjukkan ketidaksepakatan dengan Presiden Trump mengenai beberapa hal seperti posisi AS di NATO dan hubungan mereka dengan para aliansi di Timur Tengah.
Lambat laun, mungkin karena ia semakin mendalami peranannya di Pentagon, Menteri Pertahanan ini mengurangi komentarnya di media massa bahkan ia seringkali menolak untuk diwawancarai. Ia lebih memilih untuk menyembunyikan pendapatnya apabila ada hal yang dirasanya tidak cocok terkait dengan kebijakan pimpinannya.
Garis pandangan Mattis sejauh dibaca lewat media massa dan hubungannya yang dekat dengan Menteri Luar Negeri adalah untuk bekerja sama dan merawat mitra aliansi mereka di luar AS termasuk Indonesia di Asia. Mattis adalah salah seorang yang menolak politik isolasionis yang ditabuh oleh Trump dan mendorong kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara lain.
Sebagai latar belakang karier militer selama 41 tahun, Mattis memahami bahwa tugas militer adalah untuk mendukung diplomasi dan kontak antarnegara yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri.
Oleh sebab itu James Mattis amat sering berkordinasi dengan Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri AS untuk sekedar saling menginformasikan perkembangan masing-masing. Mattis bahkan meminta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri untuk mendampingi ia agar kebijakannya tetap sejalan dengan kebijakan Kementerian Luar Negeri. Dalam istilahnya sendiri ia mengatakan bahwa diplomasi tanpa didukung oleh militer yang siap perang tidak akan memiliki kekuatan.
Dalam konteks tersebut ia tetap harus menempatkan diri dalam kebijakan Donald Trump yang cenderung isolasionis. Donald Trump memperlakukan hubungan militer dengan aliansi mereka seperti layaknya bisnis keamanan. Oleh sebab itu kita perlu bertanya-tanya apakah maksud dan tujuan kedatangan James Mattis ke Indonesia.
Informasi secara resmi yang disampaikan ke masyarakat oleh Kementerian Luar Negeri RI disebutkan bahwa kunjungan ini akan membicarakan tiga hal: kerja sama peralatan militer (alutsista), kerja sama Indo-Pasifik dan kerja sama pemberantasan terorisme.
Indonesia dalam alutsista memang masih tergantung impor dari luar negeri sebesar 70% sementara sisanya dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri. Pasar perlengkapan militer di dunia memang masih didominasi oleh AS sebesar 33% dan posisi kedua ditempati oleh Rusia sebesar 23%. Ekspor senjata AS meningkat sebesar 21% pada tahun 2016 dan Timur Tengah adalah wilayah yang menyerap 47% produk militer dari AS walaupun secara total Asia adalah penyerap terbesar produksi senjata dunia.
Rusia tetap menjadi kompetitor utama AS di mana Indonesia juga mulai meningkatkan perdagangannya dengan pembayaran yang lebih fleksibel dibandingkan AS (misalnya, dibayar dengan produk kelapa sawit, teh dan kopi). Hal ini mungkin bisa menjadi cara berbisnis dengan AS terutama untuk produk-produk Indonesia yang sulit masuk ke pasar AS.
Di luar bisnis senjata, kebijakan luar negeri AS terutama terkait dengan pertahanan sedikit berubah dalam tahun ini. Apabila dalam pemerintahan Obama sebelumnya upaya AS adalah untuk terlibat secara selektif ke sebagian konflik (artinya tidak ke segala lini konflik), baik di Timur Tengah atau belahan negara lain, maka dalam pemerintahan Trump kebijakan luar negeri secara khusus diarahkan untuk menangkal ancaman yang berasal dari Rusia dan China.
AS juga mengirim sinyal ke Timur Tengah bahwa kemungkinan mereka juga tidak akan terlibat jauh dalam konflik di sana dengan mengatakan bahwa terorisme bukan lagi ancaman utama AS. Trump juga tidak tertarik dengan masalah-masalah yang terjadi di Eropa seperti misalnya di Krimea atau Ukrania. Baginya, negara-negara Eropa kurang memberikan dukungan lebih, khususnya finansial kepada AS, sehingga ia merasa tidak perlu capek-capek mengurusi Eropa.
Kebijakan yang mungkin masih konsisten adalah hubungan dengan negara-negara Asia. Ia tetap melihat Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang sedang menggeliat dan ia juga melihat Rusia dan China telah mendekatkan diri mereka secara intensif ke beberapa negara khususnya Asia Tenggara.
Salah satu penanda penting dari kebijakan Trump di Asia adalah penggunaan istilah “Indo-Pacific” yang menggantikan istilah “Asia-Pacific”. Analisis yang ada sejauh ini menduga perubahan istilah ini untuk menekankan bahwa tidak lagi benar untuk memisahkan
Asia Selatan dan Asia Timur. Istilah "Asia-Pasific" secara konvensional berfokus pada area mulai Korea Utara ke ujung selatan China sementara "Indo-Pacific" mencakup negara-negara dengan pantai di Samudra Hindia, Asia Tenggara, dan Australia, Indonesia, dan Selandia Baru. Inti di wilayah itu adalah Samudera India dan Samudera Pasifik."
Menyikapi gerak-gerik AS, Indonesia harus mengedepankan politik luar negeri yang percaya diri. AS memang “memformat ulang” hubungan luar negerinya dengan kawasan Asia, khususnya dalam konteks arah isolasionis AS yang diinginkan oleh Presiden Trump di saat suasana politik di segala belahan dunia merasakan ketidakpastian akan wujud arsitektur hubungan internasional yang stabil.
Pesan-pesan yang disampaikan Menhan Mattis menunjukkan bahwa AS-lah yang sedang memastikan AS mendapatkan tempat nyaman dalam konstelasi hubungan internasional yang berkembang di Asia. Nyaman dalam arti bahwa kepentingan AS tidak terganggu, AS tidak dianggap absen juga dari kawasan, dan AS menjaga kemitraannya di wilayah ini.
Sejauh ini tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan dari lawatan seorang Menhan ke Indonesia; bahkan secara umum hal ini perlu ditanggapi dengan sikap asertif bahwa Indonesia menginginkan AS yang berkomitmen tinggi untuk tidak menggunakan cara-cara militeristik dalam mencapai kepentingannya di kawasan.
Logika militer seorang Mattis perlu diperkaya dengan pemahaman bahwa modernisasi alutsista di kawasan tidak serta merta perlu dikhawatirkan sebagai awal suatu konfrontasi senjata, sehingga kecurigaan yang saat ini membuncah dalam laporan-laporan AS tentang arah militerisasi negara-negara di Asia dapat ditempatkan sesuai porsinya.
(poe)