Menanti Holding Migas
A
A
A
Setelah holding tambang terbentuk, kini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera menyelesaikan holding BUMN minyak dan gas (migas) dalam waktu dekat. Dalam holding tersebut, PT Pertamina (persero) dipastikan sebagai induk dan PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk sebagai anggota.
Proses pembentukan holding migas ini diwarnai sejumlah aksi korporasi di mana anak usaha Pertamina, yakni Pertagas, nantinya diambil alih PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan pertimbangan memiliki kesamaan bisnis.
Adapun PGN bakal menjadi anak usaha Pertamina dengan mengalihkan sekitar 57% saham pemerintah di PGN. Pihak Kementerian BUMN memastikan tidak akan ada pengurangan karyawan dan tetap bekerja sesuai tugas masing-masing.
Sejak pemerintah serius membahas rencana pembentukan holding BUMN migas, respons publik memunculkan polemik yang tajam. Tak terkecuali dari para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan. Meski terjadi pro dan kontra, banyak yang memprediksi bahwa Pertamina adalah calon "penguasa" holding.
Ternyata dugaan tersebut tidak meleset, pemerintah sudah memastikan Pertamina sebagai induk holding. Penunjukan Pertamina sebagai induk holding didasarkan pada status perusahaan migas kebanggaan negeri ini yang kepemilikan sahamnya 100% dikuasai pemerintah.
Dan, kepemilikan pemerintah di PGN sebagai anggota holding hanya sekitar 57%, selebihnya 43% adalah saham publik. Holding BUMN migas ini tidak akan memunculkan entitas usaha baru.
Tentu menimbulkan pertanyaan apa keuntungan yang didapat bila holding BUMN migas tersebut terbentuk? Jawabnya sangat lugas, simak saja pernyataan dari Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno yang menyatakan bahwa pembentukan holding BUMN migas sebagai upaya mendongkrak efisiensi kedua perusahaan.
Dicontohkan, investasi di sektor gas yang kini dilakukan Pertamina dan PGN ke depan bisa digabung dan dalam jumlah lebih besar. Dengan kata lain, dari sisi korporasi tidak akan terjadi duplikasi investasi dan secara nasional menjadi efektif dan efisien dari investasi infrastruktur gas. Dengan terbentuknya holding BUMN migas, pemerintah tidak akan lagi mendengar persaingan di antara kedua perusahaan pelat merah tersebut.
Sebenarnya, cerita holding BUMN bukanlah cerita baru. Konsep holding dalam kaitan perampingan jumlah BUMN sudah bergulir sejak 1998 pada zaman Menteri BUMN Tanri Abeng. Konsep holding versi Tanri Abeng yang bertujuan melahirkan BUMN yang kuat dan fokus terdiri atas lima holding. Pertama, holding BUMN energi dan tambang.
Kedua, holding BUMN infrastruktur yang meliputi pelabuhan, bandara, transportasi, dan telekomunikasi. Ketiga, holding BUMN finansial terdiri atas semua bank dan nonbank. Keempat, holding BUMN semen dan konstruksi. Kelima, holding BUMN pupuk dan perkebunan.
Meski model holding yang dibentuk Menteri BUMN Rini Soemarno tidak sama betul yang diinginkan Tanri Abeng, semangatnya tetap senapas bagaimana membuat perusahaan negara menjadi besar, kuat, fokus, serta efisien. Hanya, penjelasan kepada publik tidak tuntas.
Contoh paling anyar adalah holding tambang yang terbentuk belum lama ini masih terus menyisakan pertanyaan besar, bagaimana mekanisme ke depan apakah sekadar menggabungkan perusahaan tambang yang sudah eksis selama ini.
Pembentukan holding BUMN bila dibandingkan dengan BUMN sejumlah negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia, memang Indonesia sangat tertinggal jauh. Singapura terkenal dengan Temasek yang dikontrol langsung oleh chief executive officer (CEO) tanpa di bawah lembaga negara.
Temasek sebagai holding BUMN Singapura terbentuk sejak 1974, meliputi telekomunikasi, jasa keuangan, media dan teknologi, transportasi dan industri, konsumer dan real estate, pertanian, energi dan sumber daya alam. Sayangnya, di Indonesia pembentukan holding BUMN lebih banyak diwarnai perdebatan, padahal sudah ada benchmark holding perusahaan negara yang sukses.
Proses pembentukan holding migas ini diwarnai sejumlah aksi korporasi di mana anak usaha Pertamina, yakni Pertagas, nantinya diambil alih PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan pertimbangan memiliki kesamaan bisnis.
Adapun PGN bakal menjadi anak usaha Pertamina dengan mengalihkan sekitar 57% saham pemerintah di PGN. Pihak Kementerian BUMN memastikan tidak akan ada pengurangan karyawan dan tetap bekerja sesuai tugas masing-masing.
Sejak pemerintah serius membahas rencana pembentukan holding BUMN migas, respons publik memunculkan polemik yang tajam. Tak terkecuali dari para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan. Meski terjadi pro dan kontra, banyak yang memprediksi bahwa Pertamina adalah calon "penguasa" holding.
Ternyata dugaan tersebut tidak meleset, pemerintah sudah memastikan Pertamina sebagai induk holding. Penunjukan Pertamina sebagai induk holding didasarkan pada status perusahaan migas kebanggaan negeri ini yang kepemilikan sahamnya 100% dikuasai pemerintah.
Dan, kepemilikan pemerintah di PGN sebagai anggota holding hanya sekitar 57%, selebihnya 43% adalah saham publik. Holding BUMN migas ini tidak akan memunculkan entitas usaha baru.
Tentu menimbulkan pertanyaan apa keuntungan yang didapat bila holding BUMN migas tersebut terbentuk? Jawabnya sangat lugas, simak saja pernyataan dari Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno yang menyatakan bahwa pembentukan holding BUMN migas sebagai upaya mendongkrak efisiensi kedua perusahaan.
Dicontohkan, investasi di sektor gas yang kini dilakukan Pertamina dan PGN ke depan bisa digabung dan dalam jumlah lebih besar. Dengan kata lain, dari sisi korporasi tidak akan terjadi duplikasi investasi dan secara nasional menjadi efektif dan efisien dari investasi infrastruktur gas. Dengan terbentuknya holding BUMN migas, pemerintah tidak akan lagi mendengar persaingan di antara kedua perusahaan pelat merah tersebut.
Sebenarnya, cerita holding BUMN bukanlah cerita baru. Konsep holding dalam kaitan perampingan jumlah BUMN sudah bergulir sejak 1998 pada zaman Menteri BUMN Tanri Abeng. Konsep holding versi Tanri Abeng yang bertujuan melahirkan BUMN yang kuat dan fokus terdiri atas lima holding. Pertama, holding BUMN energi dan tambang.
Kedua, holding BUMN infrastruktur yang meliputi pelabuhan, bandara, transportasi, dan telekomunikasi. Ketiga, holding BUMN finansial terdiri atas semua bank dan nonbank. Keempat, holding BUMN semen dan konstruksi. Kelima, holding BUMN pupuk dan perkebunan.
Meski model holding yang dibentuk Menteri BUMN Rini Soemarno tidak sama betul yang diinginkan Tanri Abeng, semangatnya tetap senapas bagaimana membuat perusahaan negara menjadi besar, kuat, fokus, serta efisien. Hanya, penjelasan kepada publik tidak tuntas.
Contoh paling anyar adalah holding tambang yang terbentuk belum lama ini masih terus menyisakan pertanyaan besar, bagaimana mekanisme ke depan apakah sekadar menggabungkan perusahaan tambang yang sudah eksis selama ini.
Pembentukan holding BUMN bila dibandingkan dengan BUMN sejumlah negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia, memang Indonesia sangat tertinggal jauh. Singapura terkenal dengan Temasek yang dikontrol langsung oleh chief executive officer (CEO) tanpa di bawah lembaga negara.
Temasek sebagai holding BUMN Singapura terbentuk sejak 1974, meliputi telekomunikasi, jasa keuangan, media dan teknologi, transportasi dan industri, konsumer dan real estate, pertanian, energi dan sumber daya alam. Sayangnya, di Indonesia pembentukan holding BUMN lebih banyak diwarnai perdebatan, padahal sudah ada benchmark holding perusahaan negara yang sukses.
(maf)