Pembiayaan Alternatif Proyek Pemerintah
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMBANGUNAN infrastruktur masih menjadi agenda prioritas pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, mempersempit kesenjangan pembangunan lingkungan sosial antardaerah, serta menggenjot daya saing nasional. Namun upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sedang tersendat-sendat karena kantong keuangan yang begitu terbatas.
Berulang kali pemerintah mendorong agar pihak swasta dan masyarakat mau urunan melalui berbagai fasilitas skema pembiayaan. Pemerintah secara berkala juga terus mempromosikan bahwa investasi pembiayaan infrastruktur memiliki tingkat return yang menggiurkan.
Namun anehnya sampai sekarang pun belum banyak pihak swasta yang mau terlibat di dalamnya. Padahal bukan rahasia umum lagi bahwa sektor swasta relatif amat profit oriented.
Ada apa gerangan dengan daya tarik investasi pembangunan infrastruktur? Mengapa sektor swasta masih enggan menanamkan sebagian modalnya? Pertanyaan mendasar seperti inilah yang perlu kita telisik secara lebih mendalam.
Seretnya APBN
Di awal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 atau yang sering disebut sebagai RPJMN Nawacita, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur kurang lebih mencapai Rp4.796,2 triliun. Untuk memenuhi target tersebut pemerintah meningkatkan alokasi untuk pembiayaan infrastruktur dengan segala cara.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, compound annual growth rate (CAGR) atau kenaikan anggaran tahunan setelah tahun 2013 hingga 2018 sekitar 21,4%. Angka tersebut dihasilkan dari perbandingan alokasi infrastruktur tahun 2013 yang pada saat itu mencapai Rp155,9 triliun dengan alokasi di tahun 2018 yang diasumsikan mencapai Rp410,7 triliun.
Cara pemerintah untuk menaikkan alokasi pembiayaan infrastruktur antara lain dengan mengorbankan (mengalihkan) subsidi energi dan menggenjot realisasi penerimaan pajak. Selain itu dana transfer ke pemerintah daerah dan desa juga berusaha “dikunci” agar 25% di antaranya digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Pemerintah juga berbulat tekad untuk mengejar penguatan infrastruktur, bahkan hampir menggerus habis jatah defisit APBN yang dipatok maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Akibatnya jumlah utang pemerintah pusat ikut terus menukik tajam.
Catatan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, hingga akhir 2017 total utang pemerintah sudah sebesar Rp3.938,7 triliun atau rasionya sekitar 29,2% dari PDB. Warisan utang di era Presiden SBY sekitar Rp2.605 triliun.
Dari data tersebut, dapat kita lihat bahwa dalam 3 tahun terakhir jumlah utang pemerintah pusat meningkat sekitar Rp1.333,7 triliun. Rata-rata pertumbuhan utangnya mencapai 17,07% per tahun.
Memang ini bukanlah sebuah komparasi yang bisa diadu secara mentah-mentah. Kita perlu melihat lagi bagaimana dampak utang terhadap kondisi ekonomi makro dan mikro.
Entah apakah memang ada korelasinya atau hanya kebetulan selama era Presiden Jokowi laju pertumbuhan ekonomi kita sedang melambat. Sepertinya euphoria pertumbuhan ekonomi pada level 6% ke atas sulit terulang hingga tahun 2019. Namun pada indikator yang lain tampak tren perbaikan dan positif.
Misalnya terkait pengendalian inflasi, penurunan tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan antarpenduduk (indeks rasio gini). Tren realisasi penerimaan pajak juga dalam masa-masa yang positif dan progresif.
Akan tetapi hal tersebut tidak membuat kebijakan yang diambil Presiden Jokowi bisa bebas dari kritikan. Bahkan persoalan pembangunan infrastruktur ikut menjadi komoditas yang terus menimbulkan paradoks. Percepatan pembangunan infrastruktur selalu dikaitkan dengan pertumbuhan utang.
Perdebatan sengit mengenai pembangunan infrastruktur sebetulnya bukan terkait fungsi dan penggunaannya. Pusat pembahasan masyarakat lebih terkait pada persoalan tata cara pembiayaannya. Apalagi masyarakat kita masih cenderung ignorance dengan kebijakan utang.
Selain itu multiplier effects dari pembangunan infrastruktur juga termasuk dalam ranah perdebatan. Seharusnya dalam jangka pendek muncul tuah positif dari adanya tahap konstruksi infrastruktur, minimal dari sisi ketenagakerjaan. Namun sayangnya efek normatifnya belum tampak hingga saat ini.
Agresi untuk menyerap banyak tenaga kerja urung terjadi karena sebagian posisi tenaga kerja sudah tergantikan dengan penggunaan teknologi konstruksi. Pemerintah kurang memperhitungkan fenomena manusia vs mesin di dalam prosesnya.
Selain itu upah riil buruh bangunan terus turun dari Rp65.211 per hari pada Januari 2017 menjadi Rp64.867 per hari pada September 2017. Kita tengah menanti laporan terkini bagaimana efek masifnya konstruksi terhadap perkembangan industri pendukungnya seperti penyedia semen, baja, besi, dan industri-industri lain. Mudah-mudahan dampaknya lebih sesuai dengan ekspektasi.
Menghidupkan Skema Alternatif
Kembali pada persoalan pembiayaan, sederet upaya yang telah diunggah pemerintah ternyata belum cukup untuk memenuhi target biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur. Setidaknya berdasarkan kalkulasi, kemampuan APBN walaupun ditambahkan dengan APBD kira-kira hanya mencukupi sekitar 41,3% dari total pembiayaan.
Dana sisanya diharapkan pemerintah muncul dari uluran tangan pihak lain seperti perusahaan swasta dan BUMN agar menghindari pertumbuhan utang. Upaya terbaru pemerintah untuk memancing minat investasi/pembiayaan infrastruktur dilakukan melalui penyegaran kembali skema PINA (Pembiayaan Investasi Non-Anggaran).
PINA merupakan skema pembiayaan yang tidak melibatkan APBN atau jaminan pemerintah. Konsep yang digunakan ialah menggandeng investor untuk menambah modal pemilik proyek. PINA menjadi fasilitas bagi swasta dan BUMN untuk melahirkan creative dan alternative financing.
Sebelum PINA dirilis 2016 silam juga sudah dikembangkan skema Kemitraan Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Namun kedua skema pembiayaan tersebut masih perlu ditingkatkan pengenalannya kepada masyarakat, dan termasuk pemerintah daerah.
Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR mengatakan, hingga akhir 2017 kemarin investasi swasta di proyek infrastruktur tak lebih dari 20% dari nilai total kebutuhan. Adapun hingga 2019 nanti, pemerintah menargetkan pihak swasta bisa berkontribusi hingga 32% terhadap investasi infrastruktur nasional.
Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih jeli menangkap faktor-faktor penghambat kemajuan investasi swasta di sektor infrastruktur. Untuk berikutnya dibutuhkan solusi agar skema pembiayaan alternatif bisa berjalan lebih optimal.
Pertama, merujuk pada pernyataan Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR bahwa kalangan swasta pada umumnya masih khawatir dengan risiko besaran biaya transaksi. Investasi domestik di Indonesia dianggap cenderung masih kurang efisien.
Nilai incremental capital output ratio (ICOR) sebagai parameter efisiensi investasi cenderung masih sangat tinggi. Khusus terkait pembiayaan infrastruktur, hambatan tentang pembebasan lahan sudah cukup menghantui.
Belum lagi dengan adanya indikasi biaya transaksi yang muncul dari lingkungan birokrasi. Isu mark-up biaya dan korupsi juga tak kalah mengganggunya dibandingkan dengan persoalan pembebasan lahan.
Kedua, reformasi birokrasi dan stabilitas politik perlu terus dijalankan. Selain terkait dengan persoalan isu mark-up dan indikasi korupsi, pekerjaan rumah berikutnya ialah bagaimana cara agar regulasi pembiayaan investasi bisa stabil dan tidak berubah-ubah.
Karena selama ini kita seperti terjebak dengan adanya sebuah tradisi ketika kepemimpinan suatu rezim berakhir, maka rezim pengganti berikutnya akan melakukan perombakan besar-besaran. Inilah yang kemudian membuat kepastian hukum di negara kita menjadi simpang siur.
Obligasi daerah yang sempat ingin dimasifkan sebagai alternatif pembiayaan di tingkat daerah juga terkendala dengan hal yang sama. Belum lagi dengan persoalan tumpang-tindih kebijakan antarkementerian, dan juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Reformasi birokrasi diharapkan mampu menjembatani peraturan yang lebih mapan (stabil), tegas, dan terintegrasi sehingga mampu memutus mata rantai korupsi.
Ketiga, perlu ada refocusing. Dengan kapasitas pembiayaan yang terbatas, maka tidak banyak ruang untuk menghambur-hamburkan biaya pembangunan di setiap wilayah. Perlu dihitung lagi dengan cermat wilayah mana saja yang dapat menguntungkan secara ekonomis maupun politis. Misalnya terkait dengan pembangunan jalan trans-Papua atau trans-Sumatra.
Setelah nantinya terbangun dengan megah, pertimbangannya adalah aktivitas ekonomi apa saja yang akan muncul, berapa banyak tenaga kerja yang akan terserap? Pilihan-pilihan tersebut akan terus dipertimbangkan dari segala aspek untuk menjadi pilihan terbaik bagi semua.
Dan keempat, dibutuhkan koordinasi dengan otoritas moneter terkait dengan kebijakan kredit modal. Dana untuk tahap konstruksi bisa dibilang sangat besar dan mungkin melebihi likuiditas yang dimiliki para calon investor sehingga kredit perbankan amat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan modal.
Pemerintah memang sudah memfasilitasi dengan adanya penjaminan kredit. Akan tetapi hambatan lainnya ialah terkait dengan durasi pengembaliannya. Rata-rata pembayaran cicilan utang dan bunganya juga dalam jangka pendek.
Sementara itu pengembalian investasi dari pembangunan infrastruktur biasanya baru diterima dalam jangka panjang. Dibutuhkan sebuah solusi yang jitu atas permasalahan ini, agar masing-masing pihak baik itu perbankan ataupun investor tidak saling terjebak dalam risiko likuiditas.
Sekali lagi, tahun 2018 ini merupakan periode penting bagi pembangunan infrastruktur yang sudah dimulai sejak 2 tahun lalu untuk menunjukkan dampak dan hasil yang signifikan bagi masyarakat. Strategi pembangunan Nawacita perlu menunjukkan hasil yang konkret dan ini membutuhkan kerja bareng seluruh komponen bangsa, dengan mengurangi kegaduhan, saling curiga, dan jegal-menjegal. Semoga.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMBANGUNAN infrastruktur masih menjadi agenda prioritas pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, mempersempit kesenjangan pembangunan lingkungan sosial antardaerah, serta menggenjot daya saing nasional. Namun upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sedang tersendat-sendat karena kantong keuangan yang begitu terbatas.
Berulang kali pemerintah mendorong agar pihak swasta dan masyarakat mau urunan melalui berbagai fasilitas skema pembiayaan. Pemerintah secara berkala juga terus mempromosikan bahwa investasi pembiayaan infrastruktur memiliki tingkat return yang menggiurkan.
Namun anehnya sampai sekarang pun belum banyak pihak swasta yang mau terlibat di dalamnya. Padahal bukan rahasia umum lagi bahwa sektor swasta relatif amat profit oriented.
Ada apa gerangan dengan daya tarik investasi pembangunan infrastruktur? Mengapa sektor swasta masih enggan menanamkan sebagian modalnya? Pertanyaan mendasar seperti inilah yang perlu kita telisik secara lebih mendalam.
Seretnya APBN
Di awal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 atau yang sering disebut sebagai RPJMN Nawacita, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur kurang lebih mencapai Rp4.796,2 triliun. Untuk memenuhi target tersebut pemerintah meningkatkan alokasi untuk pembiayaan infrastruktur dengan segala cara.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, compound annual growth rate (CAGR) atau kenaikan anggaran tahunan setelah tahun 2013 hingga 2018 sekitar 21,4%. Angka tersebut dihasilkan dari perbandingan alokasi infrastruktur tahun 2013 yang pada saat itu mencapai Rp155,9 triliun dengan alokasi di tahun 2018 yang diasumsikan mencapai Rp410,7 triliun.
Cara pemerintah untuk menaikkan alokasi pembiayaan infrastruktur antara lain dengan mengorbankan (mengalihkan) subsidi energi dan menggenjot realisasi penerimaan pajak. Selain itu dana transfer ke pemerintah daerah dan desa juga berusaha “dikunci” agar 25% di antaranya digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Pemerintah juga berbulat tekad untuk mengejar penguatan infrastruktur, bahkan hampir menggerus habis jatah defisit APBN yang dipatok maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Akibatnya jumlah utang pemerintah pusat ikut terus menukik tajam.
Catatan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, hingga akhir 2017 total utang pemerintah sudah sebesar Rp3.938,7 triliun atau rasionya sekitar 29,2% dari PDB. Warisan utang di era Presiden SBY sekitar Rp2.605 triliun.
Dari data tersebut, dapat kita lihat bahwa dalam 3 tahun terakhir jumlah utang pemerintah pusat meningkat sekitar Rp1.333,7 triliun. Rata-rata pertumbuhan utangnya mencapai 17,07% per tahun.
Memang ini bukanlah sebuah komparasi yang bisa diadu secara mentah-mentah. Kita perlu melihat lagi bagaimana dampak utang terhadap kondisi ekonomi makro dan mikro.
Entah apakah memang ada korelasinya atau hanya kebetulan selama era Presiden Jokowi laju pertumbuhan ekonomi kita sedang melambat. Sepertinya euphoria pertumbuhan ekonomi pada level 6% ke atas sulit terulang hingga tahun 2019. Namun pada indikator yang lain tampak tren perbaikan dan positif.
Misalnya terkait pengendalian inflasi, penurunan tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan antarpenduduk (indeks rasio gini). Tren realisasi penerimaan pajak juga dalam masa-masa yang positif dan progresif.
Akan tetapi hal tersebut tidak membuat kebijakan yang diambil Presiden Jokowi bisa bebas dari kritikan. Bahkan persoalan pembangunan infrastruktur ikut menjadi komoditas yang terus menimbulkan paradoks. Percepatan pembangunan infrastruktur selalu dikaitkan dengan pertumbuhan utang.
Perdebatan sengit mengenai pembangunan infrastruktur sebetulnya bukan terkait fungsi dan penggunaannya. Pusat pembahasan masyarakat lebih terkait pada persoalan tata cara pembiayaannya. Apalagi masyarakat kita masih cenderung ignorance dengan kebijakan utang.
Selain itu multiplier effects dari pembangunan infrastruktur juga termasuk dalam ranah perdebatan. Seharusnya dalam jangka pendek muncul tuah positif dari adanya tahap konstruksi infrastruktur, minimal dari sisi ketenagakerjaan. Namun sayangnya efek normatifnya belum tampak hingga saat ini.
Agresi untuk menyerap banyak tenaga kerja urung terjadi karena sebagian posisi tenaga kerja sudah tergantikan dengan penggunaan teknologi konstruksi. Pemerintah kurang memperhitungkan fenomena manusia vs mesin di dalam prosesnya.
Selain itu upah riil buruh bangunan terus turun dari Rp65.211 per hari pada Januari 2017 menjadi Rp64.867 per hari pada September 2017. Kita tengah menanti laporan terkini bagaimana efek masifnya konstruksi terhadap perkembangan industri pendukungnya seperti penyedia semen, baja, besi, dan industri-industri lain. Mudah-mudahan dampaknya lebih sesuai dengan ekspektasi.
Menghidupkan Skema Alternatif
Kembali pada persoalan pembiayaan, sederet upaya yang telah diunggah pemerintah ternyata belum cukup untuk memenuhi target biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur. Setidaknya berdasarkan kalkulasi, kemampuan APBN walaupun ditambahkan dengan APBD kira-kira hanya mencukupi sekitar 41,3% dari total pembiayaan.
Dana sisanya diharapkan pemerintah muncul dari uluran tangan pihak lain seperti perusahaan swasta dan BUMN agar menghindari pertumbuhan utang. Upaya terbaru pemerintah untuk memancing minat investasi/pembiayaan infrastruktur dilakukan melalui penyegaran kembali skema PINA (Pembiayaan Investasi Non-Anggaran).
PINA merupakan skema pembiayaan yang tidak melibatkan APBN atau jaminan pemerintah. Konsep yang digunakan ialah menggandeng investor untuk menambah modal pemilik proyek. PINA menjadi fasilitas bagi swasta dan BUMN untuk melahirkan creative dan alternative financing.
Sebelum PINA dirilis 2016 silam juga sudah dikembangkan skema Kemitraan Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Namun kedua skema pembiayaan tersebut masih perlu ditingkatkan pengenalannya kepada masyarakat, dan termasuk pemerintah daerah.
Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR mengatakan, hingga akhir 2017 kemarin investasi swasta di proyek infrastruktur tak lebih dari 20% dari nilai total kebutuhan. Adapun hingga 2019 nanti, pemerintah menargetkan pihak swasta bisa berkontribusi hingga 32% terhadap investasi infrastruktur nasional.
Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih jeli menangkap faktor-faktor penghambat kemajuan investasi swasta di sektor infrastruktur. Untuk berikutnya dibutuhkan solusi agar skema pembiayaan alternatif bisa berjalan lebih optimal.
Pertama, merujuk pada pernyataan Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR bahwa kalangan swasta pada umumnya masih khawatir dengan risiko besaran biaya transaksi. Investasi domestik di Indonesia dianggap cenderung masih kurang efisien.
Nilai incremental capital output ratio (ICOR) sebagai parameter efisiensi investasi cenderung masih sangat tinggi. Khusus terkait pembiayaan infrastruktur, hambatan tentang pembebasan lahan sudah cukup menghantui.
Belum lagi dengan adanya indikasi biaya transaksi yang muncul dari lingkungan birokrasi. Isu mark-up biaya dan korupsi juga tak kalah mengganggunya dibandingkan dengan persoalan pembebasan lahan.
Kedua, reformasi birokrasi dan stabilitas politik perlu terus dijalankan. Selain terkait dengan persoalan isu mark-up dan indikasi korupsi, pekerjaan rumah berikutnya ialah bagaimana cara agar regulasi pembiayaan investasi bisa stabil dan tidak berubah-ubah.
Karena selama ini kita seperti terjebak dengan adanya sebuah tradisi ketika kepemimpinan suatu rezim berakhir, maka rezim pengganti berikutnya akan melakukan perombakan besar-besaran. Inilah yang kemudian membuat kepastian hukum di negara kita menjadi simpang siur.
Obligasi daerah yang sempat ingin dimasifkan sebagai alternatif pembiayaan di tingkat daerah juga terkendala dengan hal yang sama. Belum lagi dengan persoalan tumpang-tindih kebijakan antarkementerian, dan juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Reformasi birokrasi diharapkan mampu menjembatani peraturan yang lebih mapan (stabil), tegas, dan terintegrasi sehingga mampu memutus mata rantai korupsi.
Ketiga, perlu ada refocusing. Dengan kapasitas pembiayaan yang terbatas, maka tidak banyak ruang untuk menghambur-hamburkan biaya pembangunan di setiap wilayah. Perlu dihitung lagi dengan cermat wilayah mana saja yang dapat menguntungkan secara ekonomis maupun politis. Misalnya terkait dengan pembangunan jalan trans-Papua atau trans-Sumatra.
Setelah nantinya terbangun dengan megah, pertimbangannya adalah aktivitas ekonomi apa saja yang akan muncul, berapa banyak tenaga kerja yang akan terserap? Pilihan-pilihan tersebut akan terus dipertimbangkan dari segala aspek untuk menjadi pilihan terbaik bagi semua.
Dan keempat, dibutuhkan koordinasi dengan otoritas moneter terkait dengan kebijakan kredit modal. Dana untuk tahap konstruksi bisa dibilang sangat besar dan mungkin melebihi likuiditas yang dimiliki para calon investor sehingga kredit perbankan amat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan modal.
Pemerintah memang sudah memfasilitasi dengan adanya penjaminan kredit. Akan tetapi hambatan lainnya ialah terkait dengan durasi pengembaliannya. Rata-rata pembayaran cicilan utang dan bunganya juga dalam jangka pendek.
Sementara itu pengembalian investasi dari pembangunan infrastruktur biasanya baru diterima dalam jangka panjang. Dibutuhkan sebuah solusi yang jitu atas permasalahan ini, agar masing-masing pihak baik itu perbankan ataupun investor tidak saling terjebak dalam risiko likuiditas.
Sekali lagi, tahun 2018 ini merupakan periode penting bagi pembangunan infrastruktur yang sudah dimulai sejak 2 tahun lalu untuk menunjukkan dampak dan hasil yang signifikan bagi masyarakat. Strategi pembangunan Nawacita perlu menunjukkan hasil yang konkret dan ini membutuhkan kerja bareng seluruh komponen bangsa, dengan mengurangi kegaduhan, saling curiga, dan jegal-menjegal. Semoga.
(poe)