Dewan Pers Khawatirkan Maraknya Jurnalisme Anarkis

Sabtu, 20 Januari 2018 - 08:48 WIB
Dewan Pers Khawatirkan...
Dewan Pers Khawatirkan Maraknya Jurnalisme Anarkis
A A A
JAKARTA - Secara umum, kehidupan pers di Indonesia pada tahun 2017 masih menyisakan kekhawatiran terhadap makin maraknya praktik bisnis media yang tidak profesional serta maraknya upaya penyalahgunaan profesi wartawan alias jurnalisme anarkis. Jurnalistik yang seharusnya dapat mendorong tercapainya tujuan berbangsa, mendorong tercapainya masyarakat demokratis, berkeadilan sosial dan sejahtera.

Dalam siaran pers Dewan Pers yang diterima SINDOnews, Sabtu (20/1/2018) dijelaskan, riak-riak muncul ketika praktik jurnalisme yang masih rendah ketaaatannya pada etika jurnalisme, berkolaborasi dengan praktik bisnis maupun kepentingan praktis atas tujuan politis tertentu. Kondisi inilah yang dilihat oleh Dewan Pers sebagai bentuk anarkisme atas produk jurnalisme.

Beberapa catatan penilaian ini didasarkan pada beberapa program implementasi tugas dan fungsi Dewan Pers, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Nilai Indeks Kemerdekaan Pers 2016 beranjak lebih baik bila dibandingkan dengan hasil pengukuran Indeks Kemerdekaan Pers Tahun 2015. Indeks Kemerdekaan Pers 2016 tersebut menjadi tolok ukur kondisi kemerdekaan pers, yang secara kumulatif menggambarkan bahwa 30 provinsi di Indonesia berada dalam posisi 'agak bebas'/fairly free yang dengan nilai indeks sebesar 68.95. Keadaan ini membaik dibanding keadaan kemerdekaan pers pada 2015 dengan hasil pengukuran indeks sebesar 63.44. Dengan demikian kemerdekaan pers Indonesia dapat dikatakan "mendekati bebas".

Namun, bila dilihat lebih mendalam, kemerdekaan pers Indonesia pada tahun 2016 sebetulnya mengalami defisit dalam hal kebebasan-untuk (freedom for). Hal ini terindikasi dari beberapa masalah, misalnya masih terjadinya intimidasi oleh aparat atas jurnalis yang sedang menjalankan tugas meliput berita, praktik konglomerasi media yang cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal, ketergantungan media yang berlebihan pada anggaran belanja media pemerintah daerah, serta sikap toleran atas praktik amplop bagi wartawan.

Selain itu, praktik jurnalisme anarkis tercermin dari masih tetap maraknya pengaduan masyarakat atas produk pemberitaan yang dihasilkan pers nasional, baik yang berplatform cetak, elektronik, maupun digital. Selama 2017, Dewan Pers menyelesaian pengaduan melalui mediasi dan ajudikasi yang dituangkan dalam 51 Risalah Penyelesaian Pengaduan ke Dewan Pers (Risalah). Risalah itu menyangkut 23 media cetak, 2 media elektronik, dan 26 media online (siber).

Pada kurun yang sama, Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR) terhadap 41 media dengan rincian 16 media cetak dan 25 media siber. Pelanggaran umum, seperti tercermin dalam Risalah, dapat dirinci bahwa sebanyak 39 media melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan 43 media melanggar Pasal 3 KEJ, sisanya melanggar Pasal 11 media melanggar Pasal 2 KEJ.

Media-media itu ada yang melanggar Pasal 1 dan 3 KEJ sekaligus, bahkan Pasal 1, 2 dan 3 KEJ. Yang menyedihkan, ada media-media yang terindikasi melanggar asas praduga tak bersalah (Pasal 5) dan tanpa mengumumkan penanggung jawab medianya (Pasal 12) UU No 40/1999 tentang Pers.

Hal sama juga tercermin dalam PPR yang dikeluarkan Dewan Pers. Sebanyak 11 media melanggar Pasal 1 KEJ dan 26 media melanggar Pasal 3 KEJ. Seperti dalam Risalah, PPR yang dikeluarkan Dewan Pers menunjukkan ada media-media yang melanggar Pasal 1 dan 3 sekaligus. Bahkan melanggar pasal-pasal lain dalam KEJ yakni Pasal 2 (4 media); Pasal 4 (2 media), Pasal 5 (media), Pasal 6 (media) dan Pasal 8 (2 media).

Dalam PPR tersebut, Dewan Pers juga menunjuk beberapa media terindikasi melanggar Undang-Undang Pers Pasal 3 (11 media), Pasal 2 (media), Pasal 6 (11 media) dan Pasal 12 (2 media).
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0932 seconds (0.1#10.140)