Aisyiyah dan Pemberdayaan Ekonomi

Kamis, 18 Januari 2018 - 08:35 WIB
Aisyiyah dan Pemberdayaan Ekonomi
Aisyiyah dan Pemberdayaan Ekonomi
A A A
Mukhaer Pakkanna
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta,
Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah

ORGANISASI sayap perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, akan menggelar tanwir di Surabaya, Jawa Timur, pada 19-21 Januari 2018. Menarik, tema yang diangkat pada tanwir ini adalah "Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, Pilar Kemakmuran Bangsa". Tema ini sangat relevan, setidaknya terlihat dari mulai maraknya gerakan-gerakan ekonomi berbasis komunitas. Gerakan ini yang jika tidak diorganisasi dengan kelembagaan dan jejaring yang apik, bukan tidak mungkin sekadar jadi euforia. Dalam organisasi Aisyiyah, tanwir adalah musyawarah tertinggi setelah muktamar.

Melalui forum tanwir, Aisyiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid ingin menghentakkan kesadaran kolektif bangsa bahwa modalitas yang dimiliki perempuan bisa menjadi fundamen dan pilar dalam membangun ekonomi. Lantas, modal apa yang dimiliki perempuan?

Dalam studi Dasgupta, Partha dan Ismail Saralgedin (2000) berjudul Social Capital-A Multifaceted Perspective, (Washington, DC: World Bank), perempuan dengan modal sosial (social capital) yang kuat bisa memantik pertumbuhan pelbagai sektor ekonomi. Modal sosial mengejawantah dalam bentuk kekohesifan sosial, semangat gotong-royong, tolong-menolong, rasa dan semangat saling memberi (reciprocity), trust (rasa saling percaya), dan jejaring sosial (social networking). Modalitas ini menjadi energi dalam membangun keberlanjutan usaha dan bertahannya kekuatan ekonomi suatu masyarakat, terutama ekonomi keluarga.

Modalitas ini yang membuat banyak lembaga keuangan mikro (LKM) di pelbagai pelosok dunia melirik kekuatan ekonomi perempuan tersebut. Studi Mayoux (1999), misalnya, yang mengelaborasi peranan LKM dan pemberdayaan perempuan di beberapa wilayah Afrika (Kamerun, Zimbabwe, Afrika Selatan, Kenya, dan Uganda), dengan Sudan sebagai acuan (benchmark) dalam pemberdayaan perempuan penerima kredit mikro.

Mayoux mengemukakan, asumsi utama pemberdayaan perempuan, yakni mereka adalah inti dari keluarga. Penurunan jumlah kemiskinan perempuan secara otomatis menurunkan jumlah kemiskinan. Dengan pendekatan studi kasus, program kredit mikro di beberapa negara--dengan Afrika sebagai sampel--secara nyata memberi kontribusi dalam mengubah tatanan gender. Oleh karena perempuan lebih ditekankan dalam akses kredit mikro, secara otomatis kegiatan ekonomi perempuan berkembang jauh lebih besar (Tundui & Mgonja, 2010; Ifelunini & Wosowei, 2013).

Merawat Gerakan

Salah satu contoh autentik sosok perempuan Aisyiyah yang mampu merawat perjuangan dalam tiga fungsi simultan (fungsi reproduksi, produksi, dan fungsi sosial di masyarakat) dapat dibaca dalam White Papers yang dikeluarkan Department of Foriegn Affairs and Trade (DFAT) Australia pada Kamis (23/11/2017). Salah satu nama yang mencuat dalam dokumen tersebut adalah aktivis perempuan bernama Syamsiah. Sosok ini merupakan aktivis Aisyiyah yang berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.

Setidaknya itu dilakukannya di wilayah Kampung Kaili, Bonto Lebang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Syamsiah bergerak melalui Balai Sakinah Aisyiyah yang menceburkan diri secara aktif dalam proses pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan program Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (Mampu).

Dia menunjukkan perjuangannya keluar-masuk perkampungan (desa) dalam mengedukasi kaum ibu, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. White Papers yang merekam jejak aktivis Aisyiyah ini adalah dokumen internasional yang komprehensif tentang kebijakan luar negeri Australia selama 14 tahun terakhir dengan isu pemberdayaan kaum ibu sebagai salah satu prioritas utama. Syamsiah dianggap sebagai sosok ibu yang gigih melakukan pemberdayaan dan mampu menyadarkan kaum perempuan yang didasarkan pada potensi dan modalitas sosial yang dimiliki perempuan itu sendiri.

Perjuangan Syamsiah tentu tidak lepas dari tempaan organisasi Aisyiyah. Organisasi yang berdiri sejak 19 Mei 1917 ini memiliki perhatian khusus memajukan agama, pendidikan, layanan kesehatan, dan sosial kepada masyarakat umum. Organisasi ini juga menekankan peningkatan kualitas hidup perempuan agar dapat mencapai sebuah keluarga sakinah dan qaryah thayyibah.

Kekuatan Aisyiyah sebagai organisasi perempuan terletak pada gerakannya di tingkat akar rumput dan melalui amal usaha yang meliputi antara lain 13.000 amal usaha pendidikan anak usia dini, amal usaha pendidikan dasar dan menengah; 13 pendidikan tinggi, 568 koperasi, 1.029 bina usaha ekonomi keluarga, dan amal usaha di bidang kesehatan.

Usaha di bidang kesehatan yang dikelola Muhammadiyah-Aisyiyah ini berupa 87 rumah sakit umum, 16 rumah sakit ibu dan anak, 70 rumah sakit bersalin, 106 balai pengobatan, 20 balai kesehatan masyarakat, 76 balai kesehatan ibu dan anak, 105 rumah bersalin, serta posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dengan potensi itu, sejumlah lembaga donor internasional menawarkan kerja sama dengan Aisyiyah, antara lain Asia Foundation, UNICEF, Global Fund for Children, Family Health International, John Hopkins University, dan Advance Family Planning. Selain itu, bekerja sama dengan pemerintah, misalnya dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk promosi kontrasepsi non-hormonal dan program kesehatan reproduksi, Kementerian Kesehatan RI berkaitan dengan program perilaku hidup yang bersih dan higienis, Program Desa Siaga, dan program kesehatan reproduksi.

Dengan program yang terstruktur dan terlembaga seperti itu, tidak mengherankan jika Aisyiyah sebagai perkumpulan kaum ibu telah mengukir prestasi, terutama dalam membangun basis kader dan gerakan. Namun dalam bidang gerakan pemberdayaan ekonomi, gerakan Aisyiyah masih minim kontribusi jika dibandingkan dengan beberapa organisasi perempuan yang berbasis gerakan ekonomi. Padahal empat pilar konsentrasi yang telah dicanangkan Aisyiyah adalah bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan pendidikan. Pada faktanya, empat konsentrasi itu masih berjalan pincang dan belum berjalan simultan.

Pemberdayaan Ekonomi

Gerakan Aisyiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial hanya bisa tegak dan berkesinambungan jika ditopang kemandirian gerakan ekonomi. Oleh karena itu, gerakan ekonomi Aisyiyah harus berorientasi penguatan kelembagaan dan pemberdayaan ekonomi anggota. Pada aspek penguatan kelembagaan, harus dipastikan bahwa kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan ekonomi, menekankan aspek organisasi, mekanisme, kepemimpinan, nilai, norma, dan aturan-aturan formal dan informal yang berkembang di tengah masyarakat.

Pada aspek pemberdayaan, banyak studi membuktikan, lembaga keuangan mikro (LKM) mampu memberdayakan ekonomi dan menyejahterakan keluarga. Contoh fenomenal adalah praktik penyelenggaraan pemberian kredit mikro bagi masyarakat miskin yang dilakukan Muhammad Yunus dengan institusi Grameen Bank (GB) di Bangladesh. GB secara signifikan mampu mengurangi jumlah masyarakat miskin di pelbagai wilayah perdesaan. Seperti diungkap Parveen (2009), GB telah memberi kredit ke hampir 7 (tujuh) juta orang miskin di 73.000 desa Bangladesh, 97% di antaranya ibu rumah tangga (perempuan).

Dalam konteks itulah, gerakan ekonomi Aisyiyah harus mandiri dan mampu memandirikan ibu-ibu rumah tangga. Namun kemandirian ekonomi kaum ibu bukan berarti kaum ibu memutuskan segala sesuatu tanpa musyawarah dengan suami atau anggota rumah tangga lain. Kemandirian memiliki makna bahwa kaum ibu tidak menggantungkan ekonomi rumah tangga hanya kepada suami. Perempuan ikut bekerja semata-mata untuk membantu meringankan beban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4895 seconds (0.1#10.140)