DPR-Pemerintah Sepakat Hapus Istilah Verifikasi Faktual Parpol
A
A
A
JAKARTA - Komisi II DPR dan pemerintah sepakat untuk membatalkan ketentuan verifikasi faktual terhadap partai politik (Parpol) calon peserta Pemilu 2019. Langkah ini diambil untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi parpol, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Hal itu merupakan salah satu poin yang disepakati dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Keputusan tersebut diambil untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan atas Pasal 173 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait tahapan pemilu.
"Melakukan penyesuaian dalam Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2017 tentang tahapan program dan jadwal penyelenggaraan pemilu dan Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2017 tentang pendaftaran verifikasi dan penetapan parpol peserta pemilu anggota DPR, DPRD yang disesuaikan norma pasal 172 sampai dengan pasal 179 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," ujar Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali saat membacakan kesimpulan rapat.
Adapun kesimpulan itu sebagai tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan semua Parpol mengikuti verifikasi. Kendati demikian, DPR dan pemerintah sepakat bahwa putusan MK terkait verifikasi itu dilaksanakan pada Pemilu 2019.
"Putusan MK dilaksanakan dalam Pemilu tahun 2019 dengan prinsip tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 tahun tahun 2017 tentang pemilihan umum," kata Amali. Selain itu, rapat tersebut juga menyepakati agar tidak melakukan perubahan nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai norma verifikasi faktual Parpol memang hanya tertera di PKPU nomor 11 tahun 2017. Dia menambahkan, putusan MK menegaskan proses verifikasi harus mengedepankan azaz perlakuan yang adil kepada seluruh Parpol yang hendak menjadi peserta Pemilu 2019.
"Dalam norma UU itu kan sebetulnya verifikasi administratif dan keabsahan. Sembilan indikator dalam UU itu itu yang harus dilakukan. Karena itu, PKPU harus menyesuaikan kepada UU itu," kata Ace. Hal senada dikatakan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto.
Yandri mengatakan, verifikasi Parpol sebenarnya sudah dilakukan KPU melalui pendaftaran parpol melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Dia menambahkan, lagipula PKPU yang mengatur soal verifikasi faktual bertentangan dengan UU Pemilu, di mana di dalamnya tidak ada aturan atau norma soal verifikasi faktual.
"Sipol itu sudah sangat ketat, bagi mereka yang asal masuk data kan tertolak. Termasuk nomor rekening, 30% perempuan, itu semua diverifikasi. Kalau enggak, kan dikembalikan SK kami," kata Yandri.
Ketua KPU Arief Budiman pun sepakat bahwa putusan MK itu tidak menegaskan semua Parpol harus mengikuti verifikasi faktual. Dia menafsirkan, MK hanya meminta proses verifikasi harus adil terhadap seluruh Parpol yang ingin menjadi peserta pemilu.
"Sebetulnya kalau kita mau baca pertimbangan hukum MK, yang dipentingkan semua diperlakukan adil dan setara. Kalau dokumen, semua dokumen. Kalau faktual, semua faktual. KPU mau menjaga itu," kata Arief.
Hal itu merupakan salah satu poin yang disepakati dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Keputusan tersebut diambil untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan atas Pasal 173 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait tahapan pemilu.
"Melakukan penyesuaian dalam Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2017 tentang tahapan program dan jadwal penyelenggaraan pemilu dan Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2017 tentang pendaftaran verifikasi dan penetapan parpol peserta pemilu anggota DPR, DPRD yang disesuaikan norma pasal 172 sampai dengan pasal 179 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," ujar Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali saat membacakan kesimpulan rapat.
Adapun kesimpulan itu sebagai tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan semua Parpol mengikuti verifikasi. Kendati demikian, DPR dan pemerintah sepakat bahwa putusan MK terkait verifikasi itu dilaksanakan pada Pemilu 2019.
"Putusan MK dilaksanakan dalam Pemilu tahun 2019 dengan prinsip tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 tahun tahun 2017 tentang pemilihan umum," kata Amali. Selain itu, rapat tersebut juga menyepakati agar tidak melakukan perubahan nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai norma verifikasi faktual Parpol memang hanya tertera di PKPU nomor 11 tahun 2017. Dia menambahkan, putusan MK menegaskan proses verifikasi harus mengedepankan azaz perlakuan yang adil kepada seluruh Parpol yang hendak menjadi peserta Pemilu 2019.
"Dalam norma UU itu kan sebetulnya verifikasi administratif dan keabsahan. Sembilan indikator dalam UU itu itu yang harus dilakukan. Karena itu, PKPU harus menyesuaikan kepada UU itu," kata Ace. Hal senada dikatakan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto.
Yandri mengatakan, verifikasi Parpol sebenarnya sudah dilakukan KPU melalui pendaftaran parpol melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Dia menambahkan, lagipula PKPU yang mengatur soal verifikasi faktual bertentangan dengan UU Pemilu, di mana di dalamnya tidak ada aturan atau norma soal verifikasi faktual.
"Sipol itu sudah sangat ketat, bagi mereka yang asal masuk data kan tertolak. Termasuk nomor rekening, 30% perempuan, itu semua diverifikasi. Kalau enggak, kan dikembalikan SK kami," kata Yandri.
Ketua KPU Arief Budiman pun sepakat bahwa putusan MK itu tidak menegaskan semua Parpol harus mengikuti verifikasi faktual. Dia menafsirkan, MK hanya meminta proses verifikasi harus adil terhadap seluruh Parpol yang ingin menjadi peserta pemilu.
"Sebetulnya kalau kita mau baca pertimbangan hukum MK, yang dipentingkan semua diperlakukan adil dan setara. Kalau dokumen, semua dokumen. Kalau faktual, semua faktual. KPU mau menjaga itu," kata Arief.
(pur)