Tuan Justice Collaborator
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
AGAK mengagetkan bagi banyak orang. Setya Novanto (Setnov) mengajukan diri untuk menjadi justice collaborator (JC) dalam megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Mengapa mengagetkan?
Karena orang yang bersedia menjadi JC adalah orang yang harus mengaku dulu bahwa dirinya memang melakukan tindak pidana yang didakwakan. Berarti dengan kemauannya menjadi JC Setnov mengakui dirinya korupsi dan korupsi e-KTP itu benar-benar ada.
Mengagetkannya, dulu sampai berbulan-bulan Setnov habis-habisan menolak dituduh melakukan korupsi, bahkan mengatakan tidak ada korupsi e-KTP itu.
Semula segala cara untuk mengelak dari kejaran kasus itu pernah dilakukan oleh Setnov yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi itu. Misalnya melalui penggalangan opini, tidak menghadiri panggilan KPK, menjadi sakit dan segera sembuh setelah menang di praperadilan, sakit lagi dengan sebab tabrakan tetapi oleh tim dokter dari RSCM dan IDI yang bekerja independen dan profesional dinyatakan dia bisa diperiksa, ditahan, dan diajukan ke persidangan oleh KPK.
Meskipun status JC itu belum final, karena KPK sendiri masih akan mempelajari dan mempertimbangkannya, semakin pastilah secara hukum maupun keyakinan masyarakat bahwa korupsi itu bukan khayalan atau rekayasa politik seperti yang ditudingkan oleh sementara kalangan. Ini penting ditekankan karena Setnov dan pembela utamanya di jalur politik mengatakan bahwa, “Korupsi e-KTP itu hanya khayalan, korupsi e-KTP itu rekayasa atau politisasi oleh KPK, korupsi e-KTP itu tidak ada karena dirinya sudah berkeliling di gedung DPR mencari-cari uang korupsi itu ternyata tidak ada.” Amboi.
Bukan hanya teman politik Setnov yang ramai-ramai mengatakan bahwa korupsi e-KTP itu tidak ada, tetapi juga, entah dengan rayuan apa, tidak sedikit ahli dan aktivis hukum yang mengatakan dengan sangat ekspresif bahwa Setnov tidak melakukan korupsi e-KTP, Setnov diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Nah, sekarang Setnov menyatakan ingin menjadi JC. Siapa yang sebenarnya berkhayal? Siapa yang sebenarnya ingin membelokkan kasus hukum agar tersembunyi di timbunan hiruk-pikuk politik?
Mari kita runut lagi berbagai fakta korupsi e-KTP itu. Pertama, ada perusahaan yang menagih lagi uang proyek e-KTP ke Kemendagri sebesar USD70 juta, padahal Kemendagri sudah mengeluarkan semua dana sesuai kontrak dan sesuai mekanisme APBN.
Kedua, banyak penerima uang korupsi e-KTP itu yang mengembalikan uangnya ke KPK begitu kasus itu disidik, meskipun ada yang beralasan bahwa dirinya tidak tahu kalau uang itu uang korupsi e-KTP, termasuk Sekjen Kemendagri Diah. Ketiga, ada beberapa pelaku yang sudah divonis secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan bahwa mereka melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus e-KTP.
Keempat, Andi Narogong sebagai salah satu pelaku penting tidak melakukan eksepsi (bantahan atau penolakan) saat didakwa di depan pengadilan oleh jaksa dan langsung menyatakan menerima (tidak naik banding) ketika pengadilan menghukumnya 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Berati benar dia korupsi dan benar pula bahwa korupsi itu ada. Kelima, sekarang ini Setnov yang sedang dalam proses peradilan menyatakan ingin menjadi justice collaborator yang berarti benar bahwa korupsi itu ada.
Kita menaruh hormat kepada KPK yang telah gigih mengungkap kasus ini dan menggiring para pelakunya ke pengadilan. Kita tahu, secara telanjang KPK dikeroyok habis-habisan oleh para politisi, baik menggunakan nama personalnya maupun menggunakan status lembaganya. KPK juga diserang oleh “sedikit ahli hukum” dengan macam-macam tudingan. Tetapi KPK dengan penuh keyakinan dan tanpa takut terus menerjang.
Kita juga harus memberi apresiasi kepada pemerintah yang tidak melakukan intervensi atas penanganan kasus e-KTP ini. Akan sulit bagi KPK dan kita semua mengungkap kasus ini jika pemerintah ikut campur atas nama ketenangan politik. Pemerintah telah membuka pintu bagi KPK untuk menyelesaikan kasus e-KTP ini secara hukum, meskipun ada yang menawarkan alternatif agar kasus ini dibuka setelah Pemilu 2019.
Memang, upaya penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh situasi politik. Hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh. Sikap KPK yang seperti ini dua hari lalu dengan bangga kita dengar lagi ketika KPK mengatakan, “KPK tidak akan berhenti atau menunda penanganan kasus korupsi, meskipun sedang ada pilkada atau pemilu.”
Maju terus KPK. Jangan lupa lanjutkan penyelidikan dan penyidikan atas kasus kongkalikong yang diduga dilakukan oleh dua rumah sakit dan dokter-dokternya saat menangani Setnov sebelum (akhirnya) ditangani oleh RSCM dan IDI. Telisik lagi, siapa tahu masih banyak yang mau menjadi Mr Justice Collaborator.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
AGAK mengagetkan bagi banyak orang. Setya Novanto (Setnov) mengajukan diri untuk menjadi justice collaborator (JC) dalam megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Mengapa mengagetkan?
Karena orang yang bersedia menjadi JC adalah orang yang harus mengaku dulu bahwa dirinya memang melakukan tindak pidana yang didakwakan. Berarti dengan kemauannya menjadi JC Setnov mengakui dirinya korupsi dan korupsi e-KTP itu benar-benar ada.
Mengagetkannya, dulu sampai berbulan-bulan Setnov habis-habisan menolak dituduh melakukan korupsi, bahkan mengatakan tidak ada korupsi e-KTP itu.
Semula segala cara untuk mengelak dari kejaran kasus itu pernah dilakukan oleh Setnov yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi itu. Misalnya melalui penggalangan opini, tidak menghadiri panggilan KPK, menjadi sakit dan segera sembuh setelah menang di praperadilan, sakit lagi dengan sebab tabrakan tetapi oleh tim dokter dari RSCM dan IDI yang bekerja independen dan profesional dinyatakan dia bisa diperiksa, ditahan, dan diajukan ke persidangan oleh KPK.
Meskipun status JC itu belum final, karena KPK sendiri masih akan mempelajari dan mempertimbangkannya, semakin pastilah secara hukum maupun keyakinan masyarakat bahwa korupsi itu bukan khayalan atau rekayasa politik seperti yang ditudingkan oleh sementara kalangan. Ini penting ditekankan karena Setnov dan pembela utamanya di jalur politik mengatakan bahwa, “Korupsi e-KTP itu hanya khayalan, korupsi e-KTP itu rekayasa atau politisasi oleh KPK, korupsi e-KTP itu tidak ada karena dirinya sudah berkeliling di gedung DPR mencari-cari uang korupsi itu ternyata tidak ada.” Amboi.
Bukan hanya teman politik Setnov yang ramai-ramai mengatakan bahwa korupsi e-KTP itu tidak ada, tetapi juga, entah dengan rayuan apa, tidak sedikit ahli dan aktivis hukum yang mengatakan dengan sangat ekspresif bahwa Setnov tidak melakukan korupsi e-KTP, Setnov diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Nah, sekarang Setnov menyatakan ingin menjadi JC. Siapa yang sebenarnya berkhayal? Siapa yang sebenarnya ingin membelokkan kasus hukum agar tersembunyi di timbunan hiruk-pikuk politik?
Mari kita runut lagi berbagai fakta korupsi e-KTP itu. Pertama, ada perusahaan yang menagih lagi uang proyek e-KTP ke Kemendagri sebesar USD70 juta, padahal Kemendagri sudah mengeluarkan semua dana sesuai kontrak dan sesuai mekanisme APBN.
Kedua, banyak penerima uang korupsi e-KTP itu yang mengembalikan uangnya ke KPK begitu kasus itu disidik, meskipun ada yang beralasan bahwa dirinya tidak tahu kalau uang itu uang korupsi e-KTP, termasuk Sekjen Kemendagri Diah. Ketiga, ada beberapa pelaku yang sudah divonis secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan bahwa mereka melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus e-KTP.
Keempat, Andi Narogong sebagai salah satu pelaku penting tidak melakukan eksepsi (bantahan atau penolakan) saat didakwa di depan pengadilan oleh jaksa dan langsung menyatakan menerima (tidak naik banding) ketika pengadilan menghukumnya 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Berati benar dia korupsi dan benar pula bahwa korupsi itu ada. Kelima, sekarang ini Setnov yang sedang dalam proses peradilan menyatakan ingin menjadi justice collaborator yang berarti benar bahwa korupsi itu ada.
Kita menaruh hormat kepada KPK yang telah gigih mengungkap kasus ini dan menggiring para pelakunya ke pengadilan. Kita tahu, secara telanjang KPK dikeroyok habis-habisan oleh para politisi, baik menggunakan nama personalnya maupun menggunakan status lembaganya. KPK juga diserang oleh “sedikit ahli hukum” dengan macam-macam tudingan. Tetapi KPK dengan penuh keyakinan dan tanpa takut terus menerjang.
Kita juga harus memberi apresiasi kepada pemerintah yang tidak melakukan intervensi atas penanganan kasus e-KTP ini. Akan sulit bagi KPK dan kita semua mengungkap kasus ini jika pemerintah ikut campur atas nama ketenangan politik. Pemerintah telah membuka pintu bagi KPK untuk menyelesaikan kasus e-KTP ini secara hukum, meskipun ada yang menawarkan alternatif agar kasus ini dibuka setelah Pemilu 2019.
Memang, upaya penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh situasi politik. Hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh. Sikap KPK yang seperti ini dua hari lalu dengan bangga kita dengar lagi ketika KPK mengatakan, “KPK tidak akan berhenti atau menunda penanganan kasus korupsi, meskipun sedang ada pilkada atau pemilu.”
Maju terus KPK. Jangan lupa lanjutkan penyelidikan dan penyidikan atas kasus kongkalikong yang diduga dilakukan oleh dua rumah sakit dan dokter-dokternya saat menangani Setnov sebelum (akhirnya) ditangani oleh RSCM dan IDI. Telisik lagi, siapa tahu masih banyak yang mau menjadi Mr Justice Collaborator.
(poe)