Hukuman Kebiri bagi Para Pedofil

Senin, 08 Januari 2018 - 07:45 WIB
Hukuman Kebiri bagi Para Pedofil
Hukuman Kebiri bagi Para Pedofil
A A A
Bagong Suyanto
Guru Besar dan Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Universitas Airlangga Surabaya

KEJAHATAN pedofilia masih saja terjadi. Walaupun ancaman hukuman telah diperberat dan tidak sedikit pula pelaku pedofilia yang dihukum berat, tampaknya hal itu tidak banyak berpengaruh. Di berbagai daerah, ulah pedofil yang mencabuli belasan atau bahkan seratus lebih anak-anak di bawah umur tetap terjadi dari waktu ke waktu.

Kasus terbaru yang berhasil dibongkar aparat kepolisian adalah ulah WS alias Babeh (49 tahun) yang ditangkap karena menyodomi puluhan anak di Kabupaten Tangerang, Banten. Dengan menawarkan iming-iming memiliki ajian semar mesem, yaitu mantra untuk memelet lawan jenis, WS leluasa memperdayai sejumlah korban yang kebanyakan adalah bocah berusia 10-15 tahun yang lugu dan tidak berdaya.

Ulah WS ini, sedikit banyak sama dengan kasus “Robot Gedek”, pelaku sodomi dan pembunuhan sejumlah anak laki-laki di Jakarta beberapa tahun silam. Bedanya adalah Baequni (48 tahun) yang selain seorang pedofil juga seorang necrofil, yakni seseorang yang senang berhubungan seks dengan mayat.

Kasus pedofilia yang tak kalah memiriskan hati terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. Kasus pencabulan yang dilakukan Emon juga sempat menjadi perhatian secara nasional. Lebih dari 100 anak melapor pernah menjadi korban Emon, namun yang sempat dicabuli tidak sebanyak jumlah pelapor. Aksi pencabulan tersebut dilakukan di tempat sepi di Pemandian Air Panas Lio Santa.

Daftar terjadinya kasus pedofilia tentu masih dapat terus diperpanjang. Di berbagai daerah kasus pedofilia masih menjadi ancaman utama masyarakat. Anak-anak yang lugu kerap tidak berdaya ketika menghadapi para pedofil yang menghalalkan semua cara untuk memperdayai korban.

Modus
Selama ini kesulitan yang dihadapi masyarakat untuk mendeteksi ulah monster pedofil adalah kelihaian pelaku menyembunyikan ulah bejatnya. Para pedofil yang ada di tengah masyarakat jangan dibayangkan ulah bejatnya bisa segera dideteksi dengan kasatmata, hanya dari segi penampilan fisik. Rata-rata pelaku pedofil sepintas selalu tampak ramah, supel, dan mudah memperdayai siapa pun jika hanya melihat penampilan luarnya.

Di masyarakat, selama ini paling tidak ada dua kelompok pedofil yang beroperasi mencari anak-anak sebagai korban hasrat seksual mereka yang menyimpang. Pertama, adalah kelompok pedofil kelas atas. Mereka biasanya adalah bagian dari wisatawan asing yang mengidap hasrat seksual menyimpang, yang banyak beroperasi di daerah tujuan wisata, seperti Bali dan Lombok. Pedofil dari kelompok ini biasanya bekerja dalam jaringan yang relatif rapi, semacam kelompok semitertutup dan terorganisasi.

Modus kelompok pedofil kelas atas ini umumnya lebih halus dan didukung oleh keuangan yang cukup. Dengan iming-iming memberi fasilitas baju baru, mainan yang menarik, makanan enak, dan sejenisnya, kelompok pedofil ini acap kali dengan mudah memperdayai korban. Karena sebagian besar yang mereka sasar memang anak-anak dari keluarga miskin dan mudah silau oleh tawaran kemewahan serta uang.

Kedua, adalah kelompok pedofil perseorangan yang kebanyakan berasal dari kelas bawah. Pedofil kelompok ini umumnya adalah bagian dari masyarakat marginal yang banyak mengandalkan keramahan, bujuk rayu, atau sebaliknya ancaman untuk memperdayai korban.

Sepanjang memungkinkan, memang anak-anak akan dijerat dengan bujuk rayu dan iming-iming uang meskipun jumlahnya tidak seberapa. Tetapi, jika cara bujuk rayu sudah tidak lagi mempan, mereka biasanya tak segan menggunakan cara kasar dengan mengancam akan menyakiti atau bahkan membunuh anak-anak jika mereka melawan atau menceritakan apa yang dialami kepada orang tuanya.

Salah satu kesamaan antara kelompok pedofil kelas atas maupun bahwa adalah pada keramahan dan kesukaan para pelaku bergaul dengan anak-anak calon korban mereka. Bagi masyarakat yang tidak peka terhadap ulah pedofil, memang sikap ramah pelaku sering disalahtafsirkan sebagai ciri orang-orang yang baik padahal itu hanya kamuflase untuk menyembunyikan motif menyimpang pelaku. Justru pada saat masyarakat lengah dan ikut tertipu sikap ramah pelaku, pada saat itulah celah kelengahan masyarakat akan dimanfaatkan pelaku untuk mulai memperdayai korban.

Hukuman Kebiri
Terlepas bahwa faktor pemicu munculnya perilaku menyimpang para pedofil kemungkinan besar adalah karena pengaruh pornografi dan juga pada latar belakang kehidupan pelaku ketika masih kecil pernah menjadi korban sehingga sekarang menjadi pelaku, maka yang harus dipikirkan adalah apa bentuk sanksi efektif untuk mencegah agar mereka tidak mengulang kelakuan yang sama?

Dalam kasus WS, pelaku sodomi terhadap 41 anak di Tangerang tidak sedikit pihak yang mendukung agar pelaku diberlakukan pemberatan hukuman, yaitu dengan dihukum kebiri. Komisi VIII DPR yang membidangi masalah anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta sejumlah pihak lain umumnya mendukung agar pelaku dihukum kebiri untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku pedofilia yang lain.

Artinya, pelaku sodomi kepada anak-anak, di sini tidak hanya dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun. Namun, kepada para pelaku juga ditambahkan beban hukuman kebiri kimia.

Di kalangan pemerhati dan praktisi hukum, ancaman perlu-tidaknya hukuman kebiri diberlakukan kepada pelaku kekerasan seksual memang hingga ini masih menjadi bahan perdebatan. Namun demikian, kalau mengingat kualitas tindakan pelaku yang mengerikan, dampaknya kepada korban dan juga jumlah korban anak-anak yang begitu banyak, sebetulnya hukuman kebiri sangat layak diberlakukan.

Dengan berempati kepada nasib dan masa depan korban yang bisa dipastikan akan menanggung beban penderitaan seumur hidupnya, maka tambahan hukuman berupa kebiri kepada WS dan para pedofil lain niscaya pantas dilakukan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6247 seconds (0.1#10.140)