Blok Mahakam, Perjuangan Belum Usai!
A
A
A
Marwan Batubara
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
TANGGAL 1 Januari 2018 merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi Pertamina karena secara resmi menjadi pengelola atau operator Blok Mahakam setelah setengah abad blok ini dikelola PT Total E&P Indonesia (TEPI). Dengan status sebagai pengelola Mahakam, predikat Pertamina pun akan meningkat menjadi penghasil migas terbesar di Tanah Air dengan share sekitar 40% dari produksi migas nasional.
Setelah meraih status tersebut, Pertamina pun dapat dikatakan akan menjadi tuan di negeri sendiri. Namun predikat itu tidaklah dapat diraih dengan mudah.
Agar Pertamina menjadi tuan di negeri sendiri, di samping sikap tegas Karen Agustiawan (Dirut Pertamina 2010-2015) serta sejumlah dirut dan direktur lain, upaya atau "perjuangan" panjang stakeholders Pertamina justru sangat berperan guna memastikan Blok Mahakam dikelola Pertamina. Stakeholders tersebut meliputi tokoh-tokoh nasional, anggota DPR, para aktivis, serikat pekerja Pertamina, migas dan BUMN, badan-badan eksekutif mahasiswa seluruh Indonesia, pengurus partai, ormas, LSM, dll. Mereka berjuang sejak 2012 melalui berbagai langkah advokasi berupa seminar, pernyataan sikap, demonstrasi, penggalangan Petisi Mahakam, RDPU ke DPR, penyampaian tuntutan ke Istana Presiden, pelaporan potensi korupsi ke KPK, dll.
Ternyata para stakeholders "terpaksa" melakukan advokasi dalam rangka menghadapi sikap bangsa sendiri: para pejabat negara yang lebih memihak asing daripada membela kepentingan BUMN. Dua pejabat utama yang menginginkan asing tetap bercokol di Mahakam adalah J Wacik dan R Rubiandini.
Di samping itu ada pula dukungan dari pejabat di SKK Migas dan beberapa anggota DPR dari sejumlah partai. Guna mendukung Total dan Inpex, mereka nekat dan tidak malu mengungkap berbagai alasan tak logis dan kebohongan publik. Untunglah gerakan advokasi semakin besar dan terus berlanjut sehingga kedua pejabat eksekutif tersebut urung menjalankan niat dan belakangan justru masuk penjara.
Ironisnya saat ini perjuangan panjang tersebut belum juga berakhir. Blok Mahakam belum seutuhnya dikuasai Pertamina. Seandainya harus melepas sebagian saham (share down), biaya yang harus dibayar ke Pertamina pun belum jelas jumlahnya serta sangat rawan untuk dikorupsi.
Sebaliknya pihak-pihak asing belum rela melepas kenikmatan Mahakam. Di samping itu, tanpa rasa malu, masih ada saja oknum pribumi yang mendukung asing, berburu rente dan/atau "membonceng" untuk dapat memiliki "saham" Blok Mahakam.
Lebih ironis, ternyata sikap sejumlah pejabat yang berkuasa saat ini mirip dengan sikap pejabat sebelumnya. Hal ini terindikasi dari pernyataan-pernyataan berikut. Pertama, Menteri ESDM Ignatius Jonan pernah mempersilakan Total mengelola kembali Blok Mahakam pasca-2017 (EN , 13/2/2017). Kementerian ESDM mengatakan asalkan Pertamina menjadi pemegang saham mayoritas, mengenai masalah operator tidak akan dipersoalkan (Metronews , 7/4/2017). Pemerintah hanya menekankan agar produksi Blok Mahakam tetap stabil dan tidak mengalami penurunan. Bagaimana bisa masalah operatorship dianggap tidak penting?
Kedua, Menteri ESDM pernah mengatakan akan memberikan kesempatan kepada asing memiliki 39% saham pasca-2017 (Senipah, Kaltim, 13/3/2017). Hal ini kembali dinyatakan Wamen ESDM Arcandra Tahar di Jakarta pada Agustus 2017 (Bisnis , 25/8). Arcandra juga pernah mengatakan: Menteri ESDM akan menerbitkan surat keputusan guna memenuhi tuntutan TEPI dan Inpex untuk memperbesar saham Blok Mahakam menjadi 39% (Kontan , 13/9/2017). Kata Arcandra, ruang bagi kontraktor Blok Mahakam setelah kontrak berakhir masih mengacu pada keinginan Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan porsi maksimum 39%. Total dipersilakan untuk mendiskusikan hal ini dengan Pertamina dan SKK Migas.
Padahal Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said, telah menetapkan share down maksimum yang diperkenankan pemerintah adalah 30%! Mekanisme yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 15/2015 ini adalah pemerintah menetapkan Pertamina sebagai operator dengan hak 100%. Setelah itu Pertamina dapat melakukan pengurangan interes (share down) kepada pihak lain yang secara bisnis memberikan manfaat maksimal. Kementerian ESDM memfasilitasi proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pembagian interes di antara para pihak. Setelah melalui serangkaian pembahasan, Kementerian ESDM memutuskan pihak Indonesia mengontrol saham 70%, sedangkan Total dan Inpex memperoleh saham 30%.
Sejalan dengan sikap Sudirman Said pada 2015 tersebut, direksi Pertamina berulang kali mengatakan tidak berminat meningkatkan share down menjadi 39%. Dirut Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, "Jika di atas itu (30%), ranahnya bukan lagi ada di kami. Sewaktu saya join (diangkat menjadi dirut), kebetulan ini sudah dibicarakan dengan Pak Menteri. Instruksi ini pun sampai sekarang masih 30%. Jadi naik atau tidaknya share down menjadi urusan ESDM," kata Manik di Ruang Rapat Komisi VII, Jakarta, Selasa (6/6/2017).
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam juga bersikap sama. "Untuk share down belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan Total/Inpex," katanya (Kontan, 6/10/2017). Bulan berikutnya, Syamsu berkata, "Mahakam ini mandat yang kita terima, masih sama. Kita diberi kewenangan untuk melakukan share down ke BUMD 10%. Status itu tidak berubah, angka 30% atau 39%, yang kita kenal itu ya 30%. Karena itu yang ada di kita." (Akurat , 2/11/2017). Hingga 26 Desember 2017 Syamsu mengaku belum mengetahui surat pemerintah ke Pertamina terkait dengan perubahan share down.
Di sisi lain, Kementerian ESDM menyatakan telah mengeluarkan surat yang memperbolehkan Pertamina melepas hak partisipasi di Blok Mahakam sebesar 39% ke TEPI & Inpex. Wamen ESDM Arcandra mengatakan, Kementerian ESDM sudah menerbitkan surat perubahan mengenai porsi pembagian hak partisipasi Pertamina dalam mengelola Blok Mahakam yang sebelumnyaā€ˇ hanya 30% menjadi 39%. "Kan sudah ada suratnya. Boleh up to 39%," kata Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (22/12/2017).
Kita miris melihat sikap pejabat-pejabat Kementerian ESDM (juga di "kementerian lain") di atas. Mereka bukannya melindungi BUMN bangsa sendiri, tetapi justru sangat antusias mendukung asing untuk memiliki saham 39%. Padahal dengan semakin besar saham yang dimiliki BUMN, semakin besar pula potensi keuntungan yang diperoleh guna dinikmati rakyat! Apalagi Blok Mahakam ini merupakan blok migas yang telah berproduksi dan tingkat risiko bisnisnya pun menjadi rendah. Dengan begitu memberikan kesempatan share down 30% saja kepada asing, bagi kami (IRESS), sudah merupakan kebijakan yang merugikan. Apalagi jika harus naik menjadi 39% seperti yang "diperjuangkan" Jonan dkk.
Seperti disinggung di atas, umumnya motif oknum pejabat justru memihak asing daripada BUMN bangsa sendiri adalah perburuan rente dan dukungan politik. Namun IRESS juga memperoleh informasi dari seorang sahabat, mantan pejabat teras satu kementerian, bahwa ada beberapa oknum pejabat yang sangat berminat untuk ikut memiliki saham Blok Mahakam. Beliau menyebutkan, oknum-oknum ini ingin meraih untung besar melalui "kerja sama" dengan perusahaan asing tersebut. Itulah sebabnya mengapa ada yang berjuang habis-habisan agar share down saham Mahakam untuk asing justru perlu dialokasikan lebih besar.
Bagi para sahabat, tokoh, aktivis, dan mahasiswa yang selama ini ikut mengadvokasi Blok Mahakam, termasuk puluhan ribu penanda-tangan "Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat", IRESS mengimbau untuk tetap mengawal dan memperjuangkan penguasaan Blok Mahakam secara optimal dan bebas dari KKN bagi Pertamina.
Perjuangan belum usai. Untuk itu mari kita lanjutkan advokasi dan pastikan bahwa share down maksimal hanya 30%, penunjukan langsung TEPI & Inpex harus dibatalkan, metode pemilihan partner melalui tender terbuka, serta harga yang diterima Pertamina untuk share down tersebut adalah yang terbaik dan bebas dari korupsi.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
TANGGAL 1 Januari 2018 merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi Pertamina karena secara resmi menjadi pengelola atau operator Blok Mahakam setelah setengah abad blok ini dikelola PT Total E&P Indonesia (TEPI). Dengan status sebagai pengelola Mahakam, predikat Pertamina pun akan meningkat menjadi penghasil migas terbesar di Tanah Air dengan share sekitar 40% dari produksi migas nasional.
Setelah meraih status tersebut, Pertamina pun dapat dikatakan akan menjadi tuan di negeri sendiri. Namun predikat itu tidaklah dapat diraih dengan mudah.
Agar Pertamina menjadi tuan di negeri sendiri, di samping sikap tegas Karen Agustiawan (Dirut Pertamina 2010-2015) serta sejumlah dirut dan direktur lain, upaya atau "perjuangan" panjang stakeholders Pertamina justru sangat berperan guna memastikan Blok Mahakam dikelola Pertamina. Stakeholders tersebut meliputi tokoh-tokoh nasional, anggota DPR, para aktivis, serikat pekerja Pertamina, migas dan BUMN, badan-badan eksekutif mahasiswa seluruh Indonesia, pengurus partai, ormas, LSM, dll. Mereka berjuang sejak 2012 melalui berbagai langkah advokasi berupa seminar, pernyataan sikap, demonstrasi, penggalangan Petisi Mahakam, RDPU ke DPR, penyampaian tuntutan ke Istana Presiden, pelaporan potensi korupsi ke KPK, dll.
Ternyata para stakeholders "terpaksa" melakukan advokasi dalam rangka menghadapi sikap bangsa sendiri: para pejabat negara yang lebih memihak asing daripada membela kepentingan BUMN. Dua pejabat utama yang menginginkan asing tetap bercokol di Mahakam adalah J Wacik dan R Rubiandini.
Di samping itu ada pula dukungan dari pejabat di SKK Migas dan beberapa anggota DPR dari sejumlah partai. Guna mendukung Total dan Inpex, mereka nekat dan tidak malu mengungkap berbagai alasan tak logis dan kebohongan publik. Untunglah gerakan advokasi semakin besar dan terus berlanjut sehingga kedua pejabat eksekutif tersebut urung menjalankan niat dan belakangan justru masuk penjara.
Ironisnya saat ini perjuangan panjang tersebut belum juga berakhir. Blok Mahakam belum seutuhnya dikuasai Pertamina. Seandainya harus melepas sebagian saham (share down), biaya yang harus dibayar ke Pertamina pun belum jelas jumlahnya serta sangat rawan untuk dikorupsi.
Sebaliknya pihak-pihak asing belum rela melepas kenikmatan Mahakam. Di samping itu, tanpa rasa malu, masih ada saja oknum pribumi yang mendukung asing, berburu rente dan/atau "membonceng" untuk dapat memiliki "saham" Blok Mahakam.
Lebih ironis, ternyata sikap sejumlah pejabat yang berkuasa saat ini mirip dengan sikap pejabat sebelumnya. Hal ini terindikasi dari pernyataan-pernyataan berikut. Pertama, Menteri ESDM Ignatius Jonan pernah mempersilakan Total mengelola kembali Blok Mahakam pasca-2017 (EN , 13/2/2017). Kementerian ESDM mengatakan asalkan Pertamina menjadi pemegang saham mayoritas, mengenai masalah operator tidak akan dipersoalkan (Metronews , 7/4/2017). Pemerintah hanya menekankan agar produksi Blok Mahakam tetap stabil dan tidak mengalami penurunan. Bagaimana bisa masalah operatorship dianggap tidak penting?
Kedua, Menteri ESDM pernah mengatakan akan memberikan kesempatan kepada asing memiliki 39% saham pasca-2017 (Senipah, Kaltim, 13/3/2017). Hal ini kembali dinyatakan Wamen ESDM Arcandra Tahar di Jakarta pada Agustus 2017 (Bisnis , 25/8). Arcandra juga pernah mengatakan: Menteri ESDM akan menerbitkan surat keputusan guna memenuhi tuntutan TEPI dan Inpex untuk memperbesar saham Blok Mahakam menjadi 39% (Kontan , 13/9/2017). Kata Arcandra, ruang bagi kontraktor Blok Mahakam setelah kontrak berakhir masih mengacu pada keinginan Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan porsi maksimum 39%. Total dipersilakan untuk mendiskusikan hal ini dengan Pertamina dan SKK Migas.
Padahal Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said, telah menetapkan share down maksimum yang diperkenankan pemerintah adalah 30%! Mekanisme yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 15/2015 ini adalah pemerintah menetapkan Pertamina sebagai operator dengan hak 100%. Setelah itu Pertamina dapat melakukan pengurangan interes (share down) kepada pihak lain yang secara bisnis memberikan manfaat maksimal. Kementerian ESDM memfasilitasi proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pembagian interes di antara para pihak. Setelah melalui serangkaian pembahasan, Kementerian ESDM memutuskan pihak Indonesia mengontrol saham 70%, sedangkan Total dan Inpex memperoleh saham 30%.
Sejalan dengan sikap Sudirman Said pada 2015 tersebut, direksi Pertamina berulang kali mengatakan tidak berminat meningkatkan share down menjadi 39%. Dirut Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, "Jika di atas itu (30%), ranahnya bukan lagi ada di kami. Sewaktu saya join (diangkat menjadi dirut), kebetulan ini sudah dibicarakan dengan Pak Menteri. Instruksi ini pun sampai sekarang masih 30%. Jadi naik atau tidaknya share down menjadi urusan ESDM," kata Manik di Ruang Rapat Komisi VII, Jakarta, Selasa (6/6/2017).
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam juga bersikap sama. "Untuk share down belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan Total/Inpex," katanya (Kontan, 6/10/2017). Bulan berikutnya, Syamsu berkata, "Mahakam ini mandat yang kita terima, masih sama. Kita diberi kewenangan untuk melakukan share down ke BUMD 10%. Status itu tidak berubah, angka 30% atau 39%, yang kita kenal itu ya 30%. Karena itu yang ada di kita." (Akurat , 2/11/2017). Hingga 26 Desember 2017 Syamsu mengaku belum mengetahui surat pemerintah ke Pertamina terkait dengan perubahan share down.
Di sisi lain, Kementerian ESDM menyatakan telah mengeluarkan surat yang memperbolehkan Pertamina melepas hak partisipasi di Blok Mahakam sebesar 39% ke TEPI & Inpex. Wamen ESDM Arcandra mengatakan, Kementerian ESDM sudah menerbitkan surat perubahan mengenai porsi pembagian hak partisipasi Pertamina dalam mengelola Blok Mahakam yang sebelumnyaā€ˇ hanya 30% menjadi 39%. "Kan sudah ada suratnya. Boleh up to 39%," kata Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (22/12/2017).
Kita miris melihat sikap pejabat-pejabat Kementerian ESDM (juga di "kementerian lain") di atas. Mereka bukannya melindungi BUMN bangsa sendiri, tetapi justru sangat antusias mendukung asing untuk memiliki saham 39%. Padahal dengan semakin besar saham yang dimiliki BUMN, semakin besar pula potensi keuntungan yang diperoleh guna dinikmati rakyat! Apalagi Blok Mahakam ini merupakan blok migas yang telah berproduksi dan tingkat risiko bisnisnya pun menjadi rendah. Dengan begitu memberikan kesempatan share down 30% saja kepada asing, bagi kami (IRESS), sudah merupakan kebijakan yang merugikan. Apalagi jika harus naik menjadi 39% seperti yang "diperjuangkan" Jonan dkk.
Seperti disinggung di atas, umumnya motif oknum pejabat justru memihak asing daripada BUMN bangsa sendiri adalah perburuan rente dan dukungan politik. Namun IRESS juga memperoleh informasi dari seorang sahabat, mantan pejabat teras satu kementerian, bahwa ada beberapa oknum pejabat yang sangat berminat untuk ikut memiliki saham Blok Mahakam. Beliau menyebutkan, oknum-oknum ini ingin meraih untung besar melalui "kerja sama" dengan perusahaan asing tersebut. Itulah sebabnya mengapa ada yang berjuang habis-habisan agar share down saham Mahakam untuk asing justru perlu dialokasikan lebih besar.
Bagi para sahabat, tokoh, aktivis, dan mahasiswa yang selama ini ikut mengadvokasi Blok Mahakam, termasuk puluhan ribu penanda-tangan "Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat", IRESS mengimbau untuk tetap mengawal dan memperjuangkan penguasaan Blok Mahakam secara optimal dan bebas dari KKN bagi Pertamina.
Perjuangan belum usai. Untuk itu mari kita lanjutkan advokasi dan pastikan bahwa share down maksimal hanya 30%, penunjukan langsung TEPI & Inpex harus dibatalkan, metode pemilihan partner melalui tender terbuka, serta harga yang diterima Pertamina untuk share down tersebut adalah yang terbaik dan bebas dari korupsi.
(whb)