Urgensi Visi Menuju Bangsa Mandiri
A
A
A
JAKARTA - Tantangan global yang semakin ketat baik di bidang ekonomi, politik, pertahanan maupun sosial membuat negara-negara besar di dunia, termasuk Indonesia, menancapkan visinya. Selain sebagai guidance, visi menjadi penting untuk mewujudkan kekuatan baru di dunia.
Indonesia telah menetapkan Visi 2045 sebagai peta jalan untuk menuju bangsa yang mandiri dan kuat. Dengan visi jangka panjang ini, Indonesia bertekad menuju masa keemasan dengan dukungan bonus demografi pada periode 2030-2035. Guna merealisasi Indonesia Emas itu, Presiden Joko Widodo sudah memulai dengan menguatkan fondasi dengan memperbanyak pembangunan infrastruktur. Diharapkan setelah persoalan infrastruktur teratasi, pada periode 10 tahun kedua (2025-2035), Indonesia sudah mampu mengembangkan industri pengolahan yang berbasis bahan-bahan mentah.
Di tahapan terakhir adalah pengembangan industri jasa, termasuk bidang pariwisata. Kunci untuk mewujudkan Visi 2045 ini adalah dukungan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan tersebut, Indonesia menargetkan diri menjadi kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia.
Semakin terbatasnya kekayaan alam juga memacu beberapa negara mengusung visi jangka panjangnya. Arab Saudi misalnya kini getol mengampanyekan Saudi Vision 2030 untuk mengurangi ketergantungan negara dari sektor minyak dan gas. Saudi mulai banyak melakukan perubahan kebijakan internal berikut pencanangan program-program besar yang fenomenal. Selain mengurangi ketergantungan terhadap minyak, Saudi juga ingin melakukan diversifikasi ekonomi dan memajukan sektor layanan jasa seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, serta pariwisata.
Saudi Vision 2030 diluncurkan Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman dengan 80 proyek yang masing-masing menelan biaya USD3,7 juta-20 juta. Meski visinya terkesan ambisius, sang pangeran tetap yakin mencapainya. Dengan visi ini Saudi ingin menunjukkan rencana jangka panjangnya serta kekuatan dan kemampuan negerinya. Selain Saudi, Visi 2030 juga diusung Rusia. Adapun Dubai, India, China, dan Jepang telah menetapkan Visi 2020-nya.
Pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu menilai visi jangka panjang sebuah negara penting karena berfungsi memberi arah dan kepercayaan diri. Di sisi lain visi ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan yang berbeda-beda kepentingan dan kemungkinan besar bersaing pengaruh di dalam negeri. "Tanpa visi jangka panjang, kelihatannya cuma persaingan atau bahkan pertarungan politik yang tak berujung," ungkapnya.
Sementara itu untuk ke pentingan luar negeri, visi merupakan postur dan mengarahkan negara lain untuk melihat dengan cara tertentu. Namun soal efektivitas visi tersebut, Dinna menilai hal itu sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara masing-masing. “Misalnya program tanpa anggaran yang memadai ataupun tanpa dukungan teknis logistik yang konkret, tentu hanya jadi macan kertas saja," paparnya.
Dinna menilai untuk negara seperti Indonesia dan Saudi, visi jangka panjang baru sebatas upaya menunjukkan diri. Targetnya menunjukkan ke berbagai kalangan mengenai tujuan yang ingin dicapai kekuasaan saat ini. "Implementasi belum ada jaminan. Kecuali soal tantangan yang harus dihadapi. Itu memang kemungkinan menjadi urusan penting yang harus ditangani," ujarnya.
Upaya Antisipasi
Sejumlah negara menyadari persaingan ekonomi ke depan makin sengit. Menjadi bangsa yang mandiri adalah kunci. Rusia yang mengusung Strategi 2030 bertekad pada 12 tahun ke depan ekonominya tak lagi ditopang sektor layanan. Namun kian melemahnya produk domestik bruto (PDB) yang bersamaan dengan rendahnya harga minyak membuat Rusia bekerja keras.
Dalam Forum Ekonomi Krasnoyarsk, Rusia memfokuskan diri pada sejumlah isu seperti desentralisasi, pengembangan teknologi makanan, dan layanan kesehatan. Padahal, sejak 2000, semua pajak di Rusia dialokasikan melalui pusat federal sehingga membuat Kota Moskow menjadi wilayah dengan kemajuan paling cepat. Namun sesuai dengan Strategi 2030, pada masa depan semuanya akan berubah. Rusia akan fokus pada empat poin, yakni aktivitas investasi, substitusi impor, kualitas pemerintahan negara, dan kebijakan anggaran. Tantangan tersebut men jadi tantangan terbesar.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Oleg Deripaska, salah satu orang terkaya di Rusia, dengan kekayaan mencapai USD6,2 miliar. Pemilik perusahaan alumunium terbesar di dunia, Rusal, itu mengatakan, kini merupakan saatnya untuk mendepopulasi Moskow. Pada abad ke-18, pertanian merupakan sektor ekonomi paling maju. Namun pada abad ke-19 dan ke-20, pertanian menjadi sektor paling terbelakang.
Ledakan pertumbuhan ekonomi Uni Soviet pada 1920-1960 sebagian besar terdorong relokasi buruh dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan untuk mencari pekerjaan. Perdana Menteri (PM) Rusia Dmitry Medvedev seperti dilansir Russia Direct mengatakan, "Rusia akan bekerja sama dengan panel ahli dalam membangun Strategi 2030 agar Rusia menjadi lebih maju."
Adapun Dubai mengusung Dubai Tourism Vision 2020. Ini merupakan peta jalan strategis dengan target kunci menarik 20 juta wisatawan per tahun pada 2020, dua kali lipat dari tahun 2012. Visi itu disetujui Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, Penguasa Dubai dan Wakil Presiden serta Perdana Menteri (PM) Uni Emirates Arab (UEA) pada Mei 2013.
Target tersebut akan didukung dengan sejumlah inisiatif seperti kebijakan baru, pengembangan infrastruktur, peningkatan produk, dan investasi pemasaran destinasi wisata. Secara keseluruhan, inisiatif itu diharapkan dapat menjadikan Dubai sebagai pilihan utama wisata internasional dan pilihan para pelancong kaya.
Lain lagi dengan Turki yang membawa Visi 2023. Lima tahun ke depan atau bertepatan dengan 100 Tahun Republik Turki, negara ini menargetkan diri bisa bergabung dengan Uni Eropa. Turki juga bertekad masuk Top 10 kekuatan ekonomi di dunia. Saat ini Turki ada di peringkat ke-13 dan menjadi lima besar destinasi pariwisata dunia.
Adapun Jepang dengan Visi Shinzo Abe 2020 berupaya mewujudkan wajah baru negara yang lebih "segar" hampir di semua aspek melalui terobosan kebijakan moneter, fiskal yang fleksibel, dan terus memicu serta memacu investasi swasta atau yang populer disebut Abenomics.
Presiden China Xi Jinping menetapkan tujuan jangka panjang pembangunan China sebagai negara makmur pada 2020, negara sosialis modern pada 2035, dan terkemuka di dunia pada 2050. Dia meletakkan visi China menjadi negara yang lebih makmur, memberantas korupsi, membatasi kelebihan kapasitas industri, ketidaksetaraan pendapatan, dan polusi.
"Setelah berjuang keras selama satu dekade terakhir, sosialisme dengan karakteristik China telah memasuki era baru," kata nya seperti dilansir Reuters. Di China, Xi dipandang sebagai pemimpin paling berpengaruh sejak era kepemimpinan Mao Zedong.
Pengajar hubungan internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Situ Mutiah mengatakan, ada dua kepentingan mengapa negara-negara saat ini membuat visi jangka panjang. Pertama sebagai acuan dalam pembangunan, kedua sebagai pencitraan, terutama apa yang ingin dicapai negara tersebut, kepada dunia luar.
"Untuk Indonesia sebenarnya untuk masalah visi ini sudah dibuat saat zaman Presiden Soeharto, yaitu dengan repelita (rencana pembangunan lima tahun) di mana tujuan akhir dari repelita itu adalah Indonesia lepas landas," kata Mutiah.
Namun yang lebih penting dari visi jangka panjang tersebut adalah sebagai upaya integrasi bangsa dalam upaya mewujudkan visi dan misi ke depan suatu negara. Termasuk memberikan semangat kepada masyarakat dalam menggapai cita-cita tersebut. Karena itu dalam membuat visi ke depan yang harus diperhatikan adalah harus realistis dan bukan harapan semata. "Jika itu tidak realistis dan sekadar harapan, berarti hanya mimpi saja," sebutnya.
Indonesia telah menetapkan Visi 2045 sebagai peta jalan untuk menuju bangsa yang mandiri dan kuat. Dengan visi jangka panjang ini, Indonesia bertekad menuju masa keemasan dengan dukungan bonus demografi pada periode 2030-2035. Guna merealisasi Indonesia Emas itu, Presiden Joko Widodo sudah memulai dengan menguatkan fondasi dengan memperbanyak pembangunan infrastruktur. Diharapkan setelah persoalan infrastruktur teratasi, pada periode 10 tahun kedua (2025-2035), Indonesia sudah mampu mengembangkan industri pengolahan yang berbasis bahan-bahan mentah.
Di tahapan terakhir adalah pengembangan industri jasa, termasuk bidang pariwisata. Kunci untuk mewujudkan Visi 2045 ini adalah dukungan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan tersebut, Indonesia menargetkan diri menjadi kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia.
Semakin terbatasnya kekayaan alam juga memacu beberapa negara mengusung visi jangka panjangnya. Arab Saudi misalnya kini getol mengampanyekan Saudi Vision 2030 untuk mengurangi ketergantungan negara dari sektor minyak dan gas. Saudi mulai banyak melakukan perubahan kebijakan internal berikut pencanangan program-program besar yang fenomenal. Selain mengurangi ketergantungan terhadap minyak, Saudi juga ingin melakukan diversifikasi ekonomi dan memajukan sektor layanan jasa seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, serta pariwisata.
Saudi Vision 2030 diluncurkan Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman dengan 80 proyek yang masing-masing menelan biaya USD3,7 juta-20 juta. Meski visinya terkesan ambisius, sang pangeran tetap yakin mencapainya. Dengan visi ini Saudi ingin menunjukkan rencana jangka panjangnya serta kekuatan dan kemampuan negerinya. Selain Saudi, Visi 2030 juga diusung Rusia. Adapun Dubai, India, China, dan Jepang telah menetapkan Visi 2020-nya.
Pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu menilai visi jangka panjang sebuah negara penting karena berfungsi memberi arah dan kepercayaan diri. Di sisi lain visi ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan yang berbeda-beda kepentingan dan kemungkinan besar bersaing pengaruh di dalam negeri. "Tanpa visi jangka panjang, kelihatannya cuma persaingan atau bahkan pertarungan politik yang tak berujung," ungkapnya.
Sementara itu untuk ke pentingan luar negeri, visi merupakan postur dan mengarahkan negara lain untuk melihat dengan cara tertentu. Namun soal efektivitas visi tersebut, Dinna menilai hal itu sangat tergantung pada apa yang dilakukan negara masing-masing. “Misalnya program tanpa anggaran yang memadai ataupun tanpa dukungan teknis logistik yang konkret, tentu hanya jadi macan kertas saja," paparnya.
Dinna menilai untuk negara seperti Indonesia dan Saudi, visi jangka panjang baru sebatas upaya menunjukkan diri. Targetnya menunjukkan ke berbagai kalangan mengenai tujuan yang ingin dicapai kekuasaan saat ini. "Implementasi belum ada jaminan. Kecuali soal tantangan yang harus dihadapi. Itu memang kemungkinan menjadi urusan penting yang harus ditangani," ujarnya.
Upaya Antisipasi
Sejumlah negara menyadari persaingan ekonomi ke depan makin sengit. Menjadi bangsa yang mandiri adalah kunci. Rusia yang mengusung Strategi 2030 bertekad pada 12 tahun ke depan ekonominya tak lagi ditopang sektor layanan. Namun kian melemahnya produk domestik bruto (PDB) yang bersamaan dengan rendahnya harga minyak membuat Rusia bekerja keras.
Dalam Forum Ekonomi Krasnoyarsk, Rusia memfokuskan diri pada sejumlah isu seperti desentralisasi, pengembangan teknologi makanan, dan layanan kesehatan. Padahal, sejak 2000, semua pajak di Rusia dialokasikan melalui pusat federal sehingga membuat Kota Moskow menjadi wilayah dengan kemajuan paling cepat. Namun sesuai dengan Strategi 2030, pada masa depan semuanya akan berubah. Rusia akan fokus pada empat poin, yakni aktivitas investasi, substitusi impor, kualitas pemerintahan negara, dan kebijakan anggaran. Tantangan tersebut men jadi tantangan terbesar.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Oleg Deripaska, salah satu orang terkaya di Rusia, dengan kekayaan mencapai USD6,2 miliar. Pemilik perusahaan alumunium terbesar di dunia, Rusal, itu mengatakan, kini merupakan saatnya untuk mendepopulasi Moskow. Pada abad ke-18, pertanian merupakan sektor ekonomi paling maju. Namun pada abad ke-19 dan ke-20, pertanian menjadi sektor paling terbelakang.
Ledakan pertumbuhan ekonomi Uni Soviet pada 1920-1960 sebagian besar terdorong relokasi buruh dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan untuk mencari pekerjaan. Perdana Menteri (PM) Rusia Dmitry Medvedev seperti dilansir Russia Direct mengatakan, "Rusia akan bekerja sama dengan panel ahli dalam membangun Strategi 2030 agar Rusia menjadi lebih maju."
Adapun Dubai mengusung Dubai Tourism Vision 2020. Ini merupakan peta jalan strategis dengan target kunci menarik 20 juta wisatawan per tahun pada 2020, dua kali lipat dari tahun 2012. Visi itu disetujui Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, Penguasa Dubai dan Wakil Presiden serta Perdana Menteri (PM) Uni Emirates Arab (UEA) pada Mei 2013.
Target tersebut akan didukung dengan sejumlah inisiatif seperti kebijakan baru, pengembangan infrastruktur, peningkatan produk, dan investasi pemasaran destinasi wisata. Secara keseluruhan, inisiatif itu diharapkan dapat menjadikan Dubai sebagai pilihan utama wisata internasional dan pilihan para pelancong kaya.
Lain lagi dengan Turki yang membawa Visi 2023. Lima tahun ke depan atau bertepatan dengan 100 Tahun Republik Turki, negara ini menargetkan diri bisa bergabung dengan Uni Eropa. Turki juga bertekad masuk Top 10 kekuatan ekonomi di dunia. Saat ini Turki ada di peringkat ke-13 dan menjadi lima besar destinasi pariwisata dunia.
Adapun Jepang dengan Visi Shinzo Abe 2020 berupaya mewujudkan wajah baru negara yang lebih "segar" hampir di semua aspek melalui terobosan kebijakan moneter, fiskal yang fleksibel, dan terus memicu serta memacu investasi swasta atau yang populer disebut Abenomics.
Presiden China Xi Jinping menetapkan tujuan jangka panjang pembangunan China sebagai negara makmur pada 2020, negara sosialis modern pada 2035, dan terkemuka di dunia pada 2050. Dia meletakkan visi China menjadi negara yang lebih makmur, memberantas korupsi, membatasi kelebihan kapasitas industri, ketidaksetaraan pendapatan, dan polusi.
"Setelah berjuang keras selama satu dekade terakhir, sosialisme dengan karakteristik China telah memasuki era baru," kata nya seperti dilansir Reuters. Di China, Xi dipandang sebagai pemimpin paling berpengaruh sejak era kepemimpinan Mao Zedong.
Pengajar hubungan internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Situ Mutiah mengatakan, ada dua kepentingan mengapa negara-negara saat ini membuat visi jangka panjang. Pertama sebagai acuan dalam pembangunan, kedua sebagai pencitraan, terutama apa yang ingin dicapai negara tersebut, kepada dunia luar.
"Untuk Indonesia sebenarnya untuk masalah visi ini sudah dibuat saat zaman Presiden Soeharto, yaitu dengan repelita (rencana pembangunan lima tahun) di mana tujuan akhir dari repelita itu adalah Indonesia lepas landas," kata Mutiah.
Namun yang lebih penting dari visi jangka panjang tersebut adalah sebagai upaya integrasi bangsa dalam upaya mewujudkan visi dan misi ke depan suatu negara. Termasuk memberikan semangat kepada masyarakat dalam menggapai cita-cita tersebut. Karena itu dalam membuat visi ke depan yang harus diperhatikan adalah harus realistis dan bukan harapan semata. "Jika itu tidak realistis dan sekadar harapan, berarti hanya mimpi saja," sebutnya.
(amm)