Narkoba di Penjara
A
A
A
Baharuddin Aritonang
Pengamat Sosial
MEMBAHAS narkoba di penjara tentu tidaklah terlalu mudah karena persoalan narkoba itu sendiri susah dipahami. Tak heran bila ada yang mengibaratkan persoalan narkoba itu bagai gunung es. Yang terlihat ke permukaan hanya sedikit. Sementara yang terpendam di bawah permukaan amat banyak. Demikian pula halnya tentang penjara amat susah dipahami. Lebih-lebih kala belum pernah meringkuk di dalamnya. Yang dipahami hanya kisah sepotong-sepotong.
Soal memahami narkoba bersama pengaruhnya barangkali banyak yang telah mengetahui, termasuk tentang efek sampingannya, karena pada dasarnya narkoba itu juga memiliki manfaat. Pengaruh yang digunakan sebagai obat amat membantu bagi kehidupan manusia misalnya untuk pembius, terutama jenis narkotika. Atau, sebagai obat tidur atau penenang, untuk jenis-jenis obat penyakit jiwa, yang umum dikenal sebagai psikotropika.
Yang dipersoalkan adalah pengaruh sampingannya. Dampaknya yang tidak baik bagi kehidupan, khususnya yang menyebabkan ketergantungan atau ketagihan. Itulah yang harus dihindari dari penggunaan narkoba (narkotika dan psikotropika). Penyalahgunaan inilah yang dicoba dikendalikan. Perdagangan gelapnya diberantas dan ditekan.
Akibat perdagangan gelap atau penyalahgunaan tersebut akan menyebabkan pelaku dan korbannya masuk penjara. Jika yang masuk bui itu pedagang atau pengedarnya, dengan mudah dapat diterima. Berbeda halnya yang sekadar pengguna, yang sesungguhnya dapat disebut sebagai korban.
Tetapi, di dalam penjara semua itu akan menyatu. Baik pengedar, pedagang, maupun yang hanya pengguna atau korbannya. Untuk jenis kedua ini, akan muncul pemeo, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah merusak tubuh, di penjara lagi.
Karena itu, mengetahui kehidupan narapidana dengan kasus narkoba di penjara agaknya perlu memahami kehidupan di penjara secara langsung. Memang bisa diketahui (bahkan dituliskan) tanpa harus pernah tinggal di dalam penjara. Misalnya menulis novel atau cerita berdasar cerita orang lain.
Dalam kenyataan yang saya lihat sendiri, sesungguhnya banyak korban narkoba yang masuk penjara ini adalah pemakai. Pemakai juga dapat dikenai pasal pidana. Kalau sudah terkena pidana, akan berhadapan dengan hukum. Persoalan yang dihadapi bahkan sebelum masuk penjara. Beberapa orang yang saya temui mengatakan persoalannya akan selesai apabila mengeluarkan sekian puluh juta rupiah. Cerita seperti itu lumrah kita dengar dan baca. Koran-koran pun biasa memberitakannya.
Itu pula yang pernah saya lihat dan dengar dari empat mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta yang tertangkap karena berpesta narkoba di daerah Grogol, Jakarta Barat. Dua di antaranya tinggal menyusun skripsi. Karena tidak memenuhi permintaan penegak hukum, menjadikan mereka sebagai penghuni Rutan Salemba. Kalau sudah masuk proses hukum, permintaan uang lebih tinggi lagi karena menyangkut penyidik, penuntut, dan hakim yang memutus perkara. Kasihan sebenarnya.
Karena itu, bisa diketahui, sebagian besar penghuni penjara kita terkait kasus narkoba (pada 2011 itu mencapai sekitar 70% dari seluruh penghuni penjara). Bila diteliti lebih lanjut, sebagian besar dari narapidana akibat kasus narkoba ini merupakan pemakai atau pengguna. Persentasenya bahkan jauh lebih besar dari angka di atas. Meski terkadang susah dipisah antara pemakai dan pengedar karena pengedar acapkali juga sebagai pemakai. Atau, sebaliknya, pemakai yang berkembang menjadi pengedar walau tingkatnya kecil-kecilan saja, kelas pengecer.
Kasus narkoba ini termasuk yang membuat narapidana bertambah drastis. Kemenkumham melaporkan setiap bulan muncul 2000 narapidana baru. Setahun bertambah 24.000 orang penghuni lapas. Itulah sebabnya rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia diisi narapidana melebihi kapasitas yang sesungguhnya. Jumlah napi sekarang mencapai 220.000 orang. Karena kapasitasnya melampaui jumlah, dengan penjaga penjara yang terbatas, setiap kali terjadi kerusuhan di penjara. Kemenkumham menuntut pertambahan penjara baru disertai petugas penjara (lihat Tajuk KORAN SINDO, 21 Desember 2017).
Kembali ke soal narkoba di penjara. Berbeda dengan kualifikasi pengedar atau pedagang. Apalagi sudah setingkat bandar. Di dalam penjara pun sang bandar menjalankan pekerjaannya. Lebih-lebih dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini. Para bandar dengan mudah mengendalikan peredaran dan perdagangan narkoba, baik di dalam maupun di luar penjara. Menurut kepala BNN sendiri, 50% peredaran narkoba dikendalikan dari penjara. Itu dibuktikan polisi dengan menangkap DS, seorang narapidana di Lapas Tangerang, akhir November 2017. Penangkapan ini merupakan tindak lanjut setelah polisi menangkap empat tersangka pengedar narkoba.
Di dalam penjara para bandar tentulah memiliki tangan-tangan pengedar. Apakah di penjara juga dibuat narkoba? Saya tidak pernah melihatnya secara langsung. Kalau Anda baca novel 86 yang ditulis oleh Okky Madasari, GPU, 2011 memang begitulah keadaannya. Novel itu ditulis berdasar penelitian, baik melalui pengamatan maupun dari sejumlah wawancara. Terkadang dilengkapi imajinasi. Di situ digambarkan bahwa di dalam penjara pun bisa dihasilkan barang yang didagangkan secara ilegal ini. Cerita itu juga bisa kita dengar dari penjara khusus narkoba. Yang jelas, sebuah koran menulis bahwa sabu-sabu dari lapas di Jakarta diamankan. Ceritanya ketika BNN menangkap SB yang memiliki sabu-sabu dan dari pengembangan berasal dari seorang narapidana di salah satu lapas di Jakarta (lihat Republika, 26 April 2017). Apakah narkoba ini dibuat di lapas atau berasal dari lapas, tidak diungkapkan lebih lanjut.
Untuk menghasilkan narkoba (khususnya jenis psikotropika) memang tidaklah terlalu sulit karena tinggal mencampur bahan bakunya saja. Tempatnya cukup di dalam ruangan seperti yang ditemukan di diskotek MG, di Grogol Petamburan, Jakarta Barat baru-baru ini. Kalaupun narkoba harus didatangkan dari luar penjara, akan sama saja. Membawa narkoba bisa dengan diseludupkan misalnya di dalam bungkusan atau di sela-sela makanan. Apalagi, dengan penjagaan yang tidak terlalu ketat. Termasuk dengan menyuap penjaga.
Karena itu, para pengguna atau pemakai juga tetap melanjutkan kebiasaan menenggak narkoba di dalam penjara. Terutama mereka yang susah memutus ketergantungan ini. Di Rutan Salemba, saya melihat sendiri seorang napi pencandu narkoba yang sakau selama dua hari dua malam di dalam kamar tahanannya yang dikunci. Banyak juga yang berusaha memutus ketergantungan dengan bantuan para perawat dan dokter di klinik penjara. Setiap pagi para pencandu ini antre di depan klinik mendapatkan jatah bahan pengganti. Si petugas membaca nama pasien pencandu satu demi satu.
Tak heran bila bandar juga menempati tempat tersendiri di penjara. Mereka mempunyai kekuasaan, yang tidak hanya dapat mengendalikan dan mengatur teman-temannya, acapkali juga mendanai berbagai kegiatan di penjara. Walau hidup bebas di luar penjara jauh lebih nikmat, mereka lebih longgar dari narapidana lain. Sedikit banyak hal ini sudah digambarkan oleh Ferry Budiman, narapidana di Lapas Cipinang dan kemudian dipindah ke Lapas Nusakambangan, dan akhirnya dihukum mati. Karena dalam kehidupan ini uang amat menentukan, apa yang didapat di luar juga bisa didapatkan di dalam penjara. Yang tidak didapatkan hanyalah kebebasan.
Langkah menjadikan Lapas Nusakambangan sebagai penjara khusus kasus narkoba mungkin merupakan langkah yang tepat. Khususnya dengan mengisolasi para bandar dengan dunia luar. Betapapun keributan sering terjadi. Karena setiap bandar akan berusaha menjadi raja, sebagaimana juga dalam dunia narkoba.
Pemberantasan penyalahgunaan narkoba harus komprehensif dan menyeluruh. Tapi, karena topik ini khusus di penjara, langkah paling awal bagaimana memperbaiki sistem hukum di negeri ini. Sistem hukum yang rusaklah menyebabkan banyak perkara selalu berujung di penjara. Banyak penghuni rutan dan lapas itu tidak layak dihukum dan masuk penjara. Saya termasuk yang merasakannya.
Sehubungan itu tidak semua kasus narkoba harus berujung ke penjara. Kalau caranya begitu, penjara-penjara di negeri ini akan cepat penuh. Bahkan melampaui kapasitas yang sesungguhnya seperti yang terjadi sekarang ini. Itulah yang menjadi biang penyebab terjadi kerusuhan di penjara, sebagaimana yang sering terjadi di berbagai kota, dari Denpasar, Surabaya, Bandung, yang terbaru di penjara Sialang Buah dan berbagai tempat lain. Berapa pun jumlah penjara yang akan kita bangun, selalu tidak akan memenuhi tuntutan semakin berambahnya jumlah narapidana. Kasus-kasus narkoba yang ringan, khususnya para pengguna, cukup direhabilitasi saja.
Sejalan dengan itu, kesejahteraan petugas penjara perlu mendapat perhatian. Untungnya, sekarang ada sistem remunerasi, peningkatan penghasilan pegawai aparatur sipil negara. Tentu para petugas ini pun perlu diawasi secara ketat. Jam kerjanya diatur dengan baik. Jangan sampai mereka juga terlibat dalam perbuatan yang melawan hukum.
Secara umum pengawasan terhadap penjara perlu dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Baik dilakukan oleh internal pemerintah misalnya dari menteri hukum dan HAM, oleh direktur jenderal pemasyarakatan, sampai ke inspektur jenderal Kemenkumham. Bukan hanya oleh kementerian yang membawahinya secara langsung, juga dari kalangan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Bahkan juga oleh lembaga negara seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, DPR dan DPD, dan yang terkait dengan bidang hukum serta penyelenggaraan negara secara luas. Bukankah penghuni penjara itu merupakan produk hukum dan masyarakat di negeri ini?
Kunjungan wartawan dan anggota masyarakat ke penjara-penjara bahkan perlu dilakukan secara langsung agar berita kegiatan di penjara secara rutin diketahui masyarakat. Langkah seperti ini termasuk pengawasan secara tidak langsung.
Pengamat Sosial
MEMBAHAS narkoba di penjara tentu tidaklah terlalu mudah karena persoalan narkoba itu sendiri susah dipahami. Tak heran bila ada yang mengibaratkan persoalan narkoba itu bagai gunung es. Yang terlihat ke permukaan hanya sedikit. Sementara yang terpendam di bawah permukaan amat banyak. Demikian pula halnya tentang penjara amat susah dipahami. Lebih-lebih kala belum pernah meringkuk di dalamnya. Yang dipahami hanya kisah sepotong-sepotong.
Soal memahami narkoba bersama pengaruhnya barangkali banyak yang telah mengetahui, termasuk tentang efek sampingannya, karena pada dasarnya narkoba itu juga memiliki manfaat. Pengaruh yang digunakan sebagai obat amat membantu bagi kehidupan manusia misalnya untuk pembius, terutama jenis narkotika. Atau, sebagai obat tidur atau penenang, untuk jenis-jenis obat penyakit jiwa, yang umum dikenal sebagai psikotropika.
Yang dipersoalkan adalah pengaruh sampingannya. Dampaknya yang tidak baik bagi kehidupan, khususnya yang menyebabkan ketergantungan atau ketagihan. Itulah yang harus dihindari dari penggunaan narkoba (narkotika dan psikotropika). Penyalahgunaan inilah yang dicoba dikendalikan. Perdagangan gelapnya diberantas dan ditekan.
Akibat perdagangan gelap atau penyalahgunaan tersebut akan menyebabkan pelaku dan korbannya masuk penjara. Jika yang masuk bui itu pedagang atau pengedarnya, dengan mudah dapat diterima. Berbeda halnya yang sekadar pengguna, yang sesungguhnya dapat disebut sebagai korban.
Tetapi, di dalam penjara semua itu akan menyatu. Baik pengedar, pedagang, maupun yang hanya pengguna atau korbannya. Untuk jenis kedua ini, akan muncul pemeo, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah merusak tubuh, di penjara lagi.
Karena itu, mengetahui kehidupan narapidana dengan kasus narkoba di penjara agaknya perlu memahami kehidupan di penjara secara langsung. Memang bisa diketahui (bahkan dituliskan) tanpa harus pernah tinggal di dalam penjara. Misalnya menulis novel atau cerita berdasar cerita orang lain.
Dalam kenyataan yang saya lihat sendiri, sesungguhnya banyak korban narkoba yang masuk penjara ini adalah pemakai. Pemakai juga dapat dikenai pasal pidana. Kalau sudah terkena pidana, akan berhadapan dengan hukum. Persoalan yang dihadapi bahkan sebelum masuk penjara. Beberapa orang yang saya temui mengatakan persoalannya akan selesai apabila mengeluarkan sekian puluh juta rupiah. Cerita seperti itu lumrah kita dengar dan baca. Koran-koran pun biasa memberitakannya.
Itu pula yang pernah saya lihat dan dengar dari empat mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta yang tertangkap karena berpesta narkoba di daerah Grogol, Jakarta Barat. Dua di antaranya tinggal menyusun skripsi. Karena tidak memenuhi permintaan penegak hukum, menjadikan mereka sebagai penghuni Rutan Salemba. Kalau sudah masuk proses hukum, permintaan uang lebih tinggi lagi karena menyangkut penyidik, penuntut, dan hakim yang memutus perkara. Kasihan sebenarnya.
Karena itu, bisa diketahui, sebagian besar penghuni penjara kita terkait kasus narkoba (pada 2011 itu mencapai sekitar 70% dari seluruh penghuni penjara). Bila diteliti lebih lanjut, sebagian besar dari narapidana akibat kasus narkoba ini merupakan pemakai atau pengguna. Persentasenya bahkan jauh lebih besar dari angka di atas. Meski terkadang susah dipisah antara pemakai dan pengedar karena pengedar acapkali juga sebagai pemakai. Atau, sebaliknya, pemakai yang berkembang menjadi pengedar walau tingkatnya kecil-kecilan saja, kelas pengecer.
Kasus narkoba ini termasuk yang membuat narapidana bertambah drastis. Kemenkumham melaporkan setiap bulan muncul 2000 narapidana baru. Setahun bertambah 24.000 orang penghuni lapas. Itulah sebabnya rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia diisi narapidana melebihi kapasitas yang sesungguhnya. Jumlah napi sekarang mencapai 220.000 orang. Karena kapasitasnya melampaui jumlah, dengan penjaga penjara yang terbatas, setiap kali terjadi kerusuhan di penjara. Kemenkumham menuntut pertambahan penjara baru disertai petugas penjara (lihat Tajuk KORAN SINDO, 21 Desember 2017).
Kembali ke soal narkoba di penjara. Berbeda dengan kualifikasi pengedar atau pedagang. Apalagi sudah setingkat bandar. Di dalam penjara pun sang bandar menjalankan pekerjaannya. Lebih-lebih dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini. Para bandar dengan mudah mengendalikan peredaran dan perdagangan narkoba, baik di dalam maupun di luar penjara. Menurut kepala BNN sendiri, 50% peredaran narkoba dikendalikan dari penjara. Itu dibuktikan polisi dengan menangkap DS, seorang narapidana di Lapas Tangerang, akhir November 2017. Penangkapan ini merupakan tindak lanjut setelah polisi menangkap empat tersangka pengedar narkoba.
Di dalam penjara para bandar tentulah memiliki tangan-tangan pengedar. Apakah di penjara juga dibuat narkoba? Saya tidak pernah melihatnya secara langsung. Kalau Anda baca novel 86 yang ditulis oleh Okky Madasari, GPU, 2011 memang begitulah keadaannya. Novel itu ditulis berdasar penelitian, baik melalui pengamatan maupun dari sejumlah wawancara. Terkadang dilengkapi imajinasi. Di situ digambarkan bahwa di dalam penjara pun bisa dihasilkan barang yang didagangkan secara ilegal ini. Cerita itu juga bisa kita dengar dari penjara khusus narkoba. Yang jelas, sebuah koran menulis bahwa sabu-sabu dari lapas di Jakarta diamankan. Ceritanya ketika BNN menangkap SB yang memiliki sabu-sabu dan dari pengembangan berasal dari seorang narapidana di salah satu lapas di Jakarta (lihat Republika, 26 April 2017). Apakah narkoba ini dibuat di lapas atau berasal dari lapas, tidak diungkapkan lebih lanjut.
Untuk menghasilkan narkoba (khususnya jenis psikotropika) memang tidaklah terlalu sulit karena tinggal mencampur bahan bakunya saja. Tempatnya cukup di dalam ruangan seperti yang ditemukan di diskotek MG, di Grogol Petamburan, Jakarta Barat baru-baru ini. Kalaupun narkoba harus didatangkan dari luar penjara, akan sama saja. Membawa narkoba bisa dengan diseludupkan misalnya di dalam bungkusan atau di sela-sela makanan. Apalagi, dengan penjagaan yang tidak terlalu ketat. Termasuk dengan menyuap penjaga.
Karena itu, para pengguna atau pemakai juga tetap melanjutkan kebiasaan menenggak narkoba di dalam penjara. Terutama mereka yang susah memutus ketergantungan ini. Di Rutan Salemba, saya melihat sendiri seorang napi pencandu narkoba yang sakau selama dua hari dua malam di dalam kamar tahanannya yang dikunci. Banyak juga yang berusaha memutus ketergantungan dengan bantuan para perawat dan dokter di klinik penjara. Setiap pagi para pencandu ini antre di depan klinik mendapatkan jatah bahan pengganti. Si petugas membaca nama pasien pencandu satu demi satu.
Tak heran bila bandar juga menempati tempat tersendiri di penjara. Mereka mempunyai kekuasaan, yang tidak hanya dapat mengendalikan dan mengatur teman-temannya, acapkali juga mendanai berbagai kegiatan di penjara. Walau hidup bebas di luar penjara jauh lebih nikmat, mereka lebih longgar dari narapidana lain. Sedikit banyak hal ini sudah digambarkan oleh Ferry Budiman, narapidana di Lapas Cipinang dan kemudian dipindah ke Lapas Nusakambangan, dan akhirnya dihukum mati. Karena dalam kehidupan ini uang amat menentukan, apa yang didapat di luar juga bisa didapatkan di dalam penjara. Yang tidak didapatkan hanyalah kebebasan.
Langkah menjadikan Lapas Nusakambangan sebagai penjara khusus kasus narkoba mungkin merupakan langkah yang tepat. Khususnya dengan mengisolasi para bandar dengan dunia luar. Betapapun keributan sering terjadi. Karena setiap bandar akan berusaha menjadi raja, sebagaimana juga dalam dunia narkoba.
Pemberantasan penyalahgunaan narkoba harus komprehensif dan menyeluruh. Tapi, karena topik ini khusus di penjara, langkah paling awal bagaimana memperbaiki sistem hukum di negeri ini. Sistem hukum yang rusaklah menyebabkan banyak perkara selalu berujung di penjara. Banyak penghuni rutan dan lapas itu tidak layak dihukum dan masuk penjara. Saya termasuk yang merasakannya.
Sehubungan itu tidak semua kasus narkoba harus berujung ke penjara. Kalau caranya begitu, penjara-penjara di negeri ini akan cepat penuh. Bahkan melampaui kapasitas yang sesungguhnya seperti yang terjadi sekarang ini. Itulah yang menjadi biang penyebab terjadi kerusuhan di penjara, sebagaimana yang sering terjadi di berbagai kota, dari Denpasar, Surabaya, Bandung, yang terbaru di penjara Sialang Buah dan berbagai tempat lain. Berapa pun jumlah penjara yang akan kita bangun, selalu tidak akan memenuhi tuntutan semakin berambahnya jumlah narapidana. Kasus-kasus narkoba yang ringan, khususnya para pengguna, cukup direhabilitasi saja.
Sejalan dengan itu, kesejahteraan petugas penjara perlu mendapat perhatian. Untungnya, sekarang ada sistem remunerasi, peningkatan penghasilan pegawai aparatur sipil negara. Tentu para petugas ini pun perlu diawasi secara ketat. Jam kerjanya diatur dengan baik. Jangan sampai mereka juga terlibat dalam perbuatan yang melawan hukum.
Secara umum pengawasan terhadap penjara perlu dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Baik dilakukan oleh internal pemerintah misalnya dari menteri hukum dan HAM, oleh direktur jenderal pemasyarakatan, sampai ke inspektur jenderal Kemenkumham. Bukan hanya oleh kementerian yang membawahinya secara langsung, juga dari kalangan penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Bahkan juga oleh lembaga negara seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, DPR dan DPD, dan yang terkait dengan bidang hukum serta penyelenggaraan negara secara luas. Bukankah penghuni penjara itu merupakan produk hukum dan masyarakat di negeri ini?
Kunjungan wartawan dan anggota masyarakat ke penjara-penjara bahkan perlu dilakukan secara langsung agar berita kegiatan di penjara secara rutin diketahui masyarakat. Langkah seperti ini termasuk pengawasan secara tidak langsung.
(mhd)