Evaluasi Kinerja Pemerintah, Ini Delapan Catatan Fraksi PKS DPR
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR melakukan evaluasi dan proyeksi kinerja Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam rangka akhir tahun 2017 dan menyongsong 2018. Terdapat delapan catatan yang diberikan Fraksi PKS untuk pemerintah.
Pertama, ekonomi Indonesia dianggap belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. "Pertumbuhan ekonomi masih bergerak rata-rata 5,0% per tahun," ujar Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini kepada SINDOnews, Sabtu (30/12/2017).
Jazuli mengatakan, angka tersebut jauh dari target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 7,0% per tahun. "Dengan melihat capaian pemerintah dalam tahun 2017, proyeksi target pertumbuhan 5,4% tahun 2018 diprediksi sulit tercapai. Untuk itu pemerintah harus kerja keras lagi tahun depan," imbuhnya.
Kedua, kata Jazuli, kurang maksimalnya pertumbuhan ekonomi pada gilirannya mempengaruhi kemampuan pemerintah menekan persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Dia mencontohkan, jumlah penduduk miskin melonjak pada Maret 2017.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor-sektor yang rendah dalam tingkat pendidikan, produktivitas dan upah. Sehingga, relatif sulit menekan ketimpangan pendapatan.
"Sementara itu, pemerintah belum memiliki program yang efektif dalam mengatasi persoalan utama tersebut. Kebijakan pemerintah selama ini masih bersifat tambal sulam. Praktis dalam tiga tahun terakhir ini angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi," ujarnya.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang rendah, diikuti dengan perlambatan peranan sektor-sektor penyerap tenaga kerja (labor incentive/tradable), seperti sektor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan.
"Peranan sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi semakin menurun karena minimnya stimulus pemerintah, baik segi pembiayaan maupun nonpembiayaan," tuturnya.
Keempat, kebijakan belanja pemerintah yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur secara besar-besaran diprediksi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional pada 2018.
Karenanya, pemerintah harus bisa mengantisipasi belum beroperasinya proyek infrastruktur, seperti jalan tol, jalur kereta api, bandara, pelabuhan, dan proyek lainnya. "Sehingga hambatan konektivitas yang selama ini menganggu jalur perekonomian yang menjadi kendala pada 2017 bisa segera diatasi," ungkapnya.
Kelima, kinerja pemerintah dalam mengendalikan inflasi beberapa tahun terakhir belum konsisten, sehingga menyebabkan peran inflasi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional masih belum optimal. Hal tersebut terlihat dari gejolak harga dari bahan-bahan kebutuhan pokok yang meresahkan masyarakat.
Dia melanjutkan, target inflasi yang dicanangkan sebesar 3,5% akan sangat sulit tercapai pada 2018. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam mengendalikan tekanan inflasi, terutama dari inflasi volatile food belum sepenuhnya optimal. "Sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan konsumsi masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, kata dia, koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil belum terlalu membaik serta konektivitas antarkawasan yang belum sepenuhnya bisa digunakan. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan barang pokok yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Keenam, pemerintah masih saja mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat yang kemudian berdampak terhadap perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Satu yang paling nyata adalah kenaikan harga-harga barang-barang yang diatur pemerintah, seperti BBM, listrik, dan biaya-biaya administrasi, seperti pengurusan STNK, dan biaya-biaya lain termasuk kebijakan perpajakan yang memberatkan," bebernya.
Akibatnya, lanjut dia, biaya hidup yang ditanggung masyarakat makin tinggi, terutama bagi penduduk dengan penghasilan 40% terbawah. Sementara itu penduduk ekonomi menengah mulai menahan belanja, yang tergambar dari lonjakan simpanan di sektor perbankan.
Ketujuh, sektor fiskal turut memunculkan kekhawatiran, karena tingginya defisit dan beban utang. Padahal, Indonesia baru saja memperoleh investment grade sebagai apresiasi terhadap pengelolaan fiskal sehat.
Tantangan sektor fiskal mengarah pada sulitnya menggenjot pendapatan, khususnya sektor perpajakan di tengah-tengah kebijakan belanja infrastruktur yang terus melonjak. "Hal ini menyebabkan kenaikan utang yang cukup tinggi, sehingga membebani kondisi fiskal pemerintah ke depan," kata anggota Komisi I DPR ini.
Kedelapan, tidak bisa dilupakan bawah tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik. Risiko politik yang terdapat dalam pilkada serentak di 171 titik provinsi, kabupaten/kota akan berdampak terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban negara.
Untuk itu, pemerintah harus bisa menjamin pelaksanaan pilkada tersebut berjalan dengan lancar dan tertib. Bisa dipastikan para investor akan menahan diri untuk berinvestasi pada 2018, hingga kondisi politik benar-benar stabil.
Kondisi tersebut, ujar dia, akan berdampak terhadap arus investasi yang akan tertahan, sehingga menyebabkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% sulit untuk tercapai.
Dengan seluruh catatan evaluasi tersebut, Fraksi PKS berharap di sisa pemerintahan Jokowi-JK yang tinggal dua tahun ada perbaikan signifikan. Pemerintah harus bekerja keras untuk itu.
"Tahun 2018 ekonomi global diproyeksi membaik dan diharapkan dapat berdampak positif bagi ekonomi nasional. Kekuatan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga," pungkas Jazuli.
Pertama, ekonomi Indonesia dianggap belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. "Pertumbuhan ekonomi masih bergerak rata-rata 5,0% per tahun," ujar Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini kepada SINDOnews, Sabtu (30/12/2017).
Jazuli mengatakan, angka tersebut jauh dari target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 7,0% per tahun. "Dengan melihat capaian pemerintah dalam tahun 2017, proyeksi target pertumbuhan 5,4% tahun 2018 diprediksi sulit tercapai. Untuk itu pemerintah harus kerja keras lagi tahun depan," imbuhnya.
Kedua, kata Jazuli, kurang maksimalnya pertumbuhan ekonomi pada gilirannya mempengaruhi kemampuan pemerintah menekan persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Dia mencontohkan, jumlah penduduk miskin melonjak pada Maret 2017.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor-sektor yang rendah dalam tingkat pendidikan, produktivitas dan upah. Sehingga, relatif sulit menekan ketimpangan pendapatan.
"Sementara itu, pemerintah belum memiliki program yang efektif dalam mengatasi persoalan utama tersebut. Kebijakan pemerintah selama ini masih bersifat tambal sulam. Praktis dalam tiga tahun terakhir ini angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi," ujarnya.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang rendah, diikuti dengan perlambatan peranan sektor-sektor penyerap tenaga kerja (labor incentive/tradable), seperti sektor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan.
"Peranan sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi semakin menurun karena minimnya stimulus pemerintah, baik segi pembiayaan maupun nonpembiayaan," tuturnya.
Keempat, kebijakan belanja pemerintah yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur secara besar-besaran diprediksi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional pada 2018.
Karenanya, pemerintah harus bisa mengantisipasi belum beroperasinya proyek infrastruktur, seperti jalan tol, jalur kereta api, bandara, pelabuhan, dan proyek lainnya. "Sehingga hambatan konektivitas yang selama ini menganggu jalur perekonomian yang menjadi kendala pada 2017 bisa segera diatasi," ungkapnya.
Kelima, kinerja pemerintah dalam mengendalikan inflasi beberapa tahun terakhir belum konsisten, sehingga menyebabkan peran inflasi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional masih belum optimal. Hal tersebut terlihat dari gejolak harga dari bahan-bahan kebutuhan pokok yang meresahkan masyarakat.
Dia melanjutkan, target inflasi yang dicanangkan sebesar 3,5% akan sangat sulit tercapai pada 2018. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam mengendalikan tekanan inflasi, terutama dari inflasi volatile food belum sepenuhnya optimal. "Sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan konsumsi masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, kata dia, koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil belum terlalu membaik serta konektivitas antarkawasan yang belum sepenuhnya bisa digunakan. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan barang pokok yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Keenam, pemerintah masih saja mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat yang kemudian berdampak terhadap perekonomian masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Satu yang paling nyata adalah kenaikan harga-harga barang-barang yang diatur pemerintah, seperti BBM, listrik, dan biaya-biaya administrasi, seperti pengurusan STNK, dan biaya-biaya lain termasuk kebijakan perpajakan yang memberatkan," bebernya.
Akibatnya, lanjut dia, biaya hidup yang ditanggung masyarakat makin tinggi, terutama bagi penduduk dengan penghasilan 40% terbawah. Sementara itu penduduk ekonomi menengah mulai menahan belanja, yang tergambar dari lonjakan simpanan di sektor perbankan.
Ketujuh, sektor fiskal turut memunculkan kekhawatiran, karena tingginya defisit dan beban utang. Padahal, Indonesia baru saja memperoleh investment grade sebagai apresiasi terhadap pengelolaan fiskal sehat.
Tantangan sektor fiskal mengarah pada sulitnya menggenjot pendapatan, khususnya sektor perpajakan di tengah-tengah kebijakan belanja infrastruktur yang terus melonjak. "Hal ini menyebabkan kenaikan utang yang cukup tinggi, sehingga membebani kondisi fiskal pemerintah ke depan," kata anggota Komisi I DPR ini.
Kedelapan, tidak bisa dilupakan bawah tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik. Risiko politik yang terdapat dalam pilkada serentak di 171 titik provinsi, kabupaten/kota akan berdampak terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban negara.
Untuk itu, pemerintah harus bisa menjamin pelaksanaan pilkada tersebut berjalan dengan lancar dan tertib. Bisa dipastikan para investor akan menahan diri untuk berinvestasi pada 2018, hingga kondisi politik benar-benar stabil.
Kondisi tersebut, ujar dia, akan berdampak terhadap arus investasi yang akan tertahan, sehingga menyebabkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% sulit untuk tercapai.
Dengan seluruh catatan evaluasi tersebut, Fraksi PKS berharap di sisa pemerintahan Jokowi-JK yang tinggal dua tahun ada perbaikan signifikan. Pemerintah harus bekerja keras untuk itu.
"Tahun 2018 ekonomi global diproyeksi membaik dan diharapkan dapat berdampak positif bagi ekonomi nasional. Kekuatan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga," pungkas Jazuli.
(thm)