Darurat Kekerasan Anak
A
A
A
Angka kekerasan terhadap anak masih sangat memprihatinkan. Meski trennya menurun, jumlah laporan kekerasan terhadap anak dalam setahun terakhir sangat banyak, yakni 2.737 kasus. Pemerintah dan seluruh stakeholder harus terus berupaya keras untuk menanggulangi kejahatan terhadap anak yang sudah masuk dalam kategori sangat parah tersebut.
Data Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyebut, laporan yang masuk ke aparat hukum tahun 2017 sebanyak 2.737 kasus dengan korban kekerasan sebanyak 2.848 anak. Sebenarnya berdasarkan data tahun per tahun, terjadi tren penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap anak. Misalnya tahun 2014 jumlahnya 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus, lalu tahun 2016 sebesar 3.339 kasus. Meski begitu, tren penurunan ini tidak terlalu berarti karena jumlah kasus kekerasan kepada anak secara total masih sangat besar. Belum lagi kasus-kasus kekerasan anak yang tidak dilaporkan, tentu kalau dikalkulasi jumlahnya akan lebih tinggi lagi.
Masih tingginya angka kekerasan kepada anak disebabkan sejumlah faktor. Pertama, pengadilan belum memberikan hukuman yang tinggi bagi para pelaku kekerasan kepada anak. Bahkan tidak sedikit kasus yang tidak diproses hukum dengan alasan kurangnya barang bukti. Pertanyaan untuk kasus yang diproses hukum adalah seberapa besar pengadilan berpihak pada korban? Jawabannya adalah banyak pelaku kekerasan anak divonis rendah. Kecilnya hukuman ini dinilai tidak memberikan efek jera dan para penjahat anak berpotensi mengulangi lagi kejahatannya.
Kedua, tidak adanya keseriusan pemerintah dan aparat hukum dalam penegakan hukum kasus kekerasan kepada anak. Satu contoh nyata yang paling konkret adalah hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan seks anak yang hingga kini belum pernah diimplementasikan. Padahal DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Rabu (12/10/2016).
Ketiga, banyak kasus kekerasan anak yang tak terungkap karena biasanya pelakunya adalah orang dekat. Faktor inilah yang membuat banyak kasus kekerasan anak di keluarga sulit untuk dideteksi. Mereka juga tidak tahu atau tidak berani melapor ke aparat karena biasanya korban di bawah ancaman. Akibat ketidakberdayaan korban yang masih kecil, kekerasan terus terulang.
Faktor keempat terkait dengan budaya yang berkembang di masyarakat, yaitu masih banyak yang menikahkan anaknya yang belum dewasa. Pernikahan dini ini sangat berpotensi menjadikan anak korban kekerasan di rumah tangga. Anak yang dipaksa menikah muda akan kehilangan masa depannya. Dia harus putus sekolah. Kemudian dia akan melahirkan pada usia dini yang bisa membahayakan kesehatannya.
Karena itu sudah waktunya pemerintah menetapkan secara serius bahwa saat ini Indonesia merupakan darurat kekerasan terhadap anak. Dengan peningkatan status tersebut, para pihak yang terlibat akan dipaksa menangani kasus ini dengan dasar bahwa kasus kekerasan anak sudah masuk dalam kategori yang luar biasa. Karena itu penanganannya pun tidak bisa dengan cara konvensional seperti sebelumnya. Terbukti selama ini penegakan hukum atau kebijakan pemerintah terkait anak tidak begitu berarti dalam menghilangkan kasus kekerasan terhadap anak. Perubahan mindset dalam menangani kasus kekerasan anak ini harus terus didengungkan sampai anak Indonesia benar-benar terlindungi secara baik. Banyak solusi yang bisa diberikan untuk menjauhkan anak dari kekerasan, yakni dengan membangun lingkungan yang ramah anak baik di rumah tangga, lingkungan sekolah maupun lingkungan bermain. Pemerintah juga perlu memberikan kemudahan akses bagi perlindungan para korban baik fisik maupun psikis. Dan semua ini hanya bisa dijalankan bila ada good will dan keseriusan dari pemerintah untuk lebih peduli pada masa depan generasi penerus bangsa ini.
Data Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyebut, laporan yang masuk ke aparat hukum tahun 2017 sebanyak 2.737 kasus dengan korban kekerasan sebanyak 2.848 anak. Sebenarnya berdasarkan data tahun per tahun, terjadi tren penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap anak. Misalnya tahun 2014 jumlahnya 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus, lalu tahun 2016 sebesar 3.339 kasus. Meski begitu, tren penurunan ini tidak terlalu berarti karena jumlah kasus kekerasan kepada anak secara total masih sangat besar. Belum lagi kasus-kasus kekerasan anak yang tidak dilaporkan, tentu kalau dikalkulasi jumlahnya akan lebih tinggi lagi.
Masih tingginya angka kekerasan kepada anak disebabkan sejumlah faktor. Pertama, pengadilan belum memberikan hukuman yang tinggi bagi para pelaku kekerasan kepada anak. Bahkan tidak sedikit kasus yang tidak diproses hukum dengan alasan kurangnya barang bukti. Pertanyaan untuk kasus yang diproses hukum adalah seberapa besar pengadilan berpihak pada korban? Jawabannya adalah banyak pelaku kekerasan anak divonis rendah. Kecilnya hukuman ini dinilai tidak memberikan efek jera dan para penjahat anak berpotensi mengulangi lagi kejahatannya.
Kedua, tidak adanya keseriusan pemerintah dan aparat hukum dalam penegakan hukum kasus kekerasan kepada anak. Satu contoh nyata yang paling konkret adalah hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan seks anak yang hingga kini belum pernah diimplementasikan. Padahal DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Rabu (12/10/2016).
Ketiga, banyak kasus kekerasan anak yang tak terungkap karena biasanya pelakunya adalah orang dekat. Faktor inilah yang membuat banyak kasus kekerasan anak di keluarga sulit untuk dideteksi. Mereka juga tidak tahu atau tidak berani melapor ke aparat karena biasanya korban di bawah ancaman. Akibat ketidakberdayaan korban yang masih kecil, kekerasan terus terulang.
Faktor keempat terkait dengan budaya yang berkembang di masyarakat, yaitu masih banyak yang menikahkan anaknya yang belum dewasa. Pernikahan dini ini sangat berpotensi menjadikan anak korban kekerasan di rumah tangga. Anak yang dipaksa menikah muda akan kehilangan masa depannya. Dia harus putus sekolah. Kemudian dia akan melahirkan pada usia dini yang bisa membahayakan kesehatannya.
Karena itu sudah waktunya pemerintah menetapkan secara serius bahwa saat ini Indonesia merupakan darurat kekerasan terhadap anak. Dengan peningkatan status tersebut, para pihak yang terlibat akan dipaksa menangani kasus ini dengan dasar bahwa kasus kekerasan anak sudah masuk dalam kategori yang luar biasa. Karena itu penanganannya pun tidak bisa dengan cara konvensional seperti sebelumnya. Terbukti selama ini penegakan hukum atau kebijakan pemerintah terkait anak tidak begitu berarti dalam menghilangkan kasus kekerasan terhadap anak. Perubahan mindset dalam menangani kasus kekerasan anak ini harus terus didengungkan sampai anak Indonesia benar-benar terlindungi secara baik. Banyak solusi yang bisa diberikan untuk menjauhkan anak dari kekerasan, yakni dengan membangun lingkungan yang ramah anak baik di rumah tangga, lingkungan sekolah maupun lingkungan bermain. Pemerintah juga perlu memberikan kemudahan akses bagi perlindungan para korban baik fisik maupun psikis. Dan semua ini hanya bisa dijalankan bila ada good will dan keseriusan dari pemerintah untuk lebih peduli pada masa depan generasi penerus bangsa ini.
(zik)