Core Business
A
A
A
ARAB Saudi tengah mengubah arah kebijakan ekonomi mereka melalui Visi 2030 yang digagas putra mahkota Pangeran Mohhamed bin Salman. Salah satu kata kunci dari Visi 2030 adalah melepaskan ketergantungan negara tersebut dari minyak lalu melakukan diversifikasi ekonomi. Tujuannya adalah memperkuat ekonomi dengan membuka investor asing masuk ke Arab Saudi. Sebanyak 80 proyek dikembangkan untuk mewujudkan Visi 2030. Kebijakan ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja hingga ratusan ribu karena ada kegiatan ekonomi besar-besaran tentu muaranya adalah pemasukan ke negara.
Salah satu yang menarik bagi media adalah Arab Saudi bukan lagi negara tertutup. Jika dulu masyarakat sana tak bisa melihat konser music, pada 3 Desember lalu telah digelar konser musik. Selain itu, pada 2018 pemerintah Arab Saudi membuka 300 gedung bioskop baru dengan 2.000 layar bagi masyarakatnya. Jika sebelumnya, masyarakat Arab Saudi ingin melihat film-film harus pergi ke Uni Emirat Arab, mungkin mulai tahun depan masyarakat Arab Saudi akan semakin pendek merogoh sakunya untuk menonton film.Sebelumnya pun salah satu kebijakan yang menjadi sorotan dunia mulai diakomodasi hak-hak kaum perempuan yang selama ini dianggap tabu.
Arab Saudi tengah mengubah core business mereka yang semula bergantung pada minyak bergerak ke sektor jasa dan pariwisata. Mereka menyadari, bahwa minyak bukan core business asli mereka karena akan habis di kemudian zaman. Namun jika ditilik sebenarnya, core business asli negara Arab Saudi adalah pariwisata religi mereka. Jutaan orang dipastikan akan datang beribadah baik haji atau umrah tanpa ada promosi dari pemerintah Arab Saudi. Namun apakah pendapatan dari haji dan umrah mencukupi untuk membiayai Arab Saudi? Jika melihat Visi 2030 tampaknya tidak. Mereka masih membutuhkan core business baru agar bisa survive di persaingan ekonomi global. Jadi tampaknya, ke depan core business (DNA ekonomi) Arab Saudi akan mengarah pada jasa dan pariwisata.
Upaya untuk mengembangkan core business baru memang harus menabrak pranata yang selama ini digunakan oleh masyarakat Arab Saudi. Selain itu, membutuhkan investasi (bukan biaya) ribuan triliun rupiah untuk mewujudkan Visi 2030. Tentu Arab Saudi menganggap sebagai investasi bukan sebagai biaya , karena mereka tentunya mereka mengharapkan return dari apa yang telah mereka tanam (return of investment). Dengan memasukkan kategori investasi, tentu apa yang telah dikeluarkan atau dikorbankan Arab Saudi saat ini memiliki harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tentu berbeda jika apa yang telah dikeluarkan dan dikorbankan selama ini dianggap sebagai biaya. Secara psikologis akuntansi, ini justru menjadi beban dan tidak memiliki harapan.
Bagaimana dengan Indonesia? Apa core business Indonesia? Jika Singapura dengan jasa, Jepang dengan manufaktur dan Amerika Serikat dengan teknologi, maka setiap negara pasti mempunyai core business sendiri. Masih terjadi perdebatan untuk soal core business Indonesia. Namun jika melihat kondisi Indonesia, tentu pertanian, kebaharian (maritim) dan pariwisata adalah core business Indonesia. Apakah pemerintah sudah fokus pada core business di atas? Tampaknya belum sepenuhnya atau bahkan sama sekali. Padahal, core business di atas adalah given dari Tuhan tanpa perlu kita menciptakan seperti Arab Saudi, Jepang, Singapura atau Amerika Serikat atau bahkan China. Bangsa ini tinggal merawat dan mengkreasi agar menjadi potensi bangsa untuk bersaing di kancah internasional.
Sejarah membuktikan, bahwa nenek moyang kita menggunakan pertanian dan kebaharian untuk menjadi penguasa dunia. Bahkan sejak abad ke-2 hingga Sriwijaya dan Majapahit, pertanian dan kebaharian menjadi penguasa ekonomi dunia. Ditambah saat ini pariwisata alam dan budaya, semestinya Indonesia fokus kepada ketiga hal tersebut. Tiga core business Indonesia tersebut hanya dimiliki Indonesia dan hanya sedikit kompetitornya. Bayangkan jika tiga core business tersebut bisa dikembangkan maka Indonesia akan menjadi negara sangat maju. Bahkan mungkin Indonesia akan menjadi penguasa ekonomi dunia.
Salah satu yang menarik bagi media adalah Arab Saudi bukan lagi negara tertutup. Jika dulu masyarakat sana tak bisa melihat konser music, pada 3 Desember lalu telah digelar konser musik. Selain itu, pada 2018 pemerintah Arab Saudi membuka 300 gedung bioskop baru dengan 2.000 layar bagi masyarakatnya. Jika sebelumnya, masyarakat Arab Saudi ingin melihat film-film harus pergi ke Uni Emirat Arab, mungkin mulai tahun depan masyarakat Arab Saudi akan semakin pendek merogoh sakunya untuk menonton film.Sebelumnya pun salah satu kebijakan yang menjadi sorotan dunia mulai diakomodasi hak-hak kaum perempuan yang selama ini dianggap tabu.
Arab Saudi tengah mengubah core business mereka yang semula bergantung pada minyak bergerak ke sektor jasa dan pariwisata. Mereka menyadari, bahwa minyak bukan core business asli mereka karena akan habis di kemudian zaman. Namun jika ditilik sebenarnya, core business asli negara Arab Saudi adalah pariwisata religi mereka. Jutaan orang dipastikan akan datang beribadah baik haji atau umrah tanpa ada promosi dari pemerintah Arab Saudi. Namun apakah pendapatan dari haji dan umrah mencukupi untuk membiayai Arab Saudi? Jika melihat Visi 2030 tampaknya tidak. Mereka masih membutuhkan core business baru agar bisa survive di persaingan ekonomi global. Jadi tampaknya, ke depan core business (DNA ekonomi) Arab Saudi akan mengarah pada jasa dan pariwisata.
Upaya untuk mengembangkan core business baru memang harus menabrak pranata yang selama ini digunakan oleh masyarakat Arab Saudi. Selain itu, membutuhkan investasi (bukan biaya) ribuan triliun rupiah untuk mewujudkan Visi 2030. Tentu Arab Saudi menganggap sebagai investasi bukan sebagai biaya , karena mereka tentunya mereka mengharapkan return dari apa yang telah mereka tanam (return of investment). Dengan memasukkan kategori investasi, tentu apa yang telah dikeluarkan atau dikorbankan Arab Saudi saat ini memiliki harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tentu berbeda jika apa yang telah dikeluarkan dan dikorbankan selama ini dianggap sebagai biaya. Secara psikologis akuntansi, ini justru menjadi beban dan tidak memiliki harapan.
Bagaimana dengan Indonesia? Apa core business Indonesia? Jika Singapura dengan jasa, Jepang dengan manufaktur dan Amerika Serikat dengan teknologi, maka setiap negara pasti mempunyai core business sendiri. Masih terjadi perdebatan untuk soal core business Indonesia. Namun jika melihat kondisi Indonesia, tentu pertanian, kebaharian (maritim) dan pariwisata adalah core business Indonesia. Apakah pemerintah sudah fokus pada core business di atas? Tampaknya belum sepenuhnya atau bahkan sama sekali. Padahal, core business di atas adalah given dari Tuhan tanpa perlu kita menciptakan seperti Arab Saudi, Jepang, Singapura atau Amerika Serikat atau bahkan China. Bangsa ini tinggal merawat dan mengkreasi agar menjadi potensi bangsa untuk bersaing di kancah internasional.
Sejarah membuktikan, bahwa nenek moyang kita menggunakan pertanian dan kebaharian untuk menjadi penguasa dunia. Bahkan sejak abad ke-2 hingga Sriwijaya dan Majapahit, pertanian dan kebaharian menjadi penguasa ekonomi dunia. Ditambah saat ini pariwisata alam dan budaya, semestinya Indonesia fokus kepada ketiga hal tersebut. Tiga core business Indonesia tersebut hanya dimiliki Indonesia dan hanya sedikit kompetitornya. Bayangkan jika tiga core business tersebut bisa dikembangkan maka Indonesia akan menjadi negara sangat maju. Bahkan mungkin Indonesia akan menjadi penguasa ekonomi dunia.
(pur)