Putusan MA Soal Ijazah Bupati Mimika Dinilai Perlu Dieksekusi
A
A
A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membenarkan pendapat DPRD Mimika terkait pemakzulan Bupati Mimika karena tersangkut masalah ijazah palsu dan pelanggaran sumpah jabatan, wajib dieksekusi Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Hal itu dikatakan pakar hukum tata negara Andi Irman Putra Sidin. Sehingga menurut dia, tidak ada alasan lagi bagi Mendagri untuk tak melaksanakan putusan MA Nomor 01 P/KHS/2017 tersebut.
"Saya justru heran kenapa putusan yang sudah jelas ini tidak dieksekusi. Karena
prinsipnya ialah Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 itu yang sudah jelas perintahnya," kata Irman Putra Sidin, Senin (11/12/2017).
"Bahwa dalam hal Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah, dan atau melakukan perbuatan tercela maka pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Menteri untuk dilakukan pemberhentian bupati atau wali kota. Bahkan jika tidak ada usulan Pimpinan DPRD pun setelah 14 hari putusan tersebut keluar, menteri wajib memberhentikan kepala daerah bersangkutan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, permohonan uji pendapat DPRD Mimika ini adalah sama dengan pemakzulan Presiden pada tingkat pusat. "Hanya saja bedanya, kalau di Pusat permohonan uji pendapat DPR diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Nah di daerah, uji pendapatnya dilakukan oleh DPRD kepada Mahkamah Agung," ucap Irman.
"Dasarnya ialah kenapa melibatkan MA, supaya Gubernur, Walikota, atau Bupati itu tidak bisa diberhentikan sewenang-wenang secara politik, maka diperlukanlah instrumen hukum untuk memverifikasi dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati/Walikota. Dan itulah yang dilakukan MA dalam kasus ini," tambahnya.
Dalam konteks ini menurut Irman, putusan MA ini bersifat ialah final yang artinya menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara untuk mengeksekusinya. "Dalam UU Pemda itu sudah jelas semuanya, sehingga tidak ada ruang lagi untuk menganulir putusan MA tersebut, sehingga apa, hukum tetap supreme," tegasnya.
Kata Irman, dalam kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Mimika, ketika MA mengabulkan, maka pimpinan DPRD dan atau gubernur segera memberitahukan ke Mendagri untuk untuk segera dieksekusi. Ini sudah menjadi kewajiban hukum bagi pejabat setempat.
Bahwa ada anggapan yang menilai bahwa putusan MA ini abu-abu, menurut Irman, karena tidak memuat secara jelas kapan dan bagaimana dieksekusi, hanya akal-akalan saja untuk sekadar mengulur-ulur waktu.
"Putusan ini memang tidak mencantumkan, kapan dieksekusi karena yang mengatur itu sudah ada di UU Pemerintahan Daerah, dan di sana sudah jelas. Dan pemerintah pusat tidak ada alasan untuk menilai. Karena bisa saja dikatakan tidak jelas sebagai alasan untuk tidak melaksanakan. Tetapi ada perintah UU yang sudah mengatur ini semua sehingga tidak perlu lagi mencari alasan untuk tidak melakukan eksekusi atas putusan MA tersebut," pungkas Irman.
Seperti diketahui, MA dalam putusannya mengabulkan permohonan Ketua DPRD Mimika dengan menyatakan keputusan DPRD Mimika Nomor 4 Tahun 2016 tanggal 24 November 2016 tentang pendapat DPRD Kabupaten Mimika terhadap dugaan ijazah palsu, pelanggaran sumpah atuan janji jabatan yang dilakukan oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng adalah berdasar hukum.
Hal itu dikatakan pakar hukum tata negara Andi Irman Putra Sidin. Sehingga menurut dia, tidak ada alasan lagi bagi Mendagri untuk tak melaksanakan putusan MA Nomor 01 P/KHS/2017 tersebut.
"Saya justru heran kenapa putusan yang sudah jelas ini tidak dieksekusi. Karena
prinsipnya ialah Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 itu yang sudah jelas perintahnya," kata Irman Putra Sidin, Senin (11/12/2017).
"Bahwa dalam hal Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah, dan atau melakukan perbuatan tercela maka pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Menteri untuk dilakukan pemberhentian bupati atau wali kota. Bahkan jika tidak ada usulan Pimpinan DPRD pun setelah 14 hari putusan tersebut keluar, menteri wajib memberhentikan kepala daerah bersangkutan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, permohonan uji pendapat DPRD Mimika ini adalah sama dengan pemakzulan Presiden pada tingkat pusat. "Hanya saja bedanya, kalau di Pusat permohonan uji pendapat DPR diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Nah di daerah, uji pendapatnya dilakukan oleh DPRD kepada Mahkamah Agung," ucap Irman.
"Dasarnya ialah kenapa melibatkan MA, supaya Gubernur, Walikota, atau Bupati itu tidak bisa diberhentikan sewenang-wenang secara politik, maka diperlukanlah instrumen hukum untuk memverifikasi dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati/Walikota. Dan itulah yang dilakukan MA dalam kasus ini," tambahnya.
Dalam konteks ini menurut Irman, putusan MA ini bersifat ialah final yang artinya menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara untuk mengeksekusinya. "Dalam UU Pemda itu sudah jelas semuanya, sehingga tidak ada ruang lagi untuk menganulir putusan MA tersebut, sehingga apa, hukum tetap supreme," tegasnya.
Kata Irman, dalam kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Mimika, ketika MA mengabulkan, maka pimpinan DPRD dan atau gubernur segera memberitahukan ke Mendagri untuk untuk segera dieksekusi. Ini sudah menjadi kewajiban hukum bagi pejabat setempat.
Bahwa ada anggapan yang menilai bahwa putusan MA ini abu-abu, menurut Irman, karena tidak memuat secara jelas kapan dan bagaimana dieksekusi, hanya akal-akalan saja untuk sekadar mengulur-ulur waktu.
"Putusan ini memang tidak mencantumkan, kapan dieksekusi karena yang mengatur itu sudah ada di UU Pemerintahan Daerah, dan di sana sudah jelas. Dan pemerintah pusat tidak ada alasan untuk menilai. Karena bisa saja dikatakan tidak jelas sebagai alasan untuk tidak melaksanakan. Tetapi ada perintah UU yang sudah mengatur ini semua sehingga tidak perlu lagi mencari alasan untuk tidak melakukan eksekusi atas putusan MA tersebut," pungkas Irman.
Seperti diketahui, MA dalam putusannya mengabulkan permohonan Ketua DPRD Mimika dengan menyatakan keputusan DPRD Mimika Nomor 4 Tahun 2016 tanggal 24 November 2016 tentang pendapat DPRD Kabupaten Mimika terhadap dugaan ijazah palsu, pelanggaran sumpah atuan janji jabatan yang dilakukan oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng adalah berdasar hukum.
(maf)