Lima Daerah Rawan Jadi Basis Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) mengungkapkan, ada lima daerah di Indonesia berpotensi menjadi basis radikalisme cukup tinggi.
Kelima daerah itu, yakni Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Kalimantan Utara. Data daerah rawan radikalisme itu didapatkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi. Survei nasional ini merupakan dari bagian upaya BNPT dengan memberdayakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ada di 32 provinsi untuk mengetahui kondisi riil masyarakat tentang potensi radikalisme yang ada di masing-masing daerah.
”Ada lima daerah yang tidak kita duga sebelumnya, ternyata potensi radikalnya cukup tinggi,” kata Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius saat membuka seminar hasil survei nasional daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi di Indonesia 2017, di Jakarta, kemarin.
Suhardi menjelaskan, survei nasional ini juga untuk memotret secara lebih dekat tentang kemampuan masyarakat untuk menangkal perkembangan radikalisme tersebut agar tidak sampai berkembang di masyarakat.
”Secara khusus, survei nasional ini menguji beberapa variabel yang bisa dijadikan sebagai daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme, baik dalam dimensi pemahaman, sikap, maupun tindakan. Variabel-variabel tersebut yaitu kepercayaan terhadap hukum, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, keadilan, kebebasan, profil keagamaan, serta kearifan lokal,” terangnya.
Dia menjelaskan, dari hasil survei yang melibatkan sebanyak 9.600 responden ini, terlihat sudah cukup memprihatinkan. Apalagi angka yang perlu di waspadai, yaitu angka 58 dari rentang 0-100.
”Artinya, memang paham (radikal) itu dengan seiring kemajuan teknologi informasi digital yang luar biasa, ternyata banyak sekali pengaruhnya. Dan itu banyak sekali variabelnya. Oleh sebab itu, de ngan melihat data hasil survei kita butuh peran serta dari 34 kementerian/lembaga terkait,” jelasnya.
Suhardi mengungkapkan, dari hasil temuan ini juga mengacu data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
”Kedua kementerian ini harus ikut bertanggung jawab. Kita selesaikan dan diskusikan bersama-sama di forum ini, apa yang mesti kita perbuat, program apa dari Kemendikbud dan Kemenag yang akan kita main kan, khususnya di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
Karena hasil survei menunjukkan di tingkat itu yang mudah dicuci otak oleh kelompok radikal di media sosial,” katanya. Anggota kelompok ahli BNPT bidang agama Nazaruddin Umar menjelaskan, hasil survei ini menarik karena lima wilayah yang tidak pernah disangka sebelumnya ini justru menduduki posisi paling tinggi tingkat potensi radikal dan rendah daya tangkalnya di masyarakat.
”Apalagi penelitian yang di lakukan oleh BNPT dan The Nusa Institute dengan mengambil 9.600 responden dari 32 provinsi ini menarik untuk di ka ji. Mengingat margin errornya hanya 0,7% dan tingkat kepekaannya mencapai angka 91,5%. Jadi, ini sangat valid,” jelasnya.
Nazaruddin memaparkan, Bengkulu pada urutan pertama dengan angka 58,58% disusul Gorontalo 58,48%, Sulawesi Selat an 58,42%, Lampung 58,38%, dan Kalimantan Utara 58,30%.
Sementara Sulawesi Tengah yang wilayahnya pernah terjadi konflik, yakni di Poso justru berada di papan bawah. ”Jadi, hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat Poso pada umumnya sebenarnya tidak radikal. Namun, pendatangnya yang akhirnya isuisu dan faktor-faktor lain membuat Poso teridentifikasi radikal,” jelasnya.
Hasil survei lima daerah dengan angka di atas 50 % tersebut bisa dibilang sebagai warning buat bangsa Indonesia dan jangan menganggap masalah tersebut adalah hal sepele.
”Kita tidak boleh ‘mengkucingkan hari mau’, dan kita tidak boleh ‘mengharimaukan kucing’. Data-data yang ditampilkan ini adalah sangat riil,” tandasnya. Dia mengingatkan pentingnya melakukan langkah-langkah sosialisasi bahaya terorisme di sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA.
BNPT mengungkapkan, dari hasil survei dua tingkat pendidikan itu sangat rentan disusupi paham radikal terorisme. ”Jadi, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin kurang tingkat radikalnya. Misalnya S-1 18,4%, S-2 0,9%, bahkan S-3 ham pir 0%. Jadi, tingkat SMP dan SMA ini perlu dicermati,” jelasnya.
Sudah saatnya sekarang ini, kata Nazaruddin, pedekatan dalam penanganan radikalisme terorisme jangan sporadis dan jangan juga parsial. (Binti Mufarida)
Kelima daerah itu, yakni Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Kalimantan Utara. Data daerah rawan radikalisme itu didapatkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi. Survei nasional ini merupakan dari bagian upaya BNPT dengan memberdayakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ada di 32 provinsi untuk mengetahui kondisi riil masyarakat tentang potensi radikalisme yang ada di masing-masing daerah.
”Ada lima daerah yang tidak kita duga sebelumnya, ternyata potensi radikalnya cukup tinggi,” kata Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius saat membuka seminar hasil survei nasional daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi di Indonesia 2017, di Jakarta, kemarin.
Suhardi menjelaskan, survei nasional ini juga untuk memotret secara lebih dekat tentang kemampuan masyarakat untuk menangkal perkembangan radikalisme tersebut agar tidak sampai berkembang di masyarakat.
”Secara khusus, survei nasional ini menguji beberapa variabel yang bisa dijadikan sebagai daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme, baik dalam dimensi pemahaman, sikap, maupun tindakan. Variabel-variabel tersebut yaitu kepercayaan terhadap hukum, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, keadilan, kebebasan, profil keagamaan, serta kearifan lokal,” terangnya.
Dia menjelaskan, dari hasil survei yang melibatkan sebanyak 9.600 responden ini, terlihat sudah cukup memprihatinkan. Apalagi angka yang perlu di waspadai, yaitu angka 58 dari rentang 0-100.
”Artinya, memang paham (radikal) itu dengan seiring kemajuan teknologi informasi digital yang luar biasa, ternyata banyak sekali pengaruhnya. Dan itu banyak sekali variabelnya. Oleh sebab itu, de ngan melihat data hasil survei kita butuh peran serta dari 34 kementerian/lembaga terkait,” jelasnya.
Suhardi mengungkapkan, dari hasil temuan ini juga mengacu data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
”Kedua kementerian ini harus ikut bertanggung jawab. Kita selesaikan dan diskusikan bersama-sama di forum ini, apa yang mesti kita perbuat, program apa dari Kemendikbud dan Kemenag yang akan kita main kan, khususnya di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
Karena hasil survei menunjukkan di tingkat itu yang mudah dicuci otak oleh kelompok radikal di media sosial,” katanya. Anggota kelompok ahli BNPT bidang agama Nazaruddin Umar menjelaskan, hasil survei ini menarik karena lima wilayah yang tidak pernah disangka sebelumnya ini justru menduduki posisi paling tinggi tingkat potensi radikal dan rendah daya tangkalnya di masyarakat.
”Apalagi penelitian yang di lakukan oleh BNPT dan The Nusa Institute dengan mengambil 9.600 responden dari 32 provinsi ini menarik untuk di ka ji. Mengingat margin errornya hanya 0,7% dan tingkat kepekaannya mencapai angka 91,5%. Jadi, ini sangat valid,” jelasnya.
Nazaruddin memaparkan, Bengkulu pada urutan pertama dengan angka 58,58% disusul Gorontalo 58,48%, Sulawesi Selat an 58,42%, Lampung 58,38%, dan Kalimantan Utara 58,30%.
Sementara Sulawesi Tengah yang wilayahnya pernah terjadi konflik, yakni di Poso justru berada di papan bawah. ”Jadi, hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat Poso pada umumnya sebenarnya tidak radikal. Namun, pendatangnya yang akhirnya isuisu dan faktor-faktor lain membuat Poso teridentifikasi radikal,” jelasnya.
Hasil survei lima daerah dengan angka di atas 50 % tersebut bisa dibilang sebagai warning buat bangsa Indonesia dan jangan menganggap masalah tersebut adalah hal sepele.
”Kita tidak boleh ‘mengkucingkan hari mau’, dan kita tidak boleh ‘mengharimaukan kucing’. Data-data yang ditampilkan ini adalah sangat riil,” tandasnya. Dia mengingatkan pentingnya melakukan langkah-langkah sosialisasi bahaya terorisme di sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA.
BNPT mengungkapkan, dari hasil survei dua tingkat pendidikan itu sangat rentan disusupi paham radikal terorisme. ”Jadi, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin kurang tingkat radikalnya. Misalnya S-1 18,4%, S-2 0,9%, bahkan S-3 ham pir 0%. Jadi, tingkat SMP dan SMA ini perlu dicermati,” jelasnya.
Sudah saatnya sekarang ini, kata Nazaruddin, pedekatan dalam penanganan radikalisme terorisme jangan sporadis dan jangan juga parsial. (Binti Mufarida)
(nfl)