Industrialisasi dan Pendidikan Tinggi Kita

Rabu, 29 November 2017 - 09:00 WIB
Industrialisasi dan Pendidikan Tinggi Kita
Industrialisasi dan Pendidikan Tinggi Kita
A A A
Jony Oktavian Haryanto
Rektor President University

Pertemuan bilateral antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Presiden Joko Widodo pada Kamis (9/11) menghasilkan kesepakatan penting. Indonesia dan Korsel berkomitmen membentuk kemitraan khusus untuk mengakselerasi industrialisasi di negara kita.

Berita ini tentu menggembirakan. Apalagi Korsel sangat kuat di bidang industri, sementara di Indonesia sedang terjadi fenomena deindustrialisasi. Fenomena itu, antara lain, tecermin dari menurunnya peran sektor industri terhadap perekonomian nasional. Contohnya, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sejak 2014-2016 terus berkurang. Jika pada 2014 kontribusinya masih 1,01%, tahun berikutnya turun menjadi 0,94% (2015) dan 0,92% (2016).

Lalu, kinerja sektor industri, terutama yang berbasis manufaktur, juga menurun. Jika pada 2015 pertumbuhannya masih 4,33%, tahun 2015 menurun menjadi 4,29%. Secara keseluruhan, kontribusi sektor industri terhadap PDB saat ini sudah di bawah 20%. Padahal, dulu rata-rata di atas 20%.

Kondisi semacam bisa menjadi sinyal terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Menurut para pelaku industri, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, standar upah yang terus naik dan tidak diimbangi oleh meningkatnya produktivitas. Selain itu, seringnya aksi demo buruh juga menurunkan minat pengusaha untuk berinvestasi di sektor industri.

Kedua, ketidakpastian regulasi. Ada tidak kurang dari 62.000 regulasi yang membuat dunia industri menjadi tidak efisien dan sulit bergerak.

Ketiga, konsep triple helix yang tidak berjalan. Dunia industri, pendidikan tinggi dan pemerintah, berjalan sendiri-sendiri. Ini sangat berbeda dengan di China atau Korsel. Di sana banyak karya mahasiswa yang dipamerkan dan difasilitasi oleh kampus, lalu dimanfaatkan dan dikomersialisasikan oleh industri.

Prodi STEM
Mengantisipasi hal tersebut, Kementerian Ristek Dikti membuat terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran Menristek-Dikti pada 21 September 2016 yang membatasi izin program studi (prodi) baru. Pembukaan prodi baru hanya diberikan untuk prodi Science, Technology, Engineering, dan Mathematic (STEM). Alasannya sudah terlalu banyak pendidikan akademik, sementara Indonesia sangat membutuhkan pendidikan vokasi.

Pemberian izin prodi baru STEM tentu akan memperkuat sektor industri. Jadi, klop dengan kebutuhan industri. Namun, agar berjalan efektif, kebijakan ini perlu dikawal dengan serius. Mengapa? Ada beberapa alasan.

Pertama, Prodi STEM saat ini tidak begitu diminati oleh sebagian besar siswa SMA. Prodi STEM dipersepsikan relatif lebih susah kuliahnya, karena sarat dengan matematika dan banyak hitungan. Itu sebabnya saat ini hampir di seluruh perguruan tinggi (PT) di Indonesia, prodi STEM relatif lebih susah mendapatkan mahasiswa baru dibandingkan non-STEM.

Kedua, tak ada jaminan lulusan prodi STEM bakal mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih layak dibandingkan non-STEM. Contohnya, banyak sarjana teknik yang bekerja di bank atau sektor jasa lainnya dengan gaji relatif sama dengan sarjana nonteknik, yang kuliahnya dipersepsikan relatif lebih mudah dan waktunya relatif lebih singkat.

Bagi PT, membuka prodi baru STEM juga bukan perkara sederhana. Sesuai aturan, untuk pembukaan prodi baru, PT mesti memiliki enam dosen dengan gelar minimal S-2 di bidang ilmu yang linier.

Selain itu untuk mendukung proses belajar mengajar, prodi STEM memerlukan laboratorium. Investasi laboratorium tidak murah dan sering kali tak terjangkau oleh PT kecil. Dikombinasikan dengan rendahnya minat calon mahasiswa baru, bagi sebuah PT, prodi STEM akan menjadi cost center. Investasinya mahal, namun jumlah mahasiswanya sedikit.

Lalu bagaimana solusinya? Ide triple helix yang digagas Etzkowitz (1993), yaitu kerja sama antara PT, dunia usaha atau industri, dan pemerintah, masih relevan untuk menjawab hal ini. Namun, untuk merealisasikannya diperlukan beberapa dukungan.

Pertama, pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan, terutama skala menengah dan besar, untuk membina PT, khususnya prodi STEM. Bantuan itu berupa kesediaan perusahaan untuk berbagi sumber daya. Misalnya, mengalokasikan sebagian karyawannya untuk menjadi dosen paruh waktu di PT yang dibinanya.

Perusahaan juga bisa mengizinkan mahasiswa dan dosen menggunakan laboratoriumnya, atau bahkan menjadikan perusahaan sebagai laboratorium organik bagi PT. Jadi, mahasiswa dan dosen dapat melihat, belajar dan terlibat langsung dalam proses kerja di perusahaan.

Kedua, mengizinkan dosen dan mahasiswa magang di perusahaan. Ini agar dosen dan mahasiswa tidak terjebak pada tataran teori, namun juga memahami praktik di perusahaan. Prodi STEM sarat dengan praktik. Jika hanya menguasai teori maka akan terjadi kesenjangan yang membuat lulusannya tidak siap kerja, sehingga akhirnya mengalami kesulitan mencari pekerjaan.

Kerja sama antara PT dan perusahaan semacam ini akan menciptakan sinergi. SDM yang ada di PT paham tataran praktis, di sisi lain perusahaan akan mendapatkan masukan berharga dari PT dalam bentuk ide-ide inovasi atau perbaikan proses bisnis.

Ketiga, Kemenristek-Dikti perlu memberikan insentif. Misalnya, jika kerja sama PT dengan industri berjalan, Kemenristek-Dikti dapat memberikan akreditasi B bagi prodi baru STEM tersebut sehingga relatif akan lebih mudah mencari mahasiswa baru.

Insentif lainnya dapat berupa kebijakan pemberian beasiswa Kemenristek-Dikti melalui jalur khusus dan tidak harus dikompetisikan. Juga, berbagai kemudahan lainnya, termasuk dalam hal perizinan.

Kalau ini terjadi, prodi STEM diharapkan mampu merangsang gairah industrialisasi, menepis gejala deindustrialisasi, dan program triple helix tidak hanya menjadi slogan, namun benar-benar dirasakan manfaatnya.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3609 seconds (0.1#10.140)