Potensi Rokok Alternatif
A
A
A
Konstantinos Farsalinos
Ahli Jantung dan Peneliti di Onassis Cardiac Surgery Center di Athena, Yunadi dan Departement of Pharmacy, Universitas of Patras, Yunani
SAAT ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar kelima di dunia, dengan angka mencapai 57 juta jiwa. Pada saat yang bersamaan, sektor kesehatan publik tengah mengalami terobosan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan secara substansial berpotensi memperpanjang umur konsumen rokok (perokok aktif) dan orang-orang di sekitarnya (perokok pasif).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi rokok di negara ini tidak juga mengalami penurunan dalam 20 tahun terakhir. Artinya, kendatipun pemerintah telah berupaya mengurangi konsumsi rokok melalui berbagai kebijakan dan kampanye kesehatan, hasilnya masih belum sesuai harapan. Namun, belakangan muncul berbagai jenis produk tembakau dan nikotin alternatif seperti rokok elektrik atau vape, nikotin tempel, snus, dan produk tembakau yang dipanaskan bukan-dibakar (heat-not-burn).
Produk-produk tersebut sama-sama mengandung nikotin, tetapi dikonsumsi tanpa proses pembakaran layaknya pada rokok konvensional. Eliminasi proses pembakaran ini berpotensi menurunkan risiko kesehatan secara signifikan. Pada tahun 2015, Public Health England (PHE)—sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris, menyatakan bahwa produk tembakau yang dipanaskan menurunkan risiko kesehatan hingga 95%. Penelitian tersebut lebih jauh menjelaskan bahwa komponen yang berbahaya dari rokok adalah TAR, yang merupakan hasil dari proses pembakaran tembakau.
Sementara itu, nikotin yang sering dianggap sebagai komponen rokok paling berbahaya pada dasarnya hanya menyebabkan efek kecanduan, bukan pemicu utama masalah kesehatan. Banyak yang tidak tahu bahwa nikotin juga sebenarnya terkandung di dalam tomat, kentang, dan terung. Dengan kata lain, komponen berbahaya dari konsumsi rokok adalah proses pembakarannya, bukan nikotin.
Sebuah studi dari Georgetown University Medical Center Amerika Serikat, yang diterbitkan dalam jurnal of Tobacco Control turut mengungkapkan bahwa jika perokok beralih ke produk tembakau alternatif, 6,6 juta orang di Amerika Serikat berpotensi dapat terhindarkan dari kematian dini. Jika angka ini diterjemahkan ke Asia, khususnya Indonesia yang saat ini memiliki angka perokok yang sedemikian tinggi, dapat dibayangkan berapa besar potensi jutaan jiwa yang bisa diselamatkan.
Sebagai salah satu kota yang berpotensi mendapatkan manfaat kesehatan besar atas produk tembakau alternatif, baru-baru ini Jakarta menjadi tuan rumah Asia Harm Reduction Forum 2017, forum yang mempertemukan pakar pemerhati kesehatan publik, konsumen produk tembakau alternatif, serta pembuat kebijakan dari seluruh Asia untuk mendiskusikan produk tembakau alternatif dari tiga aspek utama: Tren konsumsi; Regulasi; dan Fakta ilmiah.
Salah satu yang menjadi fokus pembahasan utama dalam forum tersebut adalah bagaimana regulasi seyogianya menjembatani, mengatur serta melindungi konsumen dalam mengonsumsi produk ini, bukan serta-merta melarang peredarannya hanya karena kekhawatiran yang dasarnya tidak kuat, apalagi mengingat inovasi ini berpotensi menyelamatkan jutaan jiwa.
Berkaca dari beberapa negara di dunia seperti Eropa dan Jepang, pemerintahnya menerapkan aturan dalam peredaran, kemasan, serta batas aman kandungan nikotin. Peraturan dibuat untuk mengawasi keamanan penggunaan produk agar tepat guna, bukan membatasi akses konsumsi. Di Eropa, regulasi produk tembakau yang diterapkan membuat harga rokok elektrik lebih murah dibandingkan rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
Dengan demikian, perokok dapat mengakses pilihan gaya hidup yang lebih rendah risiko melalui rokok elektrik. Hal ini membantu perokok yang belum mampu berhenti dari adiksinya secara total. Pemerintah Indonesia hendaknya dapat lebih bijaksana dalam merumuskan peraturan terkait inovasi kesehatan ini. Pengawasan tentu berperan sangat penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaan, tapi jangan sampai menghalangi potensi manfaat yang dimiliki.
Pemerintah juga hendaknya merujuk pada berbagai fakta ilmiah dan penelitian global yang ada sebagai referensi dalam meregulasikan kebijakan, serta bagaimana berbagai negara di dunia merespons potensi produk alternatif ini. Pada tahun 2015 yang lalu, misalnya, lebih dari 50 peneliti kesehatan menulis surat kepada World Health Organization (WHO), di mana dalam surat tersebut mereka menekankan potensi yang dimiliki rokok elektrik sebagai alternatif lebih rendah risiko untuk mereka yang telah terlanjur adiksi terhadap rokok.
Tidak bijak kiranya jika pemerintah membuat peraturan yang justru menghambat pengembangan sebuah solusi alternatif berdasarkan bias kepentingan pihak-pihak tertentu. Ini tidak berarti bahwa produk semacam itu harus berkembang tanpa payung hukum yang jelas. Berbagai pembatasan harus tetap diberlakukan dengan ketat untuk memastikan bahwa pengembangan produk nikotin dan tembakau alternatif tidak salah arah, misalnya pembatasan usia minimum harus diberlakukan untuk konsumsi produk.
Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan langsung terhadap bagaimana produk diproduksi dan menetapkan standar keselamatan untuk menjamin perlindungan konsumen. Selain menyiapkan kerangka peraturan, pemerintah juga perlu mempromosikan penelitian yang lebih luas di Indonesia mengenai dampak penggunaan produk nikotin dan tembakau alternatif. Penelitian lokal semacam itu akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat disesuaikan dengan kebutuhan unik Indonesia.
Ahli Jantung dan Peneliti di Onassis Cardiac Surgery Center di Athena, Yunadi dan Departement of Pharmacy, Universitas of Patras, Yunani
SAAT ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar kelima di dunia, dengan angka mencapai 57 juta jiwa. Pada saat yang bersamaan, sektor kesehatan publik tengah mengalami terobosan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan secara substansial berpotensi memperpanjang umur konsumen rokok (perokok aktif) dan orang-orang di sekitarnya (perokok pasif).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi rokok di negara ini tidak juga mengalami penurunan dalam 20 tahun terakhir. Artinya, kendatipun pemerintah telah berupaya mengurangi konsumsi rokok melalui berbagai kebijakan dan kampanye kesehatan, hasilnya masih belum sesuai harapan. Namun, belakangan muncul berbagai jenis produk tembakau dan nikotin alternatif seperti rokok elektrik atau vape, nikotin tempel, snus, dan produk tembakau yang dipanaskan bukan-dibakar (heat-not-burn).
Produk-produk tersebut sama-sama mengandung nikotin, tetapi dikonsumsi tanpa proses pembakaran layaknya pada rokok konvensional. Eliminasi proses pembakaran ini berpotensi menurunkan risiko kesehatan secara signifikan. Pada tahun 2015, Public Health England (PHE)—sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris, menyatakan bahwa produk tembakau yang dipanaskan menurunkan risiko kesehatan hingga 95%. Penelitian tersebut lebih jauh menjelaskan bahwa komponen yang berbahaya dari rokok adalah TAR, yang merupakan hasil dari proses pembakaran tembakau.
Sementara itu, nikotin yang sering dianggap sebagai komponen rokok paling berbahaya pada dasarnya hanya menyebabkan efek kecanduan, bukan pemicu utama masalah kesehatan. Banyak yang tidak tahu bahwa nikotin juga sebenarnya terkandung di dalam tomat, kentang, dan terung. Dengan kata lain, komponen berbahaya dari konsumsi rokok adalah proses pembakarannya, bukan nikotin.
Sebuah studi dari Georgetown University Medical Center Amerika Serikat, yang diterbitkan dalam jurnal of Tobacco Control turut mengungkapkan bahwa jika perokok beralih ke produk tembakau alternatif, 6,6 juta orang di Amerika Serikat berpotensi dapat terhindarkan dari kematian dini. Jika angka ini diterjemahkan ke Asia, khususnya Indonesia yang saat ini memiliki angka perokok yang sedemikian tinggi, dapat dibayangkan berapa besar potensi jutaan jiwa yang bisa diselamatkan.
Sebagai salah satu kota yang berpotensi mendapatkan manfaat kesehatan besar atas produk tembakau alternatif, baru-baru ini Jakarta menjadi tuan rumah Asia Harm Reduction Forum 2017, forum yang mempertemukan pakar pemerhati kesehatan publik, konsumen produk tembakau alternatif, serta pembuat kebijakan dari seluruh Asia untuk mendiskusikan produk tembakau alternatif dari tiga aspek utama: Tren konsumsi; Regulasi; dan Fakta ilmiah.
Salah satu yang menjadi fokus pembahasan utama dalam forum tersebut adalah bagaimana regulasi seyogianya menjembatani, mengatur serta melindungi konsumen dalam mengonsumsi produk ini, bukan serta-merta melarang peredarannya hanya karena kekhawatiran yang dasarnya tidak kuat, apalagi mengingat inovasi ini berpotensi menyelamatkan jutaan jiwa.
Berkaca dari beberapa negara di dunia seperti Eropa dan Jepang, pemerintahnya menerapkan aturan dalam peredaran, kemasan, serta batas aman kandungan nikotin. Peraturan dibuat untuk mengawasi keamanan penggunaan produk agar tepat guna, bukan membatasi akses konsumsi. Di Eropa, regulasi produk tembakau yang diterapkan membuat harga rokok elektrik lebih murah dibandingkan rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
Dengan demikian, perokok dapat mengakses pilihan gaya hidup yang lebih rendah risiko melalui rokok elektrik. Hal ini membantu perokok yang belum mampu berhenti dari adiksinya secara total. Pemerintah Indonesia hendaknya dapat lebih bijaksana dalam merumuskan peraturan terkait inovasi kesehatan ini. Pengawasan tentu berperan sangat penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaan, tapi jangan sampai menghalangi potensi manfaat yang dimiliki.
Pemerintah juga hendaknya merujuk pada berbagai fakta ilmiah dan penelitian global yang ada sebagai referensi dalam meregulasikan kebijakan, serta bagaimana berbagai negara di dunia merespons potensi produk alternatif ini. Pada tahun 2015 yang lalu, misalnya, lebih dari 50 peneliti kesehatan menulis surat kepada World Health Organization (WHO), di mana dalam surat tersebut mereka menekankan potensi yang dimiliki rokok elektrik sebagai alternatif lebih rendah risiko untuk mereka yang telah terlanjur adiksi terhadap rokok.
Tidak bijak kiranya jika pemerintah membuat peraturan yang justru menghambat pengembangan sebuah solusi alternatif berdasarkan bias kepentingan pihak-pihak tertentu. Ini tidak berarti bahwa produk semacam itu harus berkembang tanpa payung hukum yang jelas. Berbagai pembatasan harus tetap diberlakukan dengan ketat untuk memastikan bahwa pengembangan produk nikotin dan tembakau alternatif tidak salah arah, misalnya pembatasan usia minimum harus diberlakukan untuk konsumsi produk.
Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan langsung terhadap bagaimana produk diproduksi dan menetapkan standar keselamatan untuk menjamin perlindungan konsumen. Selain menyiapkan kerangka peraturan, pemerintah juga perlu mempromosikan penelitian yang lebih luas di Indonesia mengenai dampak penggunaan produk nikotin dan tembakau alternatif. Penelitian lokal semacam itu akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat disesuaikan dengan kebutuhan unik Indonesia.
(thm)