JK: Toleran Jadi Kunci Harmonisasi Kehidupan Berbangsa
A
A
A
Harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara harus terus dijaga demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tengah berbagai perbedaan budaya, suku, agama, dan ras, sikap toleran menjadi kunci harmonisasi kehidupan bangsa.
"Harmoni ini tidak bisa lepas dari toleransi. Ini artinya saling menghormati semuanya," kata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) saat pembukaan Halaqah Ulama dan Cendekiawan di Jakarta, Kamis (16/11/2017).
JK menuturkan, sikap saling menghargai ditunjukkan antara kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia. Bahkan, sikap saling menghargai ini hanya ditemukan di Indonesia. “Dalam konteks menghormati tidak ada yang sama negara lain dengan Indonesia. 15 hari libur nasional merupakan hari raya. Coba cari di negara lain, tidak ada yang seperti itu," ujarnya.
Karena hal inilah, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar tidak mengalami nasib seperti negara-negara di Timur Tengah atau pun Asia Tengah. "Maka dari itu, ada beberapa negara yang ingin belajar dari kita. Mengapa kita bisa berdamai, mereka tidak," paparnya.
JK mengakui bahwa dunia Islam tengah marak dengan aksi-aksi pengeboman. Namun, hal ini dinilai tidak serta-merta karena perbedaan agama. Dia mengatakan bahwa aksi tersebut dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tak kenal bagaimana ber-Islam. "Mereka ini hanya cari surga, dan ini biasanya orang yang jarang salat. Ini cara cepat agar masuk surga," katanya.
Peran ulama penting untuk meluruskan ajaran-ajaran demikian. JK menilai peran ulama tidak saja menafsirkan apa yang ada di dalam kitab suci, tapi juga mengimplementasikannya. "Harmoni perilaku juga perlu di lakukan. Ulama tidak saja menafsirkan, tapi bagaimana melakukan (apa yang ditafsirkan)," ujarnya.
Tidak hanya itu, ulama juga berperan agar ketimpangan tidak terjadi. Pasalnya, ketimpangan bisa menjadi sumber konflik suku, ras, agama, dan antargolongan. Apalagi dari 15 konflik besar yang terjadi di Indonesia, 10 di antaranya karena ketimpangan. "Kenapa seolah-olah menjadi konflik agama? Karena itu, yang paling mudah menjadi konflik. Apa lagi jika menengok ke belakang, Islam hadir melalui proses perdagangan. Ini harus didorong," paparnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengaku bersyukur karena para pendiri bangsa telah membuat kesepakatan politik untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa yang utuh. Hal ini tidak lepas dari tokoh-tokoh ulama yang bersepakat mendirikan NKRI dengan Pancasilanya.
"Bahkan, saya bangga ketika tujuh kata di Piagam Jakarta diminta dicoret dengan lapang dada para ulama dan tokoh Islam menerima demi tegaknya NKRI," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Pengarah Halaqah, Amin Abdullah mengatakan acara halaqah ini diharapkan dapat merumuskan pandangan tentang cara menghadapi tantangan bangsa. Dia ingin agar apa yang nanti dirumuskan dapat menjadi sumbangan ulama dan cendekiawan kepada negara. "Halaqah ini menyumbangkan pemikiran alternatif untuk menghadapi tantangan kontemporer dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara," paparnya.
Ada dua konteks besar dalam penyelenggaraan halaqah ini. Pertama, dari konteks global telah terjadi turbulensi di dunia muslim. Dalam konteks nasional akhir-akhir ini muncul sedikit ketegangan terkait hubungan Indonesia dan keislaman.
"Harmoni ini tidak bisa lepas dari toleransi. Ini artinya saling menghormati semuanya," kata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) saat pembukaan Halaqah Ulama dan Cendekiawan di Jakarta, Kamis (16/11/2017).
JK menuturkan, sikap saling menghargai ditunjukkan antara kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia. Bahkan, sikap saling menghargai ini hanya ditemukan di Indonesia. “Dalam konteks menghormati tidak ada yang sama negara lain dengan Indonesia. 15 hari libur nasional merupakan hari raya. Coba cari di negara lain, tidak ada yang seperti itu," ujarnya.
Karena hal inilah, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar tidak mengalami nasib seperti negara-negara di Timur Tengah atau pun Asia Tengah. "Maka dari itu, ada beberapa negara yang ingin belajar dari kita. Mengapa kita bisa berdamai, mereka tidak," paparnya.
JK mengakui bahwa dunia Islam tengah marak dengan aksi-aksi pengeboman. Namun, hal ini dinilai tidak serta-merta karena perbedaan agama. Dia mengatakan bahwa aksi tersebut dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tak kenal bagaimana ber-Islam. "Mereka ini hanya cari surga, dan ini biasanya orang yang jarang salat. Ini cara cepat agar masuk surga," katanya.
Peran ulama penting untuk meluruskan ajaran-ajaran demikian. JK menilai peran ulama tidak saja menafsirkan apa yang ada di dalam kitab suci, tapi juga mengimplementasikannya. "Harmoni perilaku juga perlu di lakukan. Ulama tidak saja menafsirkan, tapi bagaimana melakukan (apa yang ditafsirkan)," ujarnya.
Tidak hanya itu, ulama juga berperan agar ketimpangan tidak terjadi. Pasalnya, ketimpangan bisa menjadi sumber konflik suku, ras, agama, dan antargolongan. Apalagi dari 15 konflik besar yang terjadi di Indonesia, 10 di antaranya karena ketimpangan. "Kenapa seolah-olah menjadi konflik agama? Karena itu, yang paling mudah menjadi konflik. Apa lagi jika menengok ke belakang, Islam hadir melalui proses perdagangan. Ini harus didorong," paparnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengaku bersyukur karena para pendiri bangsa telah membuat kesepakatan politik untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa yang utuh. Hal ini tidak lepas dari tokoh-tokoh ulama yang bersepakat mendirikan NKRI dengan Pancasilanya.
"Bahkan, saya bangga ketika tujuh kata di Piagam Jakarta diminta dicoret dengan lapang dada para ulama dan tokoh Islam menerima demi tegaknya NKRI," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Pengarah Halaqah, Amin Abdullah mengatakan acara halaqah ini diharapkan dapat merumuskan pandangan tentang cara menghadapi tantangan bangsa. Dia ingin agar apa yang nanti dirumuskan dapat menjadi sumbangan ulama dan cendekiawan kepada negara. "Halaqah ini menyumbangkan pemikiran alternatif untuk menghadapi tantangan kontemporer dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara," paparnya.
Ada dua konteks besar dalam penyelenggaraan halaqah ini. Pertama, dari konteks global telah terjadi turbulensi di dunia muslim. Dalam konteks nasional akhir-akhir ini muncul sedikit ketegangan terkait hubungan Indonesia dan keislaman.
(amm)