HMI-KAHMI Jembatan Kebangsaan

Jum'at, 17 November 2017 - 08:45 WIB
HMI-KAHMI Jembatan Kebangsaan
HMI-KAHMI Jembatan Kebangsaan
A A A
Erwin Moeslimin Singajuru
Anggota KAHMI dan DPR RI

JAUH sebelum pengangkatan Profesor Lafran Pane menjadi pahlawan nasional (10/11/17), kiprah dan pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam-Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-KAHMI) sudah banyak diakui. Sebut saja misalnya tokoh-tokoh Angkatan 66 seperti Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Ekky Syakhruddin, Jusuf Kalla, Abdul Ghafur, Mar’ie Muhammad, Artidjo Alkostar. Juga tokoh-tokoh yang lebih muda seperti Moh Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, dan nama-nama lain yang terlalu banyak untuk disebut satu per satu.

Sebagai organisasi kader, HMI selama 70 tahun konsisten melatih dan menanamkan rasa tanggung jawab dan keimanan kepada seluruh kadernya untuk siap menjadi pemimpin masa depan. Sementara KAHMI menjadi output sumber daya manusia (SDM) yang siap berkiprah di mana pun baik di pemerintahan, partai politik, parlemen, dosen, pengusaha, advokat maupun yang lain. KAHMI telah ikut mewarnai perjalanan bangsa selama ini dengan mengesankan.

Implementasi Gerakan HMI-KAHMI

Tak pelak semua kiprah HMI-KAHMI itu ibarat jembatan. Dalam makna harfiah (fisik), jembatan adalah akses menuju tempat tertentu. Tanpa jembatan akan sulit menuju tempat tersebut karena di bawahnya terdapat sungai, laut, arai atau jurang dalam. Sementara dalam makna psikis jembatan adalah persiapan, rancangan, proses, ide, kiprah yang dengan itu semua orang akan dapat berbuat banyak untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Begitulah kira-kira yang dilakonkan KAHMI.

Sebagai jembatan HMI-KAHMI tidak bisa berpandangan sempit dan picik. Ia harus bergerak konkret dan dinamis sesuai dengan teks dan konteksnya. Secara historis, pasca-kemerdekaan atau sekitar tahun 1960-an, misalnya, HMI vis a vis dengan PKI.

HMI menjadi incaran dan target pembubaran bersama organisasi lain seperti PSI dan Masyumi. Ancaman itu karena ketakutan PKI kepada HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang berbasis massa intelektual di kampus-kampus. Dengan kekuatan basis massa intelektual itu dikhawatirkan akan menjadi hambatan PKI dalam melancarkan ideologi marxismenya. Perlawanan itu menyurut setelah meletusnya G-30 S/PKI yang juga diindikasi mulai rontoknya kekuasaan Orde Lama.

Di masa Orde Baru, HMI-KAHMI dikenal sebagai salah satu mesin penggerak visi pembangunan Soeharto melalui birokrat dan teknokratnya. Melalui dua ranah tersebut, HMI-KAHMI menjadi penggerak pembangunan di masa awal Orde Baru. Hubungan HMI-KAHMI dan Orde Baru masa itu berjalan relatif baik. Hampir dalam setiap kabinet Pak Harto selalu ada kader HMI yang menjadi menteri, bahkan kadang hingga empat atau lima orang.

Secara umum masuknya KAHMI dalam tubuh Orde Baru dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, Orde Baru dinilai kalangan KAHMI memiliki komitmen yang lebih baik bagi kaum muslimin daripada Orde Lama mengingat sejak awal, Orde Baru mendapat dukungan kuat dari sejumlah kelompok Islam.

Kedua, naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan tak dapat dipisahkan dengan gerakan mahasiswa angkatan 1966. Angkatan ‘66 inilah yang berhasil melakukan gerakan revolusioner menghancurkan kekuasaan Orde Lama yang dinilai otoriter dan telah menyelewengkan UUD 1945.

Banyak di antara tokoh-tokoh di balik gerakan '66' kala itu adalah kader HMI. Mereka secara bersama dengan gerakan intrauniversitas dan ekstrauniversitas lainnya berkolaborasi melemahkan kekuasaan Orde Lama. Namun hubungan baik antara Orde Baru dengan HMI-KAHMI ini lambat laun memudar seiring dengan semakin bergesernya konfigurasi politik hukum Orde Baru, menguatnya peran militer dan melemahnya peran birokrat dan teknokrat di tubuh Orde Baru.

Dalam konteks ini, HMI-KAHMI tetap konsisten dengan idealisme dan khitah gerakannya, yaitu sebagai gerakan keindonesiaan, keislaman dan kecendekiawanan. HMI-KAHMI terus kritis terhadap pemerintahan kala itu. Isu-isu anti-dwifungsi ABRI, antimonopoli kendati tidak lantang benar tetap disuarakan HMI-KAHMI, aktivis LSM, dan organisasi lainnya kala itu.

Konsistensi HMI-KAHMI makin mendapat ujian keras ketika mulai diberlakukan kebijakan depolitisasi kampus melalui NKK/BKK pada 1978 serta kebijakan "wajib" menggunakan asas tunggal Pancasila bagi organisasi politik, sosial dan kemasyarakatan pada 1985.

Kebijakan itu melahirkan dan menyeret HMI-KAHMI pada polarisasi gerakan yang kemudian ditandai dengan adanya dua kekuatan HMI-MPO dan HMI-DIPO itu. Secara prinsip kekritisan HMI-KAHMI terhadap penguasa tetap istikamah. Jika kita kembali pada bahwa HM-KAHMI adalah jembatan bangsa, pemikiran dan gerakannya haruslah berada dan berpijak pada asas kebangsaan dan keislaman.
Bahwa kepentingan bangsa selalu diprioritaskan dan mengalahkan kepentingan kelompok, partai atau pandangan yang bersifat parsial. HMI-KAHMI hendaknya menjadi jembatan kebangsaan mengatasi segala hal secara komprehensif, bersifat pluralis dan berempati--meminjam istilah Catherine Cornelle (2008).

Absennya Akhlak dan Keteladanan

Akhir-akhir ini kita menyaksikan sepak terjang beberapa elite pejabat pusat maupun daerah yang terlihat kehilangan muruah diri dan sifat wira’i yang menggambarkan negara ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Pancasila misalnya, walaupun dikatakan "harga mati", patut kita pertanyakan, benarkah sudah menjadi acuan tidak hanya dalam cara kita hidup, tetapi juga cara kita bernegara? Bukankah kondisi mutakhir kita memperlihatkan bagaimana perilaku kita sebagai anak bangsa telah terjebak dalam "sindrom kultural paradoks"?

Terlalu sering kita saksikan perilaku elite memenuhi berbagai media massa, termasuk media sosial, yang memberi contoh nyata bagaimana Pancasila bukan saja tidak dilaksanakan, tetapi bahkan dinafikan hingga dinistakan. Melanggar hukum seolah-olah hanyalah pelanggaran membolos sekolah.

Kita pun menyaksikan secara sistematik melalui berbagai data yang ada bahwa republik ini telah dipenuhi gejolak politik, ekonomi, hukum, agama, dan lainnya. Itu semua antara lain disebabkan syahwat dan libido kelompok atau intervensi pihak tertentu, baik dengan senjata informasi, teknologi, dana, senjata militer maupun diplomasi.

Sampai di sini terbukti kita masih tenggelam dalam berbagai sistem kenegaraan dan pemerintah yang ternyata belum mampu mengakomodasi dengan baik potensi-potensi terbaik bangsa ini, termasuk potensi HMI-KAHMI. Seluruh fenomena itu terjadi akibat tiada atau rendahnya tingkat komprehensi kita pada kenyataan yang terjadi di seputar dunia mutakhir ini.

Semula masalah itu mungkin masih terasa sederhana, tetapi kemudian menjadi begitu rumit, pelik, sulit dicari ujung pangkalnya, bahkan makin sulit dicarikan solusinya. Contoh, masalah korupsi dan para pelakunya, terutama dari pejabat dan tokoh-tokoh. Kita sebagai manusia dan bangsa seolah mengalami split personality .

Orang makin sulit memahami tokoh yang tadinya dikenal alim ternyata biang koruptor. Bisa jadi kita terhormat dengan penguasaan keilmuan yang canggih, ke tempat ibadah dengan khusyuknya, lalu pulang membakar kemenyan dan mulai bersiasat untuk membobol duit rakyat atau mencari selingkuhan.

Semua fenomena yang diuraikan itu adalah realitas publik yang tidak visioner, dalam arti hampa dalam pandangan keduniaan atau yang diakibatkan, antara lain, ketidakmampuan kita menghadirkan moralitas yang sepatutnya bisa mengoneksi kesadaran akal kita. Itu sebabnya perbuatan seorang profesor atau doktor yang cemerlang pun tidak selaras atau bukan merupakan perwujudan dari kualitas intelektualnya. Dia tidak menghadirkan iman dan akhlaknya. Inilah antara lain yang sepantasnya menjadi perhatian besar HMI-KAHMI hari-hari ini dan masa mendatang.

Membaca Kehidupan Rasulullah

Fenomena pembusukan moral dan krisis keteladanan yang dipertontonkan elite pejabat sejatinya tidak layak menyandang dan disebut sebagai pemimpin. Apa yang dipertontonkan sangat jauh dari nilai dan jiwa kepemimpinan yang selayaknya memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka malah justru merampas hak-hak rakyat, baik secara kiasan maupun hakiki.

Jabatan dan kedudukan tak lebih dari sekadar sebagai kamuflase untuk memenuhi kepentingan diri yang sangat pragmatis dan sempit. Di sinilah HMI-KAHMI dapat mengambil peran dan menunjukkan betapa penting mengembalikan agama pada misi perenialnya yang asasi. Agama perlu dihadirkan untuk mendewasakan manusia dalam segala aspek kehidupan yang modal, substansi, implementasi, dan penampakannya bersifat moral. Kalau bangsa ini, terutama umat Islam, meyakini bahwa agama memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia, inilah saatnya--kendati sudah agak terlambat--untuk melakukan hal itu.

Rasulullah Muhammad SAW diutus semata-mata untuk membumikan dan menyebarluaskan etik-moralitas luhur. Melalui nilai itu, Rasulullah dengan agama Islam yang dibawanya memiliki misi sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Penutup

Momentum Musyawarah Nasional KAHMI kali ini tidak bisa disikapi dengan parsial. Munas ini hendaknya mampu merangkum berbagai perbedaan internal dan eksternal dalam sejumlah isu, memetakannya dengan jernih lalu menampilkan solusi-solusi nyata sebagai hasil musyawarah dan mufakat.

Dengan demikian hasil munas ini bukan lagi pengedepanan simbol semata, melainkan lebih pada praksis yang dapat mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih bermoral.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0664 seconds (0.1#10.140)