Blunder Golkar di Jawa Barat?
A
A
A
Hendri Satrio
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Akademisi Komunikasi Politik Universitas Paramadina
@satriohendri
PEMILIHAN Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2018 memang menarik untuk diikuti. Sebagai provinsi dengan suara pemilih terbesar di Indonesia maka sangat wajar bila suara Jawa Barat diperebutkan oleh partai politik.
Beberapa hari lalu salah satu partai politik itu, Partai Golkar, membuat kejutan besar dengan memberikan rekomendasi calon gubernur bukan kepada kadernya yang juga Ketua DPD Jabar, Dedi Mulyadi, melainkan kepada Ridwan Kamil.
Seperti yang publik ketahui, bersama Ridwan Kamil (Emil) dan Deddy Mizwar (Demiz), nama Dedi Mulyadi (Demul) juga mentereng diunggulkan maju sebagai calon gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan yang akan habis masa baktinya pertengahan 2018 kelak.
Apa Maunya Golkar?
Sejatinya, manuver Partai Golkar cukup mudah ditebak. Partai ini kerap mengikuti arah kekuasaan berada. Kekuasaan ke kanan maka ke kananlah parpol ini, tapi tetap saja memilih calon gubernur bukan dari kadernya sendiri sangat membingungkan. Menurut saya, bukan urusan logistik yang jadi alasan utama Golkar berbelok ke Ridwan Kamil, melainkan mungkin Golkar membaca arah angin Istana yang lebih condong kepada Emil.
Mungkin Golkar ingin membuktikan komitmen pengabdian mereka kepada Istana. Tapi ya ini kan masih berandai, sebab bila ditanya kepada siapa Istana berpihak maka jawabannya pasti tidak berpihak. Nah, kalau sudah begini hanya Setya Novanto, sang pemberi rekomendasi yang paling paham apa maunya Golkar.
Alih-alih ingin langsung memasangkan kadernya, Daniel Muttaqien, sebagai wakil Emil, malah respons galau yang diberikan Emil. Ridwan Kamil tidak tegas memutuskan menerima atau menolak keinginan Golkar. Emil menggantung keinginan Golkar dengan alasan masih menunggu keputusan para parpol pengusungnya tentang siapa calon wakilnya kelak. Nah, keputusan menggantung Golkar mengenai wakilnya bukan hal positif bagi partai sebesar Golkar.
Bagaimana Parpol Lain?
Konstelasi politik di Jawa Barat jelas berubah setelah Ridwan Kamil diusung Golkar. Lawan-lawan Golkar tampaknya memilih mengambil jeda untuk membaca situasi.
PKS, sang petahana yang belakangan hubungannya dengan Gerindra seperti tertutup kabut, samar-samar mungkin merasakan adanya perubahan arah angin di Jawa Barat. Partai politik yang dari awal ingin mengusung Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu ini seperti sedang mengambil napas panjang menyikapi manuver Golkar. Sementara itu, PKS mengatur strategi baru.
PDI Perjuangan mengambil sikap sama. Parpol ini memilih untuk menimbang dan menelaah sebelum mengumumkan siapa jagoan mereka. PDIP untuk Pilkada 2018 sudah pernah memutuskan ”berbeda” cagub dengan Istana di Pilgub Jawa Timur. Untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, PDIP belum memutuskan siapa calon yang akan diusung. Bahkan pascamanuver Golkar yang mengusung Emil, PDIP seperti tidak mau ambil pusing bahkan lebih memberi perhatian pada provinsi lain yang juga menyelenggarakan Pilgub 2018.
PAN sudah menyatakan akan mengusung Demiz, sementara Gerindra belum juga memutuskan setelah ada perbedaan ”persepsi” dengan PKS dan Demiz. Sementara Demokrat, seperti biasa, belum jelas, menunggu mana yang lebih menguntungkan mereka.
Apa Kabar Dedi Mulyadi?
Demul sebelum Golkar resmi memberikan rekomendasi kepada Emil untuk berlaga dalam pilgub sudah menyatakan bahwa dirinya menghormati dan legawa dengan keputusan Golkar.
Sikap ini dipuji oleh banyak kelompok masyarakat, walaupun ada juga yang menyayangkan sikapnya itu. Kelompok terakhir menginginkan Demul melakukan perlawanan terhadap keputusan Golkar, namun terhadap desakan itu Demul berkomentar bijak, ”Saya memahami Partai Golkar dan inilah pendewasaan karier politik bagi saya”.
Demul bagaikan pemain bintang di lapangan sepak bola. Ibaratnya, begitu ditinggalkan klub, Dedi langsung menarik perhatian parpol lainnya. Wajar saja parpol lain kepincut Dedi Mulyadi, selain sudah memiliki tabungan popularitas dan elektabilitas, bupati Purwakarta ini juga memiliki jaringan akar rumput yang kuat di Jawa Barat.
PDI Perjuangan digosipkan sebagai parpol terdepan yang dikabarkan akan meminang Dedi Mulyadi. Untuk mendapatkan Dedi, PDIP malah dikabarkan sudah mempersiapkan posisi penting di jajaran pengurus Jawa Barat.
PDIP memang harus mengambil Dedi sebagai kadernya dan menempatkan Dedi sebagai cagub PDIP, meskipun PDIP juga memiliki banyak kader bagus di Jawa Barat.
PKS pun bereaksi dengan status Dedi Mulyadi yang ”bebas transfer”. Memang PKS tidak serta-merta menunjukkan ketertarikan untuk membawa Dedi masuk dalam partai, tapi justru mempersiapkan wakil untuk Dedi.
Nama-nama seperti Deddy Mizwar, Akhmad Syaikhu, Netty Prasetiyani Heryawan diisukan sebagai wakil Dedi Mulyadi berseliweran di telinga petinggi parpol yang sukses menempatkan Anies-Sandi di Balai Kota Jakarta ini.
Akankah Ada Koalisi PDIP-PKS di Jabar?
Sulit membayangkan bila kedua parpol ini akan berkoalisi di Jawa Barat, sebab bila koalisi terjadi di Jawa Barat kemungkinan koalisi juga bisa terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya.
Konstelasi politik nasional pun akan berubah bila PDIP dan PKS berkoalisi. Bahkan bila koalisi ini terjadi dan PDIP kembali mengusung Joko Widodo dalam Pilpres 2019, bukan tidak mungkin Jokowi akan mengambil kader PKS atau tokoh yang diusung PKS sebagai wakilnya.
Apakah mungkin dua parpol yang sering dipersepsikan berada di kutub berbeda menjadi satu koalisi? Mudah jawabannya, dalam politik hampir semua bisa terjadi.
Kompetisi di Jawa Barat
Kemungkinan hanya dua pasang calon yang berlaga di Jabar cukup terbuka. Hal ini memang dipengaruhi oleh manuver Golkar yang memilih Emil dibandingkan Dedi Mulyadi.
Skenario pertama adalah pertarungan antara Emil dan Dedi. Pasangan Dedi bisa saja Demiz yang memang tinggi elektabilitasnya. Skenario kedua Emil melawan Demiz, sementara Demul berperan sebagai wakilnya Demiz.
Skenario mirip seperti ini pernah terjadi di Jakarta saat Pilgub lalu. Anies yang bukan kader parpol diusung oleh Gerindra dan PKS.
Nah, bila head to head, segala kemungkinan bisa terjadi. Hanya, Golkar mesti bersiap bila kalah di Jabar. Selain telah mengecewakan pendukungnya, Golkar juga harus rela kehilangan banyak suara di Jawa Barat.
Keputusan sudah dibuat, apakah ini blunder atau tidak, hanya waktu yang dapat membuktikan, sama seperti pembuktian kemungkinan terjadinya koalisi antara PDIP dan PKS di Jawa Barat.
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Akademisi Komunikasi Politik Universitas Paramadina
@satriohendri
PEMILIHAN Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2018 memang menarik untuk diikuti. Sebagai provinsi dengan suara pemilih terbesar di Indonesia maka sangat wajar bila suara Jawa Barat diperebutkan oleh partai politik.
Beberapa hari lalu salah satu partai politik itu, Partai Golkar, membuat kejutan besar dengan memberikan rekomendasi calon gubernur bukan kepada kadernya yang juga Ketua DPD Jabar, Dedi Mulyadi, melainkan kepada Ridwan Kamil.
Seperti yang publik ketahui, bersama Ridwan Kamil (Emil) dan Deddy Mizwar (Demiz), nama Dedi Mulyadi (Demul) juga mentereng diunggulkan maju sebagai calon gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan yang akan habis masa baktinya pertengahan 2018 kelak.
Apa Maunya Golkar?
Sejatinya, manuver Partai Golkar cukup mudah ditebak. Partai ini kerap mengikuti arah kekuasaan berada. Kekuasaan ke kanan maka ke kananlah parpol ini, tapi tetap saja memilih calon gubernur bukan dari kadernya sendiri sangat membingungkan. Menurut saya, bukan urusan logistik yang jadi alasan utama Golkar berbelok ke Ridwan Kamil, melainkan mungkin Golkar membaca arah angin Istana yang lebih condong kepada Emil.
Mungkin Golkar ingin membuktikan komitmen pengabdian mereka kepada Istana. Tapi ya ini kan masih berandai, sebab bila ditanya kepada siapa Istana berpihak maka jawabannya pasti tidak berpihak. Nah, kalau sudah begini hanya Setya Novanto, sang pemberi rekomendasi yang paling paham apa maunya Golkar.
Alih-alih ingin langsung memasangkan kadernya, Daniel Muttaqien, sebagai wakil Emil, malah respons galau yang diberikan Emil. Ridwan Kamil tidak tegas memutuskan menerima atau menolak keinginan Golkar. Emil menggantung keinginan Golkar dengan alasan masih menunggu keputusan para parpol pengusungnya tentang siapa calon wakilnya kelak. Nah, keputusan menggantung Golkar mengenai wakilnya bukan hal positif bagi partai sebesar Golkar.
Bagaimana Parpol Lain?
Konstelasi politik di Jawa Barat jelas berubah setelah Ridwan Kamil diusung Golkar. Lawan-lawan Golkar tampaknya memilih mengambil jeda untuk membaca situasi.
PKS, sang petahana yang belakangan hubungannya dengan Gerindra seperti tertutup kabut, samar-samar mungkin merasakan adanya perubahan arah angin di Jawa Barat. Partai politik yang dari awal ingin mengusung Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu ini seperti sedang mengambil napas panjang menyikapi manuver Golkar. Sementara itu, PKS mengatur strategi baru.
PDI Perjuangan mengambil sikap sama. Parpol ini memilih untuk menimbang dan menelaah sebelum mengumumkan siapa jagoan mereka. PDIP untuk Pilkada 2018 sudah pernah memutuskan ”berbeda” cagub dengan Istana di Pilgub Jawa Timur. Untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, PDIP belum memutuskan siapa calon yang akan diusung. Bahkan pascamanuver Golkar yang mengusung Emil, PDIP seperti tidak mau ambil pusing bahkan lebih memberi perhatian pada provinsi lain yang juga menyelenggarakan Pilgub 2018.
PAN sudah menyatakan akan mengusung Demiz, sementara Gerindra belum juga memutuskan setelah ada perbedaan ”persepsi” dengan PKS dan Demiz. Sementara Demokrat, seperti biasa, belum jelas, menunggu mana yang lebih menguntungkan mereka.
Apa Kabar Dedi Mulyadi?
Demul sebelum Golkar resmi memberikan rekomendasi kepada Emil untuk berlaga dalam pilgub sudah menyatakan bahwa dirinya menghormati dan legawa dengan keputusan Golkar.
Sikap ini dipuji oleh banyak kelompok masyarakat, walaupun ada juga yang menyayangkan sikapnya itu. Kelompok terakhir menginginkan Demul melakukan perlawanan terhadap keputusan Golkar, namun terhadap desakan itu Demul berkomentar bijak, ”Saya memahami Partai Golkar dan inilah pendewasaan karier politik bagi saya”.
Demul bagaikan pemain bintang di lapangan sepak bola. Ibaratnya, begitu ditinggalkan klub, Dedi langsung menarik perhatian parpol lainnya. Wajar saja parpol lain kepincut Dedi Mulyadi, selain sudah memiliki tabungan popularitas dan elektabilitas, bupati Purwakarta ini juga memiliki jaringan akar rumput yang kuat di Jawa Barat.
PDI Perjuangan digosipkan sebagai parpol terdepan yang dikabarkan akan meminang Dedi Mulyadi. Untuk mendapatkan Dedi, PDIP malah dikabarkan sudah mempersiapkan posisi penting di jajaran pengurus Jawa Barat.
PDIP memang harus mengambil Dedi sebagai kadernya dan menempatkan Dedi sebagai cagub PDIP, meskipun PDIP juga memiliki banyak kader bagus di Jawa Barat.
PKS pun bereaksi dengan status Dedi Mulyadi yang ”bebas transfer”. Memang PKS tidak serta-merta menunjukkan ketertarikan untuk membawa Dedi masuk dalam partai, tapi justru mempersiapkan wakil untuk Dedi.
Nama-nama seperti Deddy Mizwar, Akhmad Syaikhu, Netty Prasetiyani Heryawan diisukan sebagai wakil Dedi Mulyadi berseliweran di telinga petinggi parpol yang sukses menempatkan Anies-Sandi di Balai Kota Jakarta ini.
Akankah Ada Koalisi PDIP-PKS di Jabar?
Sulit membayangkan bila kedua parpol ini akan berkoalisi di Jawa Barat, sebab bila koalisi terjadi di Jawa Barat kemungkinan koalisi juga bisa terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya.
Konstelasi politik nasional pun akan berubah bila PDIP dan PKS berkoalisi. Bahkan bila koalisi ini terjadi dan PDIP kembali mengusung Joko Widodo dalam Pilpres 2019, bukan tidak mungkin Jokowi akan mengambil kader PKS atau tokoh yang diusung PKS sebagai wakilnya.
Apakah mungkin dua parpol yang sering dipersepsikan berada di kutub berbeda menjadi satu koalisi? Mudah jawabannya, dalam politik hampir semua bisa terjadi.
Kompetisi di Jawa Barat
Kemungkinan hanya dua pasang calon yang berlaga di Jabar cukup terbuka. Hal ini memang dipengaruhi oleh manuver Golkar yang memilih Emil dibandingkan Dedi Mulyadi.
Skenario pertama adalah pertarungan antara Emil dan Dedi. Pasangan Dedi bisa saja Demiz yang memang tinggi elektabilitasnya. Skenario kedua Emil melawan Demiz, sementara Demul berperan sebagai wakilnya Demiz.
Skenario mirip seperti ini pernah terjadi di Jakarta saat Pilgub lalu. Anies yang bukan kader parpol diusung oleh Gerindra dan PKS.
Nah, bila head to head, segala kemungkinan bisa terjadi. Hanya, Golkar mesti bersiap bila kalah di Jabar. Selain telah mengecewakan pendukungnya, Golkar juga harus rela kehilangan banyak suara di Jawa Barat.
Keputusan sudah dibuat, apakah ini blunder atau tidak, hanya waktu yang dapat membuktikan, sama seperti pembuktian kemungkinan terjadinya koalisi antara PDIP dan PKS di Jawa Barat.
(mhd)