Sarjana Pendidikan Melek TIK

Selasa, 07 November 2017 - 08:45 WIB
Sarjana Pendidikan Melek TIK
Sarjana Pendidikan Melek TIK
A A A
Farid Ahmadi, M.Kom, Ph.D
Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

MENGHADAPI era milenium saat ini, salah satu masalah urgen yang perlu dibenahi tidak se­kadar masalah ketertinggalan sumber daya manusia (SDM) di wilayah akademik, namun juga di wilayah kemampuan digital. Sebagai calon pendidik, hukumnya wajib bagi mahasiswa dan sarjana pendidikan melek teknologi informasi dan ko­munikasi (TIK).

TIK dalam pendidikan tinggi tidak sekadar urusan perangkat keras, tetapi lebih pada kemampuan akademisi untuk mengolah, memproses, merekayasa, sekaligus memanfaatkan teknologi untuk akselerasi SDM yang kontemporer. Namun, budaya kita selama ini masih menjadi konsumen, belum pada taraf produsen.

Meski tidak bisa memproduksi teknologi berupa gadget, komputer dan sejenisnya, calon guru harus melek TIK sebagai bekal untuk menjalankan tugas pendidik. Belakangan, yang masih ramai diperbincangkan di jagat akademik kita adalah kasus plagiarisme.

Bagi saya, ini adalah wujud masyarakat ilmu yang gagap terhadap kehadiran teknologi. Adanya artikel, makalah, jurnal yang diunggah bebas di blog atau website, menjadikan pembaca mudah menjiplaknya. Padahal dalam hukum sitasi kita, menyadur berbeda dengan menjiplak. Bahkan, hukumnya haram para akademisi melakukan duplikasi, pabrikasi, falsifikasi, maupun plagiasi.

Penyebab utamanya menurut saya adalah karena mereka tidak melek literasi dan TIK. Soal moral, saya kira juga melandasi para akademisi melakukan hal yang tidak pantas tersebut. Bahkan, seharusnya menyadur referensi itu harus dari sumber ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.

Mulai buku, jurnal, prosiding seminar, majalah, koran, hingga sumber daring yang jelas kualifikasinya. Bukan dari blog pribadi yang kebanyakan hasil dari potong sana dan potong sini sehingga terkumpul menjadi sebuah tulisan. Oleh karena itu, melek TIK ini menjadi urgen sekali, karena belakangan musuh kita tidak sekadar berita hoax dan fake, namun juga plagiarisme sebagai wabah yang terjadi atas dampak kemajuan teknologi. Lalu, bagaimana dengan sarjana pendidikan yang disiapkan menjadi guru masa depan?

Gurita Ancaman Hoax

Melek TIK harusnya sudah menjadi kemampuan wajib sejak duduk di bangku perkuliahan. Lewat maka kuliah TIK, misalnya, mahasiswa diberi bekal untuk belajar memahami dunia TIK dan diharapkan bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, era milenial ini justru yang harus digenjot adalah literasi. Kemampuan literasi menurut saya substansinya sama seperti TIK.

Kemampuan ini mampu meng­antarkan kita tahu tentang media, informasi, berita, juga bagaimana cara mendeteksi dan bijak dalam menggunakan media, terutama media sosial. Oleh karena itu, sarjana pendidikan harus bisa menjawab tantangan ini, karena 10-20 tahun ke depan pasti berbeda tantangannya karena kita sekarang dihadapkan dengan generasi milenial, generasi Z atau­pun generasi internet.

Kasus berita hoax, fake, memang menggurita di negeri ini. Bahkan, ada 800 ribu situs penyebar hoax di Indonesia. Kondisi kacaunya media online kita makin terbukti dengan adanya sindikat Saracen yang menjadi pabrik penyebar isu SARA, fitnah, provokasi, dan hate speech (ujaran kebencian).

Juga adanya situs Nikahsirri.com yang masih menjadi polemik dan membahayakan pelajar dan mahasiswa kita. Jika sarjana tidak punya bekal literasi dengan melek TIK maka tidak ada bedanya dengan masyarakat biasa. Saat ini tipe pengguna medsos rata-rata sama, entah itu masyarakat biasa sampai kaum terdidik.

Ketika ada berita, yang dibaca hanya judulnya dan gambarnya saja. Lantaran tipe netizen itu ”kagetan” dan mudah terprovokasi berita bombastis, maka mereka mudah mem­bagi­kan situs itu tanpa ada proses klarifikasi atau tabayun. Padahal, yang namanya ilmuwan itu tidak boleh mendasarkan berita hanya dari wawancara, melainkan harus tahap riset, bahkan minimal melalui tahap filsafat ilmu (ontologi, epistemologi dan aksiologi).

Semua berita yang diserap akademisi juga harus logis, rasional, ilmiah dan tidak bisa didasarkan pada taraf dugaan, klaim, apalagi hanya sekadar asumsi. Di sinilah perbedaan ”wartawan” dan ”ilmuwan”. Jika wartawan mendasarkan kebenaran hanya melalui metode wawancara dan klarifikasi, namun ilmuwan tidak bisa sekadar itu, karena harus melalui kerja dan proses ilmiah.

Oleh karena itu, melek TIK sangat urgen sebagai bekal kaum sarjana pendidikan sebagai calon pendidik. Jika gurunya melek TIK, maka otomatis akan menjadi kiblat bagi pelajar dan peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran.

Melek TIK

Sarjana yang duduk di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus punya kemampuan di luar kemampuan kompetensinya. Selain menguasai empat kompetensi guru (pedagogi, kepribadian, sosial, profesional) dan minimal me­nguasai delapan keterampilan mengajar, guru di era milenial harus melek literasi dan TIK.

Melek TIK ini selaras dengan program pemerintah yang menggenjot kemampuan literasi kaum terdidik kita. Tidak hanya literasi dalam arti kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), namun literasi juga berkaitan erat dengan segala usaha untuk mendapatkan, menyebarkan dan antisi­pasi informasi atau berita.

Di sini perlu gerakan literasi sarjana, selain sudah ada gerakan literasi dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Masyarakat kampus harus mewadahi calon sarjana pendidikan untuk memiliki kemampuan literasi dalam rangka menjawab tantangan zaman.

Sebab, hanya sarjana yang mampu membaca zeitgeist (spirit zaman) yang bisa survive. Oleh karena itu, tantangan sarjana pendidikan yang tidak hanya dihadapkan dengan maraknya plagiasi juga butuh kompetensi untuk melek literasi.

Pertama, LPTK harus me­nguatkan mata kuliah khusus untuk melek literasi kepenulisan. Tidak hanya berupa metodologi penelitian, namun metode menulis sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), teknik menyadur/ mengutip yang harus mengutamakan asas kejujuran dan etika. Perlu adanya mata kuliah yang spesifik khusus untuk memerdekakan calon sarjana pendidikan dari plagiasi, duplikasi, pabrikasi, falsifikasi, dan lainnya.

Kedua, penguatan elemen literasi media yang itu integral dengan mata kuliah TIK. Selama ini mata kuliah TIK hanya berorientasi pada hal-hal lama seputar pembelajaran komputer maupun elearning. Padahal, zaman semakin berubah cepat dan butuh tambahan materi literasi media agar calon guru benar-benar bisa mendapatkan, mengolah dan menyebar berita sesuai kaidah literasi dan bebas hoax.

Kemendikbud (2017) telah merumuskan gerakan literasi secara komprehensif, yaitu literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy) dan literasi visual (visual literacy). Mahasiswa calon guru harus bisa menguasai elemen literasi yang sudah digagas Kemendikbud tersebut sebagai bekal menjadi guru bagi peserta didik.

Ketiga, perlu gerakan sadar literasi sejak dini yang membudaya di kampus. Gerakan literasi tidak bisa jika hanya melalui seminar, lokakarya, workshop, maupun diklat. Namun harus konsisten dan menjadi program kerja, pengembangan kurikulum yang mewujud dalam kata kuliah, regu­lasi sehingga menjadi budaya kampus.

Jika ini diterapkan maka mahasiswa, dosen pasti bebas dari kejahatan akademik berupa plagiasi dan terhindar dari bahaya laten hoax, fake dan bijak dalam bermedia sosial. Selain itu, juga perlu berperan aktif dalam mem­bangun SDM yang berkualitas melalui pemanfaat teknologi.

Misalnya adanya aplikasi yang bisa mendeteksi hoax seperti www.turnbackhoax.id harus dimanfaatkan dosen dan mahasiswa untuk benar-benar terbebas dari ancaman berita fitnah dan bohong.

Sebab apa saja yang dikonsumsi masyarakat saat ini sangat dipengaruhi oleh berita, terutama media online yang berkembang cepat tiap menit bahkan detik. Jika konsumsi kita baik, tentu yang dikeluarkan juga akan baik. Jika konsumsi itu berupa racun, tentu akan mematikan.

Ke depan, semua usaha dan langkah di atas menjadi salah satu tawaran solusi agar sarjana pendidikan kita benar-benar melek TIK sebagai bekal untuk mengabdi di masyarakat. Era milenial tidak boleh jika dosen, mahasiswa, dan sarjana hanya menjadi penonton dan konsumennya. Namun harus berperan aktif dan menyebar kebaikan, kebenaran melalui peranti melek TIK tersebut.

Oleh karena itu, proses sosialisasi penataan cara berpikir dan perubahan perilaku serta penguatan sistem akademik LPTK untuk mendesain sarjana pendidikan yang benar-benar melek TIK. Dalam kamus pendidikan, melek TIK memang bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6071 seconds (0.1#10.140)