Membidik Rezeki di Balik Pariwisata
A
A
A
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM Universitas Andalas, dan Sekretaris Majelis Riset DPT Kemenristek-Dikti
TEORI alokasi waktu yang dikemukakan Gary S. Becker (1965) menyatakan bahwa individu memiliki waktu 24 Jam. Waktu digunakan untuk kerja, bersenang-senang ”leasures” dan tidur. Pemisahan waktu bersenang-senang dengan waktu kerja dahulu masih bisa dianggap benar. Tetapi saat sekarang bisa menjadi keliru.
Individu bisa menggunakan waktu kerja, sekaligus bersenang-senang, atau sebaliknya. Ini berkat kehadiran alat komunikasi ”virtual” dalam kehidupan sehari hari. Alat yang mempermudah untuk berkomunikasi dan digunakan untuk berbagai tujuan.
Ruangan menjadi tidak selalu diperlukan untuk rapat. Cukup diskusi di berbagai fasilitas komunikasi, seperti WA, Instagram, Facebook, e-mail dll. Di tempat wisata masih bisa rapat dilakukan dalam suasana santai untuk mengambil keputusan.
Karena sektor wisata lebih banyak berkonotasi dengan bersenang-senang, kemajuan dari sektor wisata hendaklah didasari pada dua hal. Hal pertama adalah kemajuan sektor pariwisata mesti manfaatnya dirasakan oleh masyarakat tempatan.
Kedua, Indonesia mesti menyiapkan diri agar kemajuan dari pariwisata juga bisa disertai dengan substitusi bisnis yang terkait ke belakang ëbackward lingkagesí dan ke depan forward lingkages, lahir dan dikelola semakin banyak oleh masyarakat setempat. Ini berimplikasi semakin terbukanya kesempatan kerja dan kesejahteraan.
Sinyal Kunjungan
KORAN SINDO (Minggu, 23/10) menyajikan data tentang performa pariwisata dalam tiga tahun belakangan. Hal yang menarik adalah bahwa adanya peningkatan dari mereka yang berwisata untuk tujuan rekreasi dari 22,2% tahun 2014 menjadi 38,5% tahun 2016. Sedangkan maksud kunjungan yang paling tinggi adalah untuk menemui teman dan sahabat. Dari 54,8% tahun 2014 menurun menjadi 43,6% tahun 2016.
Variasi provinsi untuk dikunjungi dengan pilihan objek juga berbeda. Mulai wisata bahari yang diperankan oleh provinsi Kepri dan Papua Barat. Wisata budaya dan buatan dimainkan oleh Bali dan Yogya, serta wisata tujuan alam diperankan oleh NTT dan Sumatera Utara.
Apapun yang menjadi daya tarik wisata, baik alam, budaya, dan buatan dia tidak akan habis. Bernilai tinggi sepanjang bisa dipertahankan. Bahkan mesti dijaga kelestariannya dari tahun ke tahun. Ketika lamanya setiap kunjungan wisatawan masih kurang dari dua malam di tempat penginapan, (1,9 malam rata-rata per kunjungan), maka para pelancong pun telah meningkat pengeluaran mereka. Dari Rp851.700 tahun 2014 menjadi Rp914.300. Dari komponen itu, yang paling besar pengeluaran wisatawan adalah untuk makan dan minuman (Rp333.900), jasa pariwisata (Rp206,9), belanja dan akomodasi, hiburan dan rekreasi, serta lainnya.
Problem utama apa yang perlu dibidik agar kemajuan sektor wisata ini ditangkap dan dijadikan sebagai penghidupan oleh masyarakat setempat. Banyak juga kajian yang menemukan ketika sektor wisata berkembang, kemudian hasilnya dinikmati oleh pemilik modal, atau bahkan orang asing, tentu margin yang diterima berupa lapangan kerja hanya sedikit dan terbatas oleh masyarakat tempatan.
Kemajuan wisata pulau dewata Bali, misalnya, telah banyak membuka lapangan kerja. Sayangnya pada jenis pekerjaan yang menengah dan tinggi telah diisi oleh pekerja yang berasal dari luar, bahkan ekspatriat. Hal yang sama juga terjadi ketika banyaknya kemajuan pariwisata ke Pulau Siberut di Mentawai Sumatera Barat telah menyisakan isapan jempol.
Karena pemasukan untuk hotel, makanan dan angkutan, telah diambil pangsa pengelolaannya oleh usahawan travel dan hotel secara terintegrasi. Masyarakat tempatan tidak mendapatkan banyak memperoleh hasil dengan adanya keindahan waveing berselancar yang ada di Kepulauan Mentawai. Begitu juga pada tempat-tempat tujuan wisata lainnya. Tahun 2016 saja misalnya penerimaan retribusi daerah Kepulauan Mentawai dari sektor pariwisata hanya sebesar Rp1 miliar, jauh dari yang seharusnya bisa diterima.
Indikasi juga menunjukkan bahwa daerah tujuan wisata, khususnya kota-kota tujuan yang menjadi tempat utama kedatangan wisatawan juga dibidik oleh mereka dengan bisnis makanan dan minuman. Namun juga pelaku usahanya adalah mereka yang sudah mapan dan memiliki bisnis menggurita yang kuat merebut pangsa pasar para pelancong. Lihatlah mal-mal besar di Jakarta, Surabaya dan Medan, usaha kuliner banyak dimasuki oleh investor yang berasal dari Jepang, Korea, dan Eropa.
Kondisi ini mesti disehatkan melalui penguatan pelaku-pelaku ekonomi lokal. Tentunya yang ingin mendapatkan manfaat dengan kemajuan sektor wisata. Itulah di antaranya mereka anak muda kelompok baru di desa dan kota yang melihat manfaat dari kemajuan sektor pariwisata.
Menyiapkan Diri
Daerah tujuan wisata kendatipun tidak akan pernah habis, namun mesti dipelihara dan semakin dipercantik dari masa ke masa. Kebersihan dan segala fasilitas publik yang diperlukan adalah sangat perlu diidentifikasi, dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama-sama masyarakat. Agar daerah mereka menjadi lebih utama dan diyakini akan dapat meningkatkan waktu bersenang-senang bagi mereka yang melakukan perjalanan wisata.
Namun di balik itu, diperlukan juga identifikasi secara mikro, bisnis-bisnis yang masih memungkinkan dapat diperankan oleh masyarakat setempat. Tahun terakhir, dengan keberadaan usaha penginapan AirBnB saja, maka usaha penyewaan hostel/penginapan murah yang berafiliasi dengan usaha mereka mulai berperan. Usaha ini menjadi substitusi hotel berbintang yang selama ini meraup keuntungan dibalik kemajuan sektor wisata.
Pelaku usaha restoran dan tempat menginap murah mesti segera menyiapkan diri, mengukur kualitas, dan mutu layanan. Bisa memanfaatkan marketing dengan memanfaatkan fasilitas virtual yang berkembang saat ini. Kedua adalah mulai keberpihakan terhadap produk-produk lokal, yang dapat dimanfaatkan oleh penikmat perjalanan wisata. Misalnya minuman yang disuguhkan selama di perjalanan wisata dapat dikembangkan oleh masyarakat setempat. Kuliner yang semakin fokus, terjaga kebersihan, dan lokasi menikmatinya penuh penataan dan keindahan.
Daerah tujuan wisata juga dijaga kebersihan, tempat toilet umum yang terjaga dan segala fasilitas utama lainnya. Diyakini, jika ini mendapatkan sorotan dan fokus, maka semakin banyak usaha ikutan yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Jika tidak, mereka hanya akan memperoleh kenangan yang hampa, alias kemajuan sektor pariwisata ini berdampak kecil terhadap perluasan kesempatan kerja dan kesejahteraan.
Profesor Ekonomi SDM Universitas Andalas, dan Sekretaris Majelis Riset DPT Kemenristek-Dikti
TEORI alokasi waktu yang dikemukakan Gary S. Becker (1965) menyatakan bahwa individu memiliki waktu 24 Jam. Waktu digunakan untuk kerja, bersenang-senang ”leasures” dan tidur. Pemisahan waktu bersenang-senang dengan waktu kerja dahulu masih bisa dianggap benar. Tetapi saat sekarang bisa menjadi keliru.
Individu bisa menggunakan waktu kerja, sekaligus bersenang-senang, atau sebaliknya. Ini berkat kehadiran alat komunikasi ”virtual” dalam kehidupan sehari hari. Alat yang mempermudah untuk berkomunikasi dan digunakan untuk berbagai tujuan.
Ruangan menjadi tidak selalu diperlukan untuk rapat. Cukup diskusi di berbagai fasilitas komunikasi, seperti WA, Instagram, Facebook, e-mail dll. Di tempat wisata masih bisa rapat dilakukan dalam suasana santai untuk mengambil keputusan.
Karena sektor wisata lebih banyak berkonotasi dengan bersenang-senang, kemajuan dari sektor wisata hendaklah didasari pada dua hal. Hal pertama adalah kemajuan sektor pariwisata mesti manfaatnya dirasakan oleh masyarakat tempatan.
Kedua, Indonesia mesti menyiapkan diri agar kemajuan dari pariwisata juga bisa disertai dengan substitusi bisnis yang terkait ke belakang ëbackward lingkagesí dan ke depan forward lingkages, lahir dan dikelola semakin banyak oleh masyarakat setempat. Ini berimplikasi semakin terbukanya kesempatan kerja dan kesejahteraan.
Sinyal Kunjungan
KORAN SINDO (Minggu, 23/10) menyajikan data tentang performa pariwisata dalam tiga tahun belakangan. Hal yang menarik adalah bahwa adanya peningkatan dari mereka yang berwisata untuk tujuan rekreasi dari 22,2% tahun 2014 menjadi 38,5% tahun 2016. Sedangkan maksud kunjungan yang paling tinggi adalah untuk menemui teman dan sahabat. Dari 54,8% tahun 2014 menurun menjadi 43,6% tahun 2016.
Variasi provinsi untuk dikunjungi dengan pilihan objek juga berbeda. Mulai wisata bahari yang diperankan oleh provinsi Kepri dan Papua Barat. Wisata budaya dan buatan dimainkan oleh Bali dan Yogya, serta wisata tujuan alam diperankan oleh NTT dan Sumatera Utara.
Apapun yang menjadi daya tarik wisata, baik alam, budaya, dan buatan dia tidak akan habis. Bernilai tinggi sepanjang bisa dipertahankan. Bahkan mesti dijaga kelestariannya dari tahun ke tahun. Ketika lamanya setiap kunjungan wisatawan masih kurang dari dua malam di tempat penginapan, (1,9 malam rata-rata per kunjungan), maka para pelancong pun telah meningkat pengeluaran mereka. Dari Rp851.700 tahun 2014 menjadi Rp914.300. Dari komponen itu, yang paling besar pengeluaran wisatawan adalah untuk makan dan minuman (Rp333.900), jasa pariwisata (Rp206,9), belanja dan akomodasi, hiburan dan rekreasi, serta lainnya.
Problem utama apa yang perlu dibidik agar kemajuan sektor wisata ini ditangkap dan dijadikan sebagai penghidupan oleh masyarakat setempat. Banyak juga kajian yang menemukan ketika sektor wisata berkembang, kemudian hasilnya dinikmati oleh pemilik modal, atau bahkan orang asing, tentu margin yang diterima berupa lapangan kerja hanya sedikit dan terbatas oleh masyarakat tempatan.
Kemajuan wisata pulau dewata Bali, misalnya, telah banyak membuka lapangan kerja. Sayangnya pada jenis pekerjaan yang menengah dan tinggi telah diisi oleh pekerja yang berasal dari luar, bahkan ekspatriat. Hal yang sama juga terjadi ketika banyaknya kemajuan pariwisata ke Pulau Siberut di Mentawai Sumatera Barat telah menyisakan isapan jempol.
Karena pemasukan untuk hotel, makanan dan angkutan, telah diambil pangsa pengelolaannya oleh usahawan travel dan hotel secara terintegrasi. Masyarakat tempatan tidak mendapatkan banyak memperoleh hasil dengan adanya keindahan waveing berselancar yang ada di Kepulauan Mentawai. Begitu juga pada tempat-tempat tujuan wisata lainnya. Tahun 2016 saja misalnya penerimaan retribusi daerah Kepulauan Mentawai dari sektor pariwisata hanya sebesar Rp1 miliar, jauh dari yang seharusnya bisa diterima.
Indikasi juga menunjukkan bahwa daerah tujuan wisata, khususnya kota-kota tujuan yang menjadi tempat utama kedatangan wisatawan juga dibidik oleh mereka dengan bisnis makanan dan minuman. Namun juga pelaku usahanya adalah mereka yang sudah mapan dan memiliki bisnis menggurita yang kuat merebut pangsa pasar para pelancong. Lihatlah mal-mal besar di Jakarta, Surabaya dan Medan, usaha kuliner banyak dimasuki oleh investor yang berasal dari Jepang, Korea, dan Eropa.
Kondisi ini mesti disehatkan melalui penguatan pelaku-pelaku ekonomi lokal. Tentunya yang ingin mendapatkan manfaat dengan kemajuan sektor wisata. Itulah di antaranya mereka anak muda kelompok baru di desa dan kota yang melihat manfaat dari kemajuan sektor pariwisata.
Menyiapkan Diri
Daerah tujuan wisata kendatipun tidak akan pernah habis, namun mesti dipelihara dan semakin dipercantik dari masa ke masa. Kebersihan dan segala fasilitas publik yang diperlukan adalah sangat perlu diidentifikasi, dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama-sama masyarakat. Agar daerah mereka menjadi lebih utama dan diyakini akan dapat meningkatkan waktu bersenang-senang bagi mereka yang melakukan perjalanan wisata.
Namun di balik itu, diperlukan juga identifikasi secara mikro, bisnis-bisnis yang masih memungkinkan dapat diperankan oleh masyarakat setempat. Tahun terakhir, dengan keberadaan usaha penginapan AirBnB saja, maka usaha penyewaan hostel/penginapan murah yang berafiliasi dengan usaha mereka mulai berperan. Usaha ini menjadi substitusi hotel berbintang yang selama ini meraup keuntungan dibalik kemajuan sektor wisata.
Pelaku usaha restoran dan tempat menginap murah mesti segera menyiapkan diri, mengukur kualitas, dan mutu layanan. Bisa memanfaatkan marketing dengan memanfaatkan fasilitas virtual yang berkembang saat ini. Kedua adalah mulai keberpihakan terhadap produk-produk lokal, yang dapat dimanfaatkan oleh penikmat perjalanan wisata. Misalnya minuman yang disuguhkan selama di perjalanan wisata dapat dikembangkan oleh masyarakat setempat. Kuliner yang semakin fokus, terjaga kebersihan, dan lokasi menikmatinya penuh penataan dan keindahan.
Daerah tujuan wisata juga dijaga kebersihan, tempat toilet umum yang terjaga dan segala fasilitas utama lainnya. Diyakini, jika ini mendapatkan sorotan dan fokus, maka semakin banyak usaha ikutan yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Jika tidak, mereka hanya akan memperoleh kenangan yang hampa, alias kemajuan sektor pariwisata ini berdampak kecil terhadap perluasan kesempatan kerja dan kesejahteraan.
(whb)