Tatkala Politik Membelah Ulama

Jum'at, 03 November 2017 - 08:30 WIB
Tatkala Politik Membelah Ulama
Tatkala Politik Membelah Ulama
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) baru akan dilaksanakan pada 2018. Meski masih lama, suhu politik Jatim terus meningkat. Dinamika politik Jatim bukan saja disebabkan tarik menarik dukungan elite politik pada kandidat gubernur dan wakil gubernur. Lebih dari itu, dinamika politik Jatim jelang pilgub juga telah membelah sikap ulama. Para alim ulama terpolarisasi dalam berbagai kepentingan dukung mendukung kandidat.

Sebagai pemimpin informal, sebagian kiai ternama turun gelanggang dengan memberikan dukungan pada masing-masing kandidat. Para kiai juga terlibat pembahasan penentuan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Sejauh ini sejumlah figur nyaring disebut sebagai kandidat calon gubernur (cagub) Jatim. Cagub yang sudah memastikan maju adalah Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Bahkan, Gus Ipul sudah ditetapkan sebagai cagub oleh PKB dan PDIP berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi). Calon lain yang berminat maju dalam Pilgub Jatim adalah Khofifah Indar Parawansa. Kini Khofifah menunggu keputusan kiai terkait figur calon wakil gubernur (cawagub) yang mendampinginya.

Sebagai sesama kader NU, Gus Ipul dan Khofifah sukses menarik gerbong kiai. Pada umumnya, Gus Ipul didukung kiai struktural yang menjabat di kepengurusan NU. Itu bisa dimaklumi karena Gus Ipul merupakan salah satu Ketua PBNU. Sedangkan Khofifah banyak didukung kiai kultural alias kiai kampung. Di antara kiai bahkan ada yang terlibat rapat penentuan pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Jatim.

Secara resmi tahapan Pilgub Jatim memang belum dimulai. Tetapi harus diakui, persiapan penentuan paslon membuat peta politik Jatim sangat dinamis. Dalam proses politik jelang pilgub itulah publik melihat sebagian ulama-kiai terlibat langsung politik praktis. Dampaknya, para ulama-kiai terbelah karena perbedaan sikap politik dan dukungan pada kandidat. Pada konteks ini publik tidak perlu heran karena dunia politik selalu akrab dengan perbedaan, bahkan perpecahan.

Sebagian aktivis partai bahkan mengatakan perbedaan politik itu biasa. Namun, yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan. Semua pihak semestinya melihat politik sebagai bagian dari persoalan duniawi. Karena itu, tidak boleh saling memutlakkan pendapat dengan menganggap pilihan politiknya sebagai yang paling benar. Sementara pilihan politik orang lain dianggap salah. Apalagi jika dalam menyampaikan pandangan dan sikap politik seseorang membawa simbol-simbol keagamaan.

Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam politik pasti akan menodai kesakralan ajaran agama. Peringatan ini penting direnungkan karena dinamika politik jelang pilgub dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Jatim menjadikan ulama-kiai terkotak-kotak. Apalagi sebagai ulama-kiai memiliki posisi yang sentral dalam organisasi kemasyarakatan (ormas). Sebagian mereka juga kiai sekaligus pimpinan pondok pesantren. Dalam posisi ini, mereka sangat berpotensi memengaruhi pilihan politik umat. Para kandidat pun tahu persis cara memanfaatkan mereka sebagai pendulang suara (vote getter ).

Terbelahnya sikap ulama-kiai karena faktor politik, apalagi disertai tindakan memobilisasi umat, tentu sangat disayangkan. Karena sifat demikian jauh dari karakter ulama yang seharusnya. Dalam pengertian baku, ulama merupakan kelompok orang yang ahli agama. Pengertian ini merujuk pada kalam Ilahi dalam Alquran (QS. 26: 197 dan QS. 35: 28). Dalam Hadis Nabi Muhammad juga ditegaskan posisi istimewa ulama sebagai pewaris para Nabi. Dalam makna yang lebih luas, ulama juga mencakup kaum cendekiawan (ulul albab ).

Dengan demikian, ulama sejatinya bukan hanya kelompok ahli agama, melainkan juga ahli ilmu pengetahuan pada umumnya. Itu berarti para ahli statistika yang mengawal lembaga-lembaga survei adalah ulama. Karena ulama (ahli agama dan ahli statistika) saat jelang pilgub dan pilkada serentak di 18 kabupaten/kota Jatim terbelah, maka itu bisa membuat tensi persaingan antarkandidat semakin memanas. Publik juga bisa mengalami sesat pikir dan dibuat bingung. Semua itu terjadi karena sebagian ahli survei masuk dalam kelompok berkepentingan.

Bahkan ada sebagian lembaga survei dadakan yang dibentuk para kandidat jelang pilgub dan pilkada. Dampaknya, nilai-nilai kejujuran yang menjadi spirit dalam dunia keilmuan akan terabaikan. Demikian halnya dengan sebagian ulama-kiai yang terlalu jauh bermain dalam ranah politik praktis dengan mendukung salah satu kandidat. Apalagi jika dukungan itu tidak gratis. Artinya, mereka mendukung bukan karena rekam jejak kandidat, melainkan karena adanya "sedekah politik". Jika dugaan itu benar, berarti kelompok ulama dan lembaga survei telah melakukan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral keilmuan.

Untuk itulah, Julien Benda dalam The Betrayal of the Intellectuals (1980) berpesan agar kaum cendekiawan berhati-hati jika bersinggungan dengan politik kekuasaan. Julien Benda juga mengingatkan agar kaum cendekiawan tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan saat bersinggungan dengan politik kekuasaan. Namun, yang tidak boleh hilang dari kaum cendekiawan adalah akhlak. Pesan ini penting agar kaum cendekiawan selalu menjadikan akhlak sebagai panglima dalam bertindak.

Sebagai pemimpin informal, ulama-kiai sejatinya diharapkan bisa mengawal proses politik jelang pilgub dan pilkada secara terhormat. Ulama-kiai semestinya memosisikan diri sebagai penjaga akhlak umat dalam berpolitik. Ulama-kiai juga harus menjadi referensi moral bagi semua elite politik. Itu berarti ulama-kiai harus memainkan tugas utamanya, yakni al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (memerintah yang baik dan mencegah yang munkar).

Pembaru muslim, Jalaluddin Al-Suyuthi menegaskan, pentingnya tugas tersebut bagi ulama. Menurut al-Suyuthi, tugas amar makruf nahi munkar tidak boleh dijalankan sembarang orang. Ditegaskannya, hanya ulama dan umara (pemerintah) yang boleh menjalankan tugas tersebut. Ulama memiliki otoritas karena memiliki ilmu dan kebijaksanaan. Sementara pemerintah memiliki kekuasaan dan aparat.

Dengan posisi yang sentral itulah ulama-kiai dapat memainkan peranan penting jelang pilgub dan pilkada serentak di Jatim. Ulama-kiai harus menjaga kehormatannya sebagai pewaris para Nabi. Jangan sampai kepentingan politik membelah ulama-kiai.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3112 seconds (0.1#10.140)