Pakar Hukum: Bikin Tumpang Tindih Sistem Peradilan Pidana
A
A
A
YOGYAKARTA - Wacana pembentukan Densus Tipikor Polri mendapat tanggapan beragam. Sejumlah pihak menilai pembentukan Densus Tipikor ini justru akan membuat tumpang tindih sistem peradilan pidana.
Pakar Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) Dr Muh Khambali berpendapat jika Densus Tipikor ini akan membuat tumpang tindih dan tabrakan sistim peradilan pidana. “Jika benar terbentuk dan melaksanakan tugasnya yang berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka akan terjadilah tumpang-tindih, tabrakan dalam criminal justice system di Indonesia,” ujarnya kepada SINDOnews, Senin 30 Oktober 2017.
Menurutnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya KUHAP, Polri tidak punya kewenangan penuntutan tipikor, tetapi jaksa lah yang punya kewenangan penuntutan. Jadi jelas dan nyata jika Polri melakukan penuntutan tipikor itu tidak sesuai dengan UU.
Dia menilai, jika Densus Tipikor hendak dibentuk, maka harus berdasarkan UU. Karena tidak ada UU tentang Densus Tipikor Polri, sebagai UU tentang KPK, maka UU pembentukan Densus Tipikor harus dibuat terlebih dahulu.
“Densus Tipikor Polri tidak cukup hanya berdasarkan skep Kapolri, Inpres, Perpres, PP, bahkan Perppu sekalipun,” tegas doktor hukum pidana lulusan Unissula Semarang ini.
Jika tidak ingin membuat UU dulu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah tidak menyertakan kewenangan penuntutan dalam Densus Tipikor tersebut. Pengacara senior ini menyarankan sebaiknya rencana Densus Tipikor Polri dibatalkan.
“Kalau mau dipaksakan terbentuknya Densus Tipikor Polri maka silahkan DPR membuat UU tentang itu,” jelasnya.
Khambali juga mengapresiasi sikap Kejagung yang menolak untuk bergabung dalam Densus Tipikor Polri, karena memang jika jaksa bergabung dalam Densus Tipikor, maka akan lahirlah ‘KPK Tandingan’.
"Jika akhirnya pengadilan akan menyatakan tidak dapat menerima dakwaan Densus Tipikor Polri, berarti usaha pemberantasan korupsi yang sia-sia kan? Membuang biaya, tenaga, waktu, dan pikiran," pungkasnya.
Pakar Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) Dr Muh Khambali berpendapat jika Densus Tipikor ini akan membuat tumpang tindih dan tabrakan sistim peradilan pidana. “Jika benar terbentuk dan melaksanakan tugasnya yang berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka akan terjadilah tumpang-tindih, tabrakan dalam criminal justice system di Indonesia,” ujarnya kepada SINDOnews, Senin 30 Oktober 2017.
Menurutnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya KUHAP, Polri tidak punya kewenangan penuntutan tipikor, tetapi jaksa lah yang punya kewenangan penuntutan. Jadi jelas dan nyata jika Polri melakukan penuntutan tipikor itu tidak sesuai dengan UU.
Dia menilai, jika Densus Tipikor hendak dibentuk, maka harus berdasarkan UU. Karena tidak ada UU tentang Densus Tipikor Polri, sebagai UU tentang KPK, maka UU pembentukan Densus Tipikor harus dibuat terlebih dahulu.
“Densus Tipikor Polri tidak cukup hanya berdasarkan skep Kapolri, Inpres, Perpres, PP, bahkan Perppu sekalipun,” tegas doktor hukum pidana lulusan Unissula Semarang ini.
Jika tidak ingin membuat UU dulu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah tidak menyertakan kewenangan penuntutan dalam Densus Tipikor tersebut. Pengacara senior ini menyarankan sebaiknya rencana Densus Tipikor Polri dibatalkan.
“Kalau mau dipaksakan terbentuknya Densus Tipikor Polri maka silahkan DPR membuat UU tentang itu,” jelasnya.
Khambali juga mengapresiasi sikap Kejagung yang menolak untuk bergabung dalam Densus Tipikor Polri, karena memang jika jaksa bergabung dalam Densus Tipikor, maka akan lahirlah ‘KPK Tandingan’.
"Jika akhirnya pengadilan akan menyatakan tidak dapat menerima dakwaan Densus Tipikor Polri, berarti usaha pemberantasan korupsi yang sia-sia kan? Membuang biaya, tenaga, waktu, dan pikiran," pungkasnya.
(kri)