Birokrasi (Tidak) Digital
A
A
A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
AGAKNYA benar bila teknologi akan banyak menggantikan orang. Ketika e-toll diberlakukan, sejumlah petugas gerbang tol akan dipangkas. Demikian halnya dengan sejumlah teller perbankan dan pelayan di mal juga akan menipis tatkala orang tidak lagi membutuhkan bantuannya sejalan dengan pola transaksi dan belanja yang menggunakan online. Pengguna angkutan umum pun melakukan pemesanan dan transaksi yang sama pula. Akibatnya, sejumlah angkutan umum konvensional kekurangan konsumennya seperti halnya ketika angkot mengalahkan delman dan becak.
Tidak heran jika kebutuhan tenaga kerja di banyak sektor bisa berkurang secara drastis. PNS juga mulai seret penerimaannya, demikian juga sejumlah sektor swasta akan terhasut oleh prilaku Google yang merekrut pegawai tanpa mempertimbangkan jenjang pendidikan. Akibatnya penyediaan lapangan kerja yang sedikit akan diperebutkan oleh sejumlah jenjang pendidikan yang semakin banyak. Untuk itulah, para petarung pada 2018 ataupun 2019 perlu mempertimbangkan perkembangan yang ada agar tidak terjebak pada janji yang dianggap publik palsu.
Transaksi
Boleh jadi petarung paham kebutuhan publiknya, tapi perlu paham juga cara memenuhinya. Hommans (1966) mengajarkan bila dalam kehidupan senantiasa terjadi transaksi. Boleh jadi publik butuh penyediaan lapangan kerja dan petarung politik butuh suaranya. Kemampuan memenuhi hasrat publiknya dapat menyebabkan dukungannya semakin menguat, demikian sebaliknya. Karena itu, survei pasar patut dikembangkan agar visi dan misi yang disusunnya sesuai dengan kondisi lapangan serta menjadi solusi bagi kondisi yang ada. Kekecewaan publik bisa saja disumpal dengan angpau seperti yang biasa dilakukan, tapi hal demikian akan menyebabkan kerugian berkepanjangan bagi bangsa ini.
Tingginya kebutuhan orang untuk dipenuhi segera menjadi krusial. Bila tidak, kekecewaan bisa melumpuhkan birokrasi yang gagal mendekati kebutuhan publiknya. Tidak heran bila Isaac (1972) membuat teri bahwa organisasi, termasuk pemerintah, bisa sampai kepada kondisi decline, di mana sejumlah pilarnya tidak dapat menjawab dan memberikan solusi atas dinamika publiknya. Peralihan kekuasaan tidak boleh menyebabkan kelumpuhan tersebut, tapi harus lebih sigap memenuhi harapan rakyatnya. Bila ternyata semakin melemah, ujungnya suatu organisasi tersebut akan mati.
Kondisi pemerintah haruslah tetap matang. Keprimaan dalam menyikapi dan memenuhi tuntutan menjadi penting sehingga kepercayaan publik semakin menguat. Tidak heran bila konsultasi publik perlu tetap dijaga dengan beragam moda. Untuk itu, pemilihan pemimpin pusat ataupun daerah perlu disikapi dari aspek kapasitas dirinya agar dapat membawa ke arah yang lebih maju. Kapasitas tersebut perlu digunakan untuk menerjemahkan konsultasi tersebut agar lebih banyak yang dapat dimajukan. Tidak berlebihan bila kemauan untuk memasang telinga ketimbang mulutnya. Tatkala pejabatnya resisten terhadap setiap keluhan, peluang untuk keluar semakin besar seperti dituliskan Hirschman (1970). Lahirnya apatisme menunjukkan adanya ketidakpedulian publik terhadap upaya yang dilakukan pemerintah.
Kepercayaan
Kemajuan teknologi juga agaknya patut mempercepat sejumlah aktivitas pelayanan publik. Kendati demikian, teknologi tersebut mesti dalam pengendalian agar tidak merusak tatanan kehidupan. Bisa jadi pemerintah sebagai regulator mengatur agar kepatuhan orang semakin tinggi. Lahirnya UU 11/08 tentang ITE agaknya menjadi alat kendali dan legalitas pemerintah untuk mengatur lalu lintas kegiatan yang berbasiskan teknologi. Untuk itu, tidak boleh berkembang penipuan yang berbasiskan teknologi tersebut dengan mempermudah dan mempercepat tindak lanjut atas sejumlah penipuan yang berujung transfer dana melalui ATM. Demikian halnya dengan kasus Saracen juga First Travel tidak boleh terus berkembang karena akan merusak citra pemerintah yang dianggapnya lamban merespons dinamika yang ada.
Agaknya, tindakan pemerintah mesti terbagi menjadi tiga. Pertama mempercepat pelayanan publik yang telah baku, termasuk e-KTP atau e-government sehingga tidak lagi birokratis. Demikian halnya dengan perĀizinan yang tidak membawa dampak besar dan bersifat rutin bisa dilakukan secara online. Kedua, mencermati sejumlah usulĀan pihak lain dalam aktivitas yang berdampak buruk. Bisa jadi perizinan industri atau perumahan perlu dicermati kendati sudah mengantongi Amdal. Untuk itu, perlu kajian mendalam agar dampak buruknya tidak mengganggu kehidupan anak cucu kelak. Untuk itu, perlu penggandengan pihak yang paham mengenai hal tersebut. Akademisi dengan ilmu terkait menjadi penting dirangkul agar saran dan pertimbangannya dapat dijadikan rujukan untuk memberikan perizinan.
Ketiga, pemerintah patut menggabungkan pelayanan yang berbasis teknologi dengan yang manual. Adanya perseteruan angkutan online dengan reguler memerlukan penanganan yang berbasiskan kearifan untuk menyadarkan sejumlah pihak. Pelibatan pemuka agama dan masyarakat menjadi penting agar kehidupan harmonis dapat dibangun. Pemetaan untuk solusinya dilibatkan juga kaum pemikir dan praktisi yang memahami lapangan. Pelibatan tersebut juga dapat mengontrol penggunaan sejumlah rumah yang berpindah menjadi aktivitas dijadikan industri atau aktivitas ilegal lain. Kecepatan tindakan pemerintah akan melahirkan kepercayaan publik sekaligus membuatnya segan untuk menyalahi aturan.
Perbedaan prilaku serta aksesibilitas terhadap teknologi menunjukkan disparitas dalam kehidupan di negeri ini. Kondisi pula menjadi alasan jika birokrasi yang adaptif bukan yang serba digital dengan mengeliminasi manusianya. Karena itu, menguatkan kompetensi teknis yang mampu mengelola teknologi untuk memberikan pelayanan optimal patut terus dipacu. Hanya saja kompetensi tersebut bisa disalahgunakan jika tidak diimbangi kompetensi etika. Karena itu, Bowman (2010) menempatkannya sebagai hal penting sebagai basis untuk melandasi kompetensi teknis tersebut.
Demikian halnya dengan kompetensi leadership yang bisa menentukan kepatuhan publik atas apa yang dititahkannya. Tidak berlebihan bila pemanfaatan teknologi semakin tinggi, tapi sisi humanis birokrasi pun patut ditingkatkan agar publik mendapat kenyamanan dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Bila tidak, birokrasi hanya akan menjadi alat teknologi yang bersifat digitalis, tidak humanis. Untuk itu, menempatkan birokrasi sebagai pengendali teknologi menjadi penting agar kehadirannya bermanfaat bagi semua serta dapat mempermudah aktivitas keseharian tanpa merusak tatanan yang ada. Semoga.
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
AGAKNYA benar bila teknologi akan banyak menggantikan orang. Ketika e-toll diberlakukan, sejumlah petugas gerbang tol akan dipangkas. Demikian halnya dengan sejumlah teller perbankan dan pelayan di mal juga akan menipis tatkala orang tidak lagi membutuhkan bantuannya sejalan dengan pola transaksi dan belanja yang menggunakan online. Pengguna angkutan umum pun melakukan pemesanan dan transaksi yang sama pula. Akibatnya, sejumlah angkutan umum konvensional kekurangan konsumennya seperti halnya ketika angkot mengalahkan delman dan becak.
Tidak heran jika kebutuhan tenaga kerja di banyak sektor bisa berkurang secara drastis. PNS juga mulai seret penerimaannya, demikian juga sejumlah sektor swasta akan terhasut oleh prilaku Google yang merekrut pegawai tanpa mempertimbangkan jenjang pendidikan. Akibatnya penyediaan lapangan kerja yang sedikit akan diperebutkan oleh sejumlah jenjang pendidikan yang semakin banyak. Untuk itulah, para petarung pada 2018 ataupun 2019 perlu mempertimbangkan perkembangan yang ada agar tidak terjebak pada janji yang dianggap publik palsu.
Transaksi
Boleh jadi petarung paham kebutuhan publiknya, tapi perlu paham juga cara memenuhinya. Hommans (1966) mengajarkan bila dalam kehidupan senantiasa terjadi transaksi. Boleh jadi publik butuh penyediaan lapangan kerja dan petarung politik butuh suaranya. Kemampuan memenuhi hasrat publiknya dapat menyebabkan dukungannya semakin menguat, demikian sebaliknya. Karena itu, survei pasar patut dikembangkan agar visi dan misi yang disusunnya sesuai dengan kondisi lapangan serta menjadi solusi bagi kondisi yang ada. Kekecewaan publik bisa saja disumpal dengan angpau seperti yang biasa dilakukan, tapi hal demikian akan menyebabkan kerugian berkepanjangan bagi bangsa ini.
Tingginya kebutuhan orang untuk dipenuhi segera menjadi krusial. Bila tidak, kekecewaan bisa melumpuhkan birokrasi yang gagal mendekati kebutuhan publiknya. Tidak heran bila Isaac (1972) membuat teri bahwa organisasi, termasuk pemerintah, bisa sampai kepada kondisi decline, di mana sejumlah pilarnya tidak dapat menjawab dan memberikan solusi atas dinamika publiknya. Peralihan kekuasaan tidak boleh menyebabkan kelumpuhan tersebut, tapi harus lebih sigap memenuhi harapan rakyatnya. Bila ternyata semakin melemah, ujungnya suatu organisasi tersebut akan mati.
Kondisi pemerintah haruslah tetap matang. Keprimaan dalam menyikapi dan memenuhi tuntutan menjadi penting sehingga kepercayaan publik semakin menguat. Tidak heran bila konsultasi publik perlu tetap dijaga dengan beragam moda. Untuk itu, pemilihan pemimpin pusat ataupun daerah perlu disikapi dari aspek kapasitas dirinya agar dapat membawa ke arah yang lebih maju. Kapasitas tersebut perlu digunakan untuk menerjemahkan konsultasi tersebut agar lebih banyak yang dapat dimajukan. Tidak berlebihan bila kemauan untuk memasang telinga ketimbang mulutnya. Tatkala pejabatnya resisten terhadap setiap keluhan, peluang untuk keluar semakin besar seperti dituliskan Hirschman (1970). Lahirnya apatisme menunjukkan adanya ketidakpedulian publik terhadap upaya yang dilakukan pemerintah.
Kepercayaan
Kemajuan teknologi juga agaknya patut mempercepat sejumlah aktivitas pelayanan publik. Kendati demikian, teknologi tersebut mesti dalam pengendalian agar tidak merusak tatanan kehidupan. Bisa jadi pemerintah sebagai regulator mengatur agar kepatuhan orang semakin tinggi. Lahirnya UU 11/08 tentang ITE agaknya menjadi alat kendali dan legalitas pemerintah untuk mengatur lalu lintas kegiatan yang berbasiskan teknologi. Untuk itu, tidak boleh berkembang penipuan yang berbasiskan teknologi tersebut dengan mempermudah dan mempercepat tindak lanjut atas sejumlah penipuan yang berujung transfer dana melalui ATM. Demikian halnya dengan kasus Saracen juga First Travel tidak boleh terus berkembang karena akan merusak citra pemerintah yang dianggapnya lamban merespons dinamika yang ada.
Agaknya, tindakan pemerintah mesti terbagi menjadi tiga. Pertama mempercepat pelayanan publik yang telah baku, termasuk e-KTP atau e-government sehingga tidak lagi birokratis. Demikian halnya dengan perĀizinan yang tidak membawa dampak besar dan bersifat rutin bisa dilakukan secara online. Kedua, mencermati sejumlah usulĀan pihak lain dalam aktivitas yang berdampak buruk. Bisa jadi perizinan industri atau perumahan perlu dicermati kendati sudah mengantongi Amdal. Untuk itu, perlu kajian mendalam agar dampak buruknya tidak mengganggu kehidupan anak cucu kelak. Untuk itu, perlu penggandengan pihak yang paham mengenai hal tersebut. Akademisi dengan ilmu terkait menjadi penting dirangkul agar saran dan pertimbangannya dapat dijadikan rujukan untuk memberikan perizinan.
Ketiga, pemerintah patut menggabungkan pelayanan yang berbasis teknologi dengan yang manual. Adanya perseteruan angkutan online dengan reguler memerlukan penanganan yang berbasiskan kearifan untuk menyadarkan sejumlah pihak. Pelibatan pemuka agama dan masyarakat menjadi penting agar kehidupan harmonis dapat dibangun. Pemetaan untuk solusinya dilibatkan juga kaum pemikir dan praktisi yang memahami lapangan. Pelibatan tersebut juga dapat mengontrol penggunaan sejumlah rumah yang berpindah menjadi aktivitas dijadikan industri atau aktivitas ilegal lain. Kecepatan tindakan pemerintah akan melahirkan kepercayaan publik sekaligus membuatnya segan untuk menyalahi aturan.
Perbedaan prilaku serta aksesibilitas terhadap teknologi menunjukkan disparitas dalam kehidupan di negeri ini. Kondisi pula menjadi alasan jika birokrasi yang adaptif bukan yang serba digital dengan mengeliminasi manusianya. Karena itu, menguatkan kompetensi teknis yang mampu mengelola teknologi untuk memberikan pelayanan optimal patut terus dipacu. Hanya saja kompetensi tersebut bisa disalahgunakan jika tidak diimbangi kompetensi etika. Karena itu, Bowman (2010) menempatkannya sebagai hal penting sebagai basis untuk melandasi kompetensi teknis tersebut.
Demikian halnya dengan kompetensi leadership yang bisa menentukan kepatuhan publik atas apa yang dititahkannya. Tidak berlebihan bila pemanfaatan teknologi semakin tinggi, tapi sisi humanis birokrasi pun patut ditingkatkan agar publik mendapat kenyamanan dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Bila tidak, birokrasi hanya akan menjadi alat teknologi yang bersifat digitalis, tidak humanis. Untuk itu, menempatkan birokrasi sebagai pengendali teknologi menjadi penting agar kehadirannya bermanfaat bagi semua serta dapat mempermudah aktivitas keseharian tanpa merusak tatanan yang ada. Semoga.
(wib)