Tantangan Jaminan Produk Halal
A
A
A
H Ikhsan Abdullah SH MH
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
TULISAN ini dibuat dalam rangka untuk memperingat tiga tahun lahirnya Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Tanggal 17 Oktober 2014 merupakan hari pertama kali diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yakni Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Tepat tiga tahun sudah usia UU JPH diundangkan, tetapi belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat.
Hal ini sangat berkaitan dengan belum juga diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang meskipun Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu.
Karena itu, BPJPH menghadapi tantangan yang berat dalam menjalankan tugas sebagaimana layaknya sebuah lembaga baru yang memerlukan waktu untuk menata organisasi dan konsolidasi.
Ada beberapa hal yang perlu segera mendapatkan perhatian khusus oleh BPJPH yang dinakhodai oleh Dr Sukoso.
Tantangan pertama adalah belum terbitnya PP tentang pelaksanaan dari UU JPH dimaksud sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Seharusnya dua tahun sejak diundangkan maka PP harus segera diterbitkan sebagai landasan operasional. Keterlambatan penerbitan PP menyebabkan BPJPH tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BPJPH tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sistem, menentukan besaran tarif sertifikat halal dan hubungan kerja sama dengan lembaga terkait, yang diberikan mandat kewenangan sesuai undang-undang, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tantangan kedua adalah bagaimana BPJPH dapat membangun hubungan yang harmonis dengan MUI yang berkaitan dengan kewenangan untuk melakukan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan sertifikasi auditor. Kewenangan BPJPH di dalam undang-undang hanya mengatur mengenai penerbitan sertifikat halal, sedangkan pemeriksaan terhadap produk halal dilakukan LPH sesuai ketentuan Pasal 12 UU JPH.
Demikian pula mengenai auditor halal. Saat ini satu-satunya yang memiliki lembaga auditor halal hanyalah LPPOM MUI yang jumlahnya mencapai 750 orang. Selanjutnya, BPJPH dituntut untuk mampu membentuk lembaga pemeriksa halal, yang selanjutnya dilakukan akreditasi bersama dengan MUI.
Tantangan ketiga adalah bagaimana BPJPH dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat membentuk perwakilannya di tingkat provinsi. Indonesia terdiri atas 34 provinsi dengan demografi yang sangat luas dan besar, maka tidak mungkin BPJPH hanya berada di Jakarta dalam sistem sentralisasi, karena itu akan memberatkan pelaku usaha di daerah yang akan mengajukan sertifikasi halal. Ambil saja sebagai perbandingan adalah LPPOM MUI.
Pada saat masa sertifikasi halal masih bersifat voluntary saja, LPPOM MUI memiliki cabang di 34 cabang yang tersebar di seluruh wilayah provinsi. Apabila nanti telah menjadi kewajiban (mandatori sertifikasi halal) sesuai dengan UU JPH, seluruh produk yang beredar di masyarakat wajib bersertifikat halal, dan ini diperlukan penanganan yang masif dengan organisasi yang besar tersebar dan personal BPJPH yang terlatih dan profesional dalam penanganan sertifikasi halal.
Tantangan berikutnya yaitu bagaimana menentukan tarif sertifikat halal, karena untuk menentukan kehalalan produk melibatkan dua lembaga sekaligus, yaitu BPJPH dan MUI, sebagaimana amanat undang-undang yaitu Pasal 7 UU JPH. Oleh karena itu, Indonesia Halal Watch memiliki usulan agar BPJPH dapat melakukan langkah-langkah konkret dalam penyelenggaraan jaminan produk halal yakni perlunya dibuat road-map agar mendapat dukungan masyarakat dan dunia usaha.
BPJPH harus melakukan edukasi yang intens dan serius bagi pelaku usaha, khususnya bagi UKM. Di samping itu, UKM juga harus memperoleh manfaat dalam memperoleh sertifikat halal sesuai dengan prinsip perlindungan, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam memperoleh sertifikat halal.
Sesuai dengan Pasal 59 dan 60 UU JPH, bahwa sampai dengan terbitnya BPJPH maka sertifikasi halal tetap dijalankan oleh MUI. Namun mengingat BPJPH yang keberadaannya belum siap untuk melakukan sertifikasi, walaupun telah lahir dan diresmikan pada 10 Oktober 2017, sertifikasi halal tetap masih dalam masa transisi.
Pada masa transisi ini, BPJPH harus dapat menjamin ketenangan, kenyamanan, dan kepastian bagi pelaku usaha (produsen) yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal, menjamin pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikasi halal, dan memastikan kemudahan bagi produsen yang akan memperpanjang sertifikasi halalnya berkaitan dengan telah jatuh tempo.
Untuk membantu pelaku usaha memperoleh sertifikasi, juga memudahkan BPJPH dalam melakukan tugas dan fungsinya dengan baik, maka diperlukan segera minimal tujuh PP terkait.
Selain hal tersebut, yang sangat urgen sifatnya adalah membangun kerja sama yang harmonis antara BPJPH dan MUI sebagai lembaga yang menerbitkan fatwa halal dalam sertifikasi halal. Di sinilah pilar MUI sangat penting dalam penyelenggaraan sistem jaminan produk halal.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
TULISAN ini dibuat dalam rangka untuk memperingat tiga tahun lahirnya Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Tanggal 17 Oktober 2014 merupakan hari pertama kali diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yakni Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Tepat tiga tahun sudah usia UU JPH diundangkan, tetapi belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat.
Hal ini sangat berkaitan dengan belum juga diterbitkannya peraturan pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang meskipun Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu.
Karena itu, BPJPH menghadapi tantangan yang berat dalam menjalankan tugas sebagaimana layaknya sebuah lembaga baru yang memerlukan waktu untuk menata organisasi dan konsolidasi.
Ada beberapa hal yang perlu segera mendapatkan perhatian khusus oleh BPJPH yang dinakhodai oleh Dr Sukoso.
Tantangan pertama adalah belum terbitnya PP tentang pelaksanaan dari UU JPH dimaksud sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Seharusnya dua tahun sejak diundangkan maka PP harus segera diterbitkan sebagai landasan operasional. Keterlambatan penerbitan PP menyebabkan BPJPH tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BPJPH tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sistem, menentukan besaran tarif sertifikat halal dan hubungan kerja sama dengan lembaga terkait, yang diberikan mandat kewenangan sesuai undang-undang, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tantangan kedua adalah bagaimana BPJPH dapat membangun hubungan yang harmonis dengan MUI yang berkaitan dengan kewenangan untuk melakukan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan sertifikasi auditor. Kewenangan BPJPH di dalam undang-undang hanya mengatur mengenai penerbitan sertifikat halal, sedangkan pemeriksaan terhadap produk halal dilakukan LPH sesuai ketentuan Pasal 12 UU JPH.
Demikian pula mengenai auditor halal. Saat ini satu-satunya yang memiliki lembaga auditor halal hanyalah LPPOM MUI yang jumlahnya mencapai 750 orang. Selanjutnya, BPJPH dituntut untuk mampu membentuk lembaga pemeriksa halal, yang selanjutnya dilakukan akreditasi bersama dengan MUI.
Tantangan ketiga adalah bagaimana BPJPH dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat membentuk perwakilannya di tingkat provinsi. Indonesia terdiri atas 34 provinsi dengan demografi yang sangat luas dan besar, maka tidak mungkin BPJPH hanya berada di Jakarta dalam sistem sentralisasi, karena itu akan memberatkan pelaku usaha di daerah yang akan mengajukan sertifikasi halal. Ambil saja sebagai perbandingan adalah LPPOM MUI.
Pada saat masa sertifikasi halal masih bersifat voluntary saja, LPPOM MUI memiliki cabang di 34 cabang yang tersebar di seluruh wilayah provinsi. Apabila nanti telah menjadi kewajiban (mandatori sertifikasi halal) sesuai dengan UU JPH, seluruh produk yang beredar di masyarakat wajib bersertifikat halal, dan ini diperlukan penanganan yang masif dengan organisasi yang besar tersebar dan personal BPJPH yang terlatih dan profesional dalam penanganan sertifikasi halal.
Tantangan berikutnya yaitu bagaimana menentukan tarif sertifikat halal, karena untuk menentukan kehalalan produk melibatkan dua lembaga sekaligus, yaitu BPJPH dan MUI, sebagaimana amanat undang-undang yaitu Pasal 7 UU JPH. Oleh karena itu, Indonesia Halal Watch memiliki usulan agar BPJPH dapat melakukan langkah-langkah konkret dalam penyelenggaraan jaminan produk halal yakni perlunya dibuat road-map agar mendapat dukungan masyarakat dan dunia usaha.
BPJPH harus melakukan edukasi yang intens dan serius bagi pelaku usaha, khususnya bagi UKM. Di samping itu, UKM juga harus memperoleh manfaat dalam memperoleh sertifikat halal sesuai dengan prinsip perlindungan, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam memperoleh sertifikat halal.
Sesuai dengan Pasal 59 dan 60 UU JPH, bahwa sampai dengan terbitnya BPJPH maka sertifikasi halal tetap dijalankan oleh MUI. Namun mengingat BPJPH yang keberadaannya belum siap untuk melakukan sertifikasi, walaupun telah lahir dan diresmikan pada 10 Oktober 2017, sertifikasi halal tetap masih dalam masa transisi.
Pada masa transisi ini, BPJPH harus dapat menjamin ketenangan, kenyamanan, dan kepastian bagi pelaku usaha (produsen) yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal, menjamin pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikasi halal, dan memastikan kemudahan bagi produsen yang akan memperpanjang sertifikasi halalnya berkaitan dengan telah jatuh tempo.
Untuk membantu pelaku usaha memperoleh sertifikasi, juga memudahkan BPJPH dalam melakukan tugas dan fungsinya dengan baik, maka diperlukan segera minimal tujuh PP terkait.
Selain hal tersebut, yang sangat urgen sifatnya adalah membangun kerja sama yang harmonis antara BPJPH dan MUI sebagai lembaga yang menerbitkan fatwa halal dalam sertifikasi halal. Di sinilah pilar MUI sangat penting dalam penyelenggaraan sistem jaminan produk halal.
(mhd)