Pidato Pribumi Anies

Sabtu, 21 Oktober 2017 - 08:07 WIB
Pidato Pribumi Anies
Pidato Pribumi Anies
A A A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)

Dalam kontroversi tentang isu pribumi, mungkin, secara yuridis Anies Baswedam tidak salah. Tetapi, mungkin pula, secara politik tidak bijaksana.

PIDATO Anies Baswedan di Balai Kota beberapa jam setelah, bersama Sandiaga Uno, dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Senin (16/10/2017) yang lalu memancing kontroversi. Pernyataan Anies bahwa ”pribumi” harus merdeka dari penjajahan sesuai dengan janji kemerdekaan negara telah mengusik perhatian publik. Bahkan ada yang melaporkan Anies ke Bareskrim Polri sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Atas serbuan banyaknya pertanyaan, Jumat (20/10/2017) kemarin siang, melalui Twitter, saya bercuit seperti yang saya kutip di atas. Intinya, mungkin Anies tidak salah secara hukum. Tetapi, mungkin saja salah secara politik. Bagaimana penjelasannya?

Sebenarnya istilah pribumi itu masih ada dan tidak dilarang di dalam tata hukum kita sebagai warisan hukum yang terus diberlakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya, tahun 1848 pemerintah penjajahan Belanda mengeluarkan politik hukum tentang keberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia sebelum merdeka) yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS).

IS adalah peraturan perundang-undangan ketatanegaraan untuk Hindia Belanda yang kala itu menjadi sebutan resmi bagi Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda. Pasal 163 IS itu membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing, dan pribumi atau bumiputra (terjemahan dari istilah inlander).

Bagi tiga golongan tersebut diberlakukan jenis hukum yang berbeda. Untuk golongan Eropa berlaku hukum perdata Barat yang dikodifikasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), untuk dua golongan yang lain berlaku hukum adat masing-masing, termasuk hukum Islam bagi penduduk yang beragama Islam. Warga satu golongan penduduk boleh menyatakan menundukkan diri kepada hukum golongan penduduk lainnya.

Penggolongan penduduk ke dalam tiga kasta tersebut bisa dilihat jelek atau baik, tergantung dari sudut mana memandangnya. Ada yang mengatakan bahwa pengastaan tersebut buruk karena merefleksikan penghinaan terhadap golongan pribumi atau inlander yang dianggap bodoh dan terbelakang. Tetapi, ada yang menganggap pengastaan itu justru bagus karena berarti pemerintahan Belanda kala itu menghargai hukum yang hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat pribumi.

Waktu itu pemerintah Belanda tidak pernah bisa berhasil memaksakan berlakunya hukum perdata Barat terhadap pribumi karena pribumi mempunyai hukum sendiri yang ditaati dengan keanekaragamannya. Itulah sebabnya pemerintah Belanda menetapkan politik hukum yang dituangkan di dalam Pasal 163 IS agar masyarakat Indonesia bisa tunduk dan memberlakukan hukumnya sendiri.

Tak perlulah kita mencari kesimpulan sekarang, apakah Pasal 163 IS itu jelek atau buruk, sebab yang kita bicarakan saat ini adalah faktanya. Faktanya, sampai sekarang Pasal 163 IS itu masih berlaku, diberlakukan berdasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dan belum pernah dicabut baik norma maupun pelembagaannya.

Sekarang kita mempunyai peradilan agama atau memberlakukan hukum adat di kalangan masyarakat yang justru dilembagakan dari hukum “inlander” yang khusus berlaku bagi kelompok pribumi. Jadi tidak ada masalah hukum untuk menyebut kata pribumi selama itu dimaksudkan untuk penduduk Indonesia yang sudah merdeka.

Adapun jika pernyataan Anies itu dikaitkan dengan pelanggaran atas UU Nomor 40/2008 juga tidak mudah untuk ditemukan tindak pidananya. Anies dilaporkan, misalnya, melanggar Pasal 4 huruf b angka 2, yakni “Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan … berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.” Ancaman atas pelanggaran ketentuan Pasal 4 huruf b angka 2 ini, menurut Pasal 16, adalah dipidana selama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.

Secara hukum akan sulit menemukan tindak pidana Anies dari pidatonya itu karena Anies hanya menyebut “pribumi” dan tidak ada ungkapan kebencian terhadap ras dan etnis tertentu. Menurut Pasal 1 butir 2 UU Nomor 40/2008, ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan, sedangkan etnis (menurut Pasal 1 butir 3) adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

Kata pribumi yang dipergunakan oleh Anies, rasanya tidak ada yang terkait, apalagi tertuju kepada ras dan etnis tertentu sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 butir 2 dan butir 3 UU Nomor 40/2008 tersebut. Bagian mana dari “pidato pribumi” itu yang tertuju pada ras atau etnis tertentu?

Begitupun, walaupun secara yuridis mungkin benar seperti itu, tetapi secara politik isi pidato Anies itu tidak bijaksana karena dua alasan. Pertama, seharusnya Anies sadar bahwa pidatonya itu oleh sekelompok orang akan ditanggapi sebagai sikap menyudutkan kelompok ras dan etnis tertentu karena term-term kampanye saat menjelang Pilgub DKI 2017 sudah menyentuh isu ras dan etnis dalam apa yang disebut isu SARA.

Kedua, sejak era reformasi kita telah berusaha untuk menghilangkan sebutan pribumi dan nonpribumi karena, meskipun secara hukum perdata tidak dihapuskan, sebutan tersebut secara politik terasa rasis dan diskriminatif.

Pada era Presiden BJ Habibie dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26/1998 yang melarang penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam kegiatan pemerintahan. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang berisi pencabutan atas Keppres Nomor 14/1967 karena Keppres Nomor 14/1967 tersebut melarang pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China.

Adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selain mengeluarkan UU Nomor 40/2008, juga mengeluarkan Keppres Nomor 12/2014 yang mengubah sebutan China menjadi Tionghoa.

Namun, meskipun tidak secara langsung menembak ras dan etnis tertentu, “pidato pribumi” Anies itu secara fatsun politik terasa menabrak inpres dan keppres-keppres tersebut. Pelanggaran atas inpres atau keppres memang tidak serta-merta menjadi pelanggaran pidana, tetapi bisa terasa menjadi pelanggaran fatsun politik. Seharusnya, langkah pertama Anies sebagai gubernur bukan memberi kesan melanjutkan serangan, tetapi memulai dengan rangkulan mesra kepada semua warga Jakarta.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1103 seconds (0.1#10.140)