Anak Bekerja Pasti Eksploitasi?

Selasa, 17 Oktober 2017 - 08:30 WIB
Anak Bekerja Pasti Eksploitasi?
Anak Bekerja Pasti Eksploitasi?
A A A
Seto Mulyadi
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

SELAMA melakukan penelitian tentang masyarakat Badui, beberapa kali saya temukan anak-anak Badui -baik sendirian maupun mengikuti orang tua mereka- menjajakan madu hutan di sejumlah pusat keramaian di Jakarta dan sekitarnya. Roman muka mereka mengingatkan saya semasa bekerja serabutan sebagai loper koran, kuli pikul, dan pembantu rumah tangga. Saya juga terkenang kepada seorang penjual cobek -sebut saja Saprudin- yang beberapa waktu silam didakwa mengeksploitasi secara ekonomi kedua kemenakannya. Balada Saprudin memunculkan pertanyaan: apakah mempekerjakan anak mutlak dilarang?

UNICEF membedakan antara pekerja anak dan buruh anak. Pekerja anak, asalkan pekerjaannya ringan serta tidak mengganggu pendidikan anak dan tidak berbahaya bagi kesehatan anak, bisa dibenarkan. Buruh anak, yang berbeda dengan pekerja anak, adalah terlarang. Perburuhan anak bahkan ada yang dalam berbentuk ekstrem, misalnya anak yang dipekerjakan sebagai pelacur, anak bekerja di kawasan terpencil, anak bersentuhan dengan zat-zat kimia berbahaya, dan anak yang mengoperasikan peralatan mesin berbahaya. Belakangan ini juga ada kekhawatiran ekstra tentang modus baru perburuhan anak dalam bentuk ekstrem, yaitu anak-anak yang mulai dimanfaatkan sebagai kurir narkoba.

International Labor Organization memberikan kriteria yang menjadi patokan tentang anak-anak yang bekerja (pekerja anak, bukan buruh anak). Pertama, anak baru boleh bekerja asalkan telah melewati batas minimal usia wajib pendidikan dasar. Berarti bekerja hanya boleh dilakukan oleh anak yang telah menginjak usia sekitar 12 atau 13 tahun. Kedua, pekerjaan harus ringan dan tidak mengorbankan hak-hak dasar anak. Ketiga, pekerjaan berbahaya mutlak tidak boleh dilakukan anak, terlepas dari berapa pun usianya.

Mengacu pada nilai dan kebiasaan di banyak daerah di Tanah Air, anak bekerja malah tak jarang dianggap sebagai bentuk pendidikan karakter dan pematangan kepribadian anak. Mengizinkan atau bahkan mendorong anak untuk bekerja juga acap dijadikan solusi, yakni ketika orang tua si anak menderita sakit keras ataupun ketika penghasilan orang tua tetap tak mencukupi betapa pun ia telah banting tulang tak kenal waktu. Tentu, betapapun kebiasaan mempekerjakan anak sedemikian rupa masih banyak berlangsung di Tanah Air, tetap perlu dipastikan bahwa itu dilakukan tanpa mengabaikan hak anak, apalagi mengeksploitasi anak.

Eksploitasi anak, tanpa disadari, boleh jadi telah mewujud sebagai praktik lazim. Silakan periksa rumah-rumah yang mempekerjakan asisten domestik (pekerja rumah tangga). Hampir bisa dipastikan di dalam rumah-rumah itu ada pembantu rumah tangga yang masih berusia anak-anak yang dipekerjakan sedemikian rupa sehingga mereka tidak bersekolah, tidak cukup istirahat, tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka, serta mengalami perlakuan salah lainnya. Berdasarkan kenyataan itu, sahlah untuk mengatakan bahwa eksploitasi anak di Tanah Air sesungguhnya berada di lingkungan terdekat masyarakat sendiri.

Pidana?
Rapat Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung suatu ketika menyoroti langkah hukum yang telanjur diambil terhadap orang-orang semacam Saprudin yang dianggap telah mengeksploitasi anak. Kritik Komisi III tersebut selaras dengan peringatan sekian banyak pihak bahwa pendekatan pidana bukan langkah yang pasti jitu untuk mengatasi problem perburuhan anak.

Kajian Royal Economic Society yang digawangi Profesor Sylvain Dessy dan Profesor Stephane Pallage bahkan memperoleh temuan mengejutkan. Manakala semua kampanye melawan eksploitasi mengusung tema penghapusan perburuhan anak secara total, pasar bagi perburuhan anak dalam bentuk yang paling buruk justru membantu terjaganya besaran upah bagi anak-anak yang bekerja sebagai buruh dalam bentuk yang 'lebih baik'. Dan manakala besaran upah terjaga dalam jumlah yang memadai, manfaatnya kembali ke keluarga miskin anak-anak tersebut, yaitu, teratasinya kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak.

Kedua peneliti tersebut menambahkan, mendorong anak-anak untuk sepenuhnya meninggalkan bidang perburuhan ekstrem malah mengakibatkan turunnya besaran upah pada seluruh bentuk perburuhan anak tanpa kecuali. Dengan kata lain, menghentikan segala bentuk perburuhan yang terburuk pada gilirannya akan berkonsekuensi negatif terhadap para keluarga anak-anak tersebut. Sepintas lalu riset di atas ingin mengatakan bahwa keberadaan bidang perburuhan anak dalam bentuk ekstrem perlu terus dipertahankan, yakni agar stabilitas besaran upah di bidang-bidang perburuhan lainnya bisa tetap terjaga.

Tentu tidak demikian. Temuan Dessy dan Pallage tidak sepatutnya dijadikan sebagai rekomendasi untuk melestarikan perburuhan anak. Bahkan kedua peneliti itu mengajak semua pihak untuk berpikir secara lebih luas daripada sekadar -misalnya- mengedepankan proses hukum sebagai langkah penindakan untuk menghentikan secara total praktik perburuhan anak. Yang harus diatasi adalah masalah kemiskinan. Itu lebih manjur ketimbang menindak secara pidana para pelaku perburuhan anak.

Kembali ke kasus Saprudin, satu persoalan yang juga menggantung adalah kedua kemenakan Saprudin tidak bersekolah. Mereka, kata Saprudin, tidak mau lagi bersekolah karena tidak lagi tertarik untuk menjalani rutinitas ke sekolah. Ini pemandangan tipikal di Tanah Air. Di mata anak-anak seperti kemenakan Saprudin, sekolah tidak menarik. Ini merupakan masalah tersendiri bagi negara, yakni membenahi dunia pendidikan sekaligus memunculkan insentif tambahan agar anak dan orang tua mereka tetap bergairah menekuni bangku sekolah.

Keengganan kemenakan Saprudin bersekolah, lalu mereka memilih menjadi penjaja cobek, merupakan potret di mana anak-anak sendiri yang ternyata secara aktif melibatkan diri mereka sendiri dalam situasi bekerja. Bagi mereka, menjalani aktivitas yang menghasilkan uang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga merupakan kegiatan mulia. Dengan bekerja, anak-anak merasa telah meringankan bahkan membantu penghidupan keluarga mereka. Anggapan sedemikian rupa tentu menciptakan kondisi yang lebih riskan, yaitu tidak bersekolah menjadi prakondisi umum bagi anak-anak untuk dieksploitasi sebagai korban perdagangan orang.

Dalam situasi paling ideal, anak-anak seharusnya bisa fokus bersekolah tanpa bekerja. Pendidikan memang dipandang sebagai jalan keluar terbaik bagi anak untuk memperbaiki taraf kesejahteraan mereka. Dengan kesejahteraan yang membaik, anak akan mampu keluar dari situasi yang mengharuskan mereka memeras tenaga sebagai pekerja, bahkan buruh anak. Persoalannya, ketika anak-anak terpaksa harus tetap bekerja atau saat anak-anak itu sendiri yang bersikeras untuk bekerja, jalan komprominya adalah pemerintah membuka lapangan kerja yang berlokasi sedekat mungkin dengan tempat tinggal anak-anak itu. Dengan cara itu, realistis untuk berharap bahwa hak-hak dasar anak tetap akan terpenuhi, anak-anak tidak putus sekolah, sekaligus anak-anak tidak harus bermigrasi ke tempat yang jauh. Itu semua pada gilirannya mempersempit risiko anak-anak tersebut menjadi korban perdagangan orang.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5046 seconds (0.1#10.140)