Instruksi Dirjen Pajak

Selasa, 10 Oktober 2017 - 07:15 WIB
Instruksi Dirjen Pajak
Instruksi Dirjen Pajak
A A A
Instruksi direktur jenderal (dirjen) pajak kepada kepala kantor wilayah (kakanwil) direktorat jenderal (ditjen) pajak seluruh Indonesia untuk mengaktifkan layanan komunikasi selama 24 jam termasuk sarana video call memang terdengar sepele. Namun, bila melihat konteks kehadiran instruksi tersebut, tidak bisa dikatakan sepele sebab lahir dari kondisi yang sangat genting. Instruksi yang diberlakukan sejak 5 Oktober itu salah satu langkah mengamankan penerimaan pajak tahun ini. Tanpa bermaksud mendramatisasi keadaan, penerimaan pajak saat ini memang dalam suasana genting.

Tengok saja realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp770,7 triliun hingga 30 September 2017 atau baru sekitar 60% dari target yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Bayangkan, dalam waktu sisa tiga bulan lembaga pemungut pajak yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat karena ulah segelintir petugas pajak yang menyalahgunakan wewenangnya itu harus menutupi kekurangan sebesar Rp513 triliun.

Instruksi Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi seputar pengaktifan layanan komunikasi 24 jam bagi para pimpinan kantor pajak di daerah bukanlah instruksi tunggal. Lembaran instruksi yang telah beredar di publik dengan nomor surat INS-05/PJ/2017 memuat tiga perintah. Pertama, mengaktifkan selama 24 jam perangkat telepon genggam yang dilengkapi fitur panggilan video (video call) seperti face time dan WhatsApp video. Kedua, dalam penggalian potensi penerimaan pajak, pemanggilan wajib pajak yang telah mengikuti program amnesti pajak hanya boleh dilakukan oleh kakanwil ditjen pajak. Ketiga, melaksanakan instruksi dirjen pajak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.

Lalu, bagaimana menyiasati lemahnya realisasi pajak yang selalu sulit mencapai target? Berbagai langkah telah ditempuh dirjen pajak tidak hanya membenahi kinerja internal di lingkungan kantor pajak, tetapi juga memaksimalkan semua sektor yang berpotensi dikenai pajak. Satu di antaranya memburu para pelaku ekonomi digital atau e-commerce. Payung hukum soal pengenaan pajak e-commerce sedang dimatangkan dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) yang segera dirampungkan dalam waktu dekat.

Pengenaan pajak kepada pelaku e-commerce sebagaimana ditegaskan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara bukan sekadar untuk menambal kekurangan realisasi pajak, tetapi juga mengandung unsur keadilan. Artinya, kalau pelaku ekonomi konvensional dikenai pajak, tak ada alasan untuk membiarkan pelaku e-commerce tidak membayar pajak. Apalagi, pemerintah yang mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 5,2% sudah menghitung aktivitas e-commerce.

Secara teknis pihak lembaga penarik pajak akan memantau setiap transaksi online melalui jasa kurir yang ada untuk mendapatkan data yang sebenarnya. Nanti pengenaan pajak akan dibebankan pada pelaku e-commerce, bukan kepada pembeli. Ditjen pajak menilai bahwa transaksi online bukanlah objek pajak baru, melainkan objek pajak lama yang belum tersentuh pajak karena bersifat online.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa e-commerce terus bertumbuh dan menjadi bisnis fenomenal, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Pemerintah dalam hal ini ditjen pajak harus membuat regulasi yang tepat berkaitan pengenaan pajak. Dibutuhkan identifikasi dan klasifikasi bisnis yang jelas sehingga tetap bersahabat dengan para pelaku e-commerce. Kita berharap kebijakan pajak yang sedang dirumuskan jangan sampai mengerdilkan pertumbuhan e-commerce yang padat modal ini.

Gayung bersambut, pelaku e-commerce tak keberatan dikenakan pajak sebagaimana ditegaskan Ketua Umum Indonesia E-Commerce Association Aulia Ersyah Marinto dengan catatan aturan pajak yang bakal menyasar e-commerce untuk kategori market place juga berlaku untuk pebisnis di media sosial. Bila kebijakan pajak hanya diberlakukan pada market place, muncul sebuah kekhawatiran para pebisnis lewat online akan berpindah ke media sosial yang saat ini juga menjadi tempat belanja favorit. Jadi, memang dibutuhkan regulasi yang tepat sebab pengenaan pajak adalah sesuatu yang sangat sensitif dalam setiap bisnis.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1135 seconds (0.1#10.140)