Gunung Agung dan Travel Warning

Selasa, 03 Oktober 2017 - 08:37 WIB
Gunung Agung dan Travel...
Gunung Agung dan Travel Warning
A A A
Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Status Gunung Agung kini Level IV atau Awas yang berarti ada di level tertinggi dan siap meletus. Oleh karena itu, beralasan jika sejumlah negara mengeluarkan travel warning atau larangan berkunjung.

Paling tidak ini adalah tindak lanjut keluarnya travel advices sejumlah negara, yaitu Singapura, Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan Selandia Baru. Bahkan, mereka mengimbau warganya yang sudah telanjur berlibur ke Bali untuk terus memantau perkembangan Gunung Agung melalui media lokal.

Asumsi yang mendasari, yaitu ancaman setiap saat dari letusan Gunung Agung, meski di sisi lain, pihak setempat juga telah melakukan berbagai langkah antisipasi meminimalisasi risiko kerugian material dan jiwa. Terkait ini, data tentang jumlah pengungsi juga beragam karena ada yang menyebut 96.086 orang dan versi BNPB menyebut telah tembus 134 ribu orang.

Kekhawatiran terhadap dampak ancaman meletusnya Gunung Agung tidak terlepas dari keluarnya pemberitahuan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG), yaitu perubahan status dari Level III (siaga) ke Level IV (Awas).

Perubahan status ini tidak bisa terlepas dari konsekuensi terkait ancaman radius 9-12 km, terutama untuk arah utara, tenggara, barat daya, dan selatan. Oleh karena itu, wisatawan dan tentu warga lokal perlu kesigapan mengantisipasi semua kemungkinan yang terjadi.

Paling tidak, realita ini untuk mencegah dampak seperti yang terjadi dari letusan Gunung Merapi, Krakatau, dan Galunggung. Artinya, antisipasi sedari dini dapat mereduksi kemungkinan terburuk, terutama bagi para pengungsi.

Potensi Wisata

Bencana memang menjadi kendala dari daya tarik wisata meski di sisi lain, pascabencana justru juga bisa menjadi daya tarik wisata yang unik.

T ravel warning dari kasus Gunung Agung menarik dicermati, yaitu tidak saja terkait dengan ancaman korban, tapi juga implikasinya terhadap devisa dari sektor kepariwisataan.

Beralasan jika Australia kini mengeluarkan travel warning karena saat ini Indonesia merupakan salah satu negara tujuan wisata yang utama dengan daerah terfavorit adalah Bali. Pada tahun 2016 jumlah kunjungan wisatawan dari Australia mencapai 1,2 juta orang.

Hal menarik dicermati bahwa Bali masih menjadi daerah tujuan wisata utama dari luar negeri dan tahun 2017 target kunjungan wisman mencapai 5,5 juta.

Argumen mendasar dari target ini adalah jumlah kunjungan wisman tahun 2016 mencapai 4,92 juta atau naik 23,14 persen dari tahun 2015 mencapai 4,001 juta wisman.

Jumlah ini di atas target, yaitu 4,2 juta wisman. Kalkulasi jumlah itu bahwa wisman yang langsung ke Bandara Ngurah Rai sebanyak 4,85 juta dan sisanya 75.303 lewat pelabuhan laut.

Dari kalkulasi ini, maka bisa dihitung belanja wisatawan dan perputaran uang di Bali. Selain itu, implikasi terhadap sektor riil dan juga geliat UMKM di Bali tentu tidak bisa diabaikan karena mata rantai dari kepariwisataan cenderung sistematis dan kompleks.

Oleh karena itu, kasus Gunung Agung bisa menjadi warning terhadap promosi kepariwisataan di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Terlepas dari ancaman Gunung Agung dan travel warning, yang pasti jumlah kunjungan wisman pada periode Januari-Juli 2017 di Bali mencapai 3,4 juta orang atau naik 23,5 persen, yaitu 647.496 wisman dari periode sama tahun 2016.

Fenomena ini terkait dengan jaminan iklim sospol dan semakin kuatnya daya tarik Bali sebagai daerah tujuan wisata, terutama berbasis wisata budaya-alam.

Dari jumlah itu yang langsung ke Bandara Ngurah Rai sebanyak 591.812 wisman dan sisanya melalui pelabuhan 234 orang. Dari data tersebut menunjukkan geliat ekonomi dari pariwisata di Bali sangat menjanjikan, paling tidak hal ini terlihat dari tingkat hunian hotel dan belanja wisatawan, baik domestik atau asing.

Artinya, perputaran uang dari kepariwisataan Bali tidak bisa diabaikan. Karenanya, ini menjadi salah satu aspek penting dari sukses era otda di Bali yang memungkinkan semua daerah berpotensi menjadi daerah tujuan wisata.

Berkelanjutan

Kalkulasi tentang geliat ekonomi bisnis dari kepariwisataan di Bali bisa terlihat dari data BI yang mencatat rata-rata pengeluaran wisman, yaitu USD125,93 atau sekitar Rp1,76 juta per hari.

Selain itu, rata-rata lama tinggal mencapai 7,66 hari. Padahal periode tahun 2014 rata-rata pengeluarannya mencapai USD190,07 dengan lama tinggal 8,19 hari.

Data ini akan berubah signifikan jika dikaitkan dengan membaiknya kondisi makro ekonomi dan perbaikan taraf hidup global sehingga niat melancong saat ini semakin menjadi tuntutan dan kebutuhan.

Oleh karena itu, beralasan jika pengeluaran wisman di kategori 3 yang utama, yaitu kepentingan akomodasi, makan-minum, dan belanja.

Kalkulasi dari sejumlah negara ternyata wisman dari AS adalah terbesar nominal pengeluarannya, yaitu USD188, lalu Malaysia USD170,9 sedangkan terendah dari Singapura USD90,82.

Dari data ini menunjukkan potensi Bali sebagai daerah tujuan wisata memang harus ditingkatkan daya tariknya sehingga devisa terus mengalir ke Bali dan geliat mata rantai ekonomi bisnis dari kepariwisataan terus berkembang.

Tentu daya tarik ini harus disinergikan dengan potensi daya tarik daerah tujuan wisata lainnya agar ke depan sektor kepariwisataan mampu memberikan kontribusi terbesar bagi pemerintah daerah dan pusat.

Paling tidak era otonomi daerah harus bisa mendukung kepariwisataan, bukan apa yang terjadi saat ini, yaitu era otda dibebani pemekaran yang berujung maraknya korupsi.

Oleh karena itu, pemerintah dan pihak terkait harus mereduksi berbagai kemungkinan terburuk dari status Gunung Agung, tidak saja dari aspek kepariwisataan, tapi juga mata rantai dari sektor pariwisata, termasuk juga upaya untuk mempertahankan citra kepariwisataan Bali.



(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0641 seconds (0.1#10.140)