Elegi di Balik Daya Saing Global
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
SECARA normatif, pola keterbukaan perekonomian dunia seharusnya mengantarkan aktivitas ekonomi suatu negara menjadi lebih efisien. Dalam teori persaingan pasar yang dipromosikan Adam Smith sekitar 2,5 abad yang lalu, konsep kompetisi antarnegara dipercaya akan meningkatkan market efficiency.
Kunci eksistensi suatu negara di kancah perekonomian dunia direfleksikan berdasarkan komponen daya saing globalnya. Nah baru-baru ini World Economic Forum (WEF) sebagai salah satu lembaga internasional yang paling kredibel, kembali dipaparkan perkembangan terbaru komponen daya saing global di 2017.
Swiss kembali menjadi negara dengan tingkat daya saing terbaik di dunia. Urutan kedua ditempati Amerika Serikat (AS) yang kali ini bertukar posisi dengan Singapura. Singapura tahun lalu cukup perkasa di posisi runner-up, tetapi tahun ini mereka terpaksa harus puas di posisi ketiga.
Sementara itu Indonesia berada di peringkat ke-36 dunia. Posisi tahun ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga 5 peringkat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang terdampar di posisi ke-41 dunia.
Atas dasar catatan menggembirakan tersebut, mimik wajah pemerintah dan masyarakat boleh dibilang sedang bungah. Kekuatan utama kita dikatakan bersumber dari kinerja perbaikan infrastruktur dan indikator makroekonomi yang terbilang cukup tangguh.
Negara kita bersama dengan China dan India bahkan disebut WEF sebagai negara berkembang yang hasilnya paling atraktif. Ketiga negara dianggap mampu menjadi pusat inovasi utama bagi negara-negara berkembang lainnya.
Namun jika ingin terus mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju, baik China, India maupun Indonesia harus segera mengatasi gap persaingan, khususnya dalam kaitan dengan kualitas SDM, serta kesiapan sektor swastanya (perusahaan) untuk segera mengadopsi teknologi-teknologi baru.
Pemerintah memandang bahwa kenaikan daya saing merupakan buah dari kerja keras selama satu tahun terakhir melalui berbagai kebijakan strategis. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penegasan bahwa momentum ini akan memperkuat daya tarik investasi di Indonesia.
Daya saing tak ubahnya hanyalah hasil dari proses aktivitas menyeluruh, berujung pada outcome. Langkah berikutnya, pemerintah harus lebih meyakinkan investor bahwa lingkungan ekonomi Indonesia sedang dalam langkah maju.
Oleh karena itu perlu ada tindak lanjut yang tak kalah gemilangnya untuk menyambut kenaikan tingkat daya saing Indonesia di kancah dunia.
Senada dengan pendapat Menkeu, beberapa ekonom menambahkan beberapa catatan penting. Pertama, kenaikan daya saing Indonesia akan direspons positif oleh pasar, khususnya yang terkait dengan daya tarik investasi.
Perilaku pasar cenderung sangat rasional dan jeli dalam memperhitungkan segala kemungkinan dari setiap kebijakan ekonomi. Bisa jadi faktor daya saing saat ini akan menjadi bumbu penyedap. Namun kita jangan terburu-buru terbuai dengan hanya menggunakan satu variabel ini saja.
Kita perlu mengingat bahwa pemerintah sendiri sudah merilis 16 paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar berkutat di lingkungan investasi. Dan hingga pada saat ini pun belum cukup jelas sudah sejauh mana dampak positifnya? Hal-hal seperti itulah yang sepertinya perlu segera dievaluasi secara mendalam.
Kedua, potensi biaya transaksi yang tinggi di Indonesia masih sangat besar. Pemerintah sejauh ini sudah menampakkan komitmen yang kuat untuk kian menekan biaya transaksi, khususnya melalui paket deregulasi investasi dan pembangunan infrastruktur. Meskipun hasil dari keduanya cenderung bisa dibilang masih sangat abu-abu.
Hasil dari paket-paket deregulasi masih dianggap cenderung abu-abu karena belum menjamah hingga proses sinkronisasi aturan-aturan antarkementerian/lembaga pemerintahan.
Kita masih berkutat dengan persoalan klasik terkait dengan tumpang-tindih kebijakan baik di level pemerintah pusat maupun di daerah.
Banyak perda retribusi, pajak, dan tenaga kerja yang masih tidak ramah terhadap investor.
Meskipun dalam publikasi WEF kinerja pembangunan infrastruktur dianggap sebagai salah satu faktor utama kenaikan daya saing, hal itu masih terbatas di tataran outcome.
Sementara itu untuk output-nya belum ada kejelasan. Penulis menilai bahwa hasil sementara dari pembangunan infrastruktur masih belum cukup menjamin nantinya akan mampu meningkatkan efisiensi ekonomi.
Sebagai contoh dalam skup yang ringan-ringan saja, misalnya dampak pembangunan infrastruktur terhadap penyerapan tenaga kerja pada kenyataannya hanya berlangsung dalam level biasa-biasa saja.
Dengan anggaran yang beratus-ratus triliun rupiah dalam era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru turun dari 8,21 juta orang pada 2015 menjadi 7,98 juta orang pada 2016.
Dari data pendukung lainnya yang terkait dengan pertumbuhan sektoral juga demikian. Pertumbuhan subsektor industri logam dasar justru tumbuh negatif 3,06% pada kuartal I-2017 (yoy).
Kondisi ini melanjutkan penurunan yang juga terjadi pada kuartal III dan IV-2016 (yoy). Industri semen juga sedang deg-degan karena konsumsi semen secara nasional selama Januari-Juni 2017 tercatat menurun 1,3%, dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton (yoy).
Kalau sudah demikian bolehkah penulis bertanya, lalu dari mana suplai bahan baku konstruksi yang digunakan untuk membangun infrastruktur? Fenomena ini jelas menandakan terdapat ketidaksinkronan kebijakan.
Apakah fakta ini disebabkan proses konstruksi mulai mengarah kepada gaya padat modal sehingga melemahkan penyerapan tenaga kerja lokal? Dan apakah distribusi bahan baku untuk konstruksi telah terpenuhi oleh produk dari luar negeri?
Kronik Imbuhan
Kembali ke fokus yang terkait daya saing global. Dinamika perekonomian dunia yang terus bergerak liar pada akhirnya memaksa setiap negara yang terlibat di dalamnya untuk memacu kebijakannya agar lebih bersifat dinamis.
Saat ini banyak negara dan perusahaan swasta yang mulai menggunakan konsep volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) sebagai acuan kebijakan ekonominya.
Dalam berbagai literatur, konsep ini menerjemahkan berbagai macam hal yang bisa membantu suatu negara agar selamat dari distorsi pasar. Volatility atau biasanya disebut juga sebagai radical unexpected change didefinisikan sebagai proses perubahan yang sangat cepat.
Uncertainty menjelaskan tentang ketidakpastian yang bisa saja menjerumuskan kita karena kurang cekatan untuk memprediksi segala peristiwa atau isu yang dimungkinkan terjadi. Complexity diartikan adanya gangguan yang akan dihadapi suatu organisasi.
Adapun ambiguity menggambarkan keadaan yang tidak cukup clear antara realitas dengan kondisi idealnya, yang bisa saja disebabkan tidak memiliki batasan yang jelas atau bahkan tidak terlihat.
Indonesia sudah sangat-sangat jelas membutuhkan pandangan yang utuh mengenai kerangka daya saing global. Dan berbagai dinamika yang akhir-akhir ini terjadi baik di lingkup nasional serta daerah menggambarkan bahwa kita masih memiliki celah yang cukup besar untuk mampu menerapkan konsep VUCA.
Beberapa isu di bawah ini penulis cantumkan sebagai bagian dari cerita penuntun. Pertama, volatility yang tengah dihadapi pemerintah saat ini bisa dicontohkan dari dampak pergeseran poros perdagangan dunia, yang pada akhirnya menyeret kita ke dalam pusaran konflik di lingkungan internal.
Topik ini sudah pernah penulis sampaikan dengan lebih mendalam pada artikel yang diterbitkan sepekan yang lalu. Singkat cerita, poros perdagangan dunia yang mulai berubah kiblat dari yang sebelumnya dikuasai Uni Eropa dan AS menuju ke daratan China pada akhirnya ikut menyebabkan pola perdagangan dan sistem kelembagaan di Indonesia perlahan-lahan mulai ikut berubah.
Hubungan China dan Indonesia mulai semakin rekat karena ada kepentingan yang sama untuk menggiatkan aktivitas ekspor impor. Namun proses transformasi dari sisi kelembagaan dan kesiapan mental secara sosial politik tidak banyak dipersiapkan secara matang.
Akibatnya banyak isu yang bergulir secara liar dan turut mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Faktor-faktor seperti ini yang kemudian juga bisa menghambat daya saing Indonesia. Nah pertanyaannya, sanggupkah kita menanggulangi contoh sederhana ini?
Kedua, terkait dengan uncertainty. Penulis menilai saat ini banyak aktivitas pemerintah yang berjalan parsial, kurang substansial, dan memiliki korelasi kebijakan yang sangat kuat. Misalnya kita analogikan berdasarkan efek tingkat daya saing yang sedang meningkat ini terhadap potensi pertumbuhan investasi.
Saat ini kebutuhan pendanaan pembangunan bisa dibilang semakin besar dan memerlukan sumber-sumber di luar APBN, misalnya dari investasi domestik dan/atau asing melalui obligasi atau program kemitraan maupun dari pinjaman. Nah isu uncertainty yang saat ini tengah membelit justru sebagian besar berasal dari kebijakan pemerintah.
Yang paling vulgar ialah yang terkait dengan isu kepastian hukum. Banyak investor yang semula berminat untuk terlibat mulai mundur perlahan-lahan karena aturan yang belum clear atau masih tumpang-tindih.
Bahkan proses tender beberapa proyek banyak yang macet sehingga penyerapan anggaran juga menjadi seret. Menkeu sah-sah saja jika berasumsi bahwa peningkatan daya saing akan menyehatkan iklim investasi. Namun asumsi itu bisa kita anggap sebagai mimpi di siang bolong jika mekanisme kelembagaannya tidak diatur dengan lebih baik.
Dan fakta ini juga didukung oleh WEF yang menyebutkan bahwa persoalan korupsi dan birokrasi yang kompleks telah ikut menghambat akselerasi daya saing nasional kita.
Ketiga, mengenai complexity. Salah satu faktor pendukung daya saing adalah ketersediaan listrik sebagai salah satu sumber energi. Akses dan daya listrik yang baik akan meningkatkan efisiensi industri. Namun isu yang berkembang saat ini semakin membingungkan. Misalnya dengan kemunculan berita pengiriman surat Menkeu ke PLN yang kemudian memunculkan polemik. Karena yang ada justru timbul kegaduhan bukan peningkatan kinerja organisasi.
Dan keempat, terkait dengan ambiguity. Analogi atas ambiguity sebetulnya sudah banyak dibahas melalui penjelasan mengenai dampak pembangunan infrastruktur terhadap kinerja penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan sektoral.
Effort untuk terus meningkatkan daya saing perlu juga diimbangi dengan pertunjukkan yang setimpal dari sisi makro dan mikro ekonomi. Kalau tidak, maka kita perlu bertanya-tanya lagi apa yang diinginkan Pemerintah, misalnya proyek-proyek infrastruktur. Apakah berhenti pada indikator daya saing ataukah menjalar pada perbaikan makro ekonomi? Hasil yang ideal seharusnya mengantar keduanya agar “sejalan”.
Jadi tidak terjadi keambiguan lagi antara peningkatan daya saing dan rentetan dampaknya yang sementara ini banyak diwarnai anomali.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
SECARA normatif, pola keterbukaan perekonomian dunia seharusnya mengantarkan aktivitas ekonomi suatu negara menjadi lebih efisien. Dalam teori persaingan pasar yang dipromosikan Adam Smith sekitar 2,5 abad yang lalu, konsep kompetisi antarnegara dipercaya akan meningkatkan market efficiency.
Kunci eksistensi suatu negara di kancah perekonomian dunia direfleksikan berdasarkan komponen daya saing globalnya. Nah baru-baru ini World Economic Forum (WEF) sebagai salah satu lembaga internasional yang paling kredibel, kembali dipaparkan perkembangan terbaru komponen daya saing global di 2017.
Swiss kembali menjadi negara dengan tingkat daya saing terbaik di dunia. Urutan kedua ditempati Amerika Serikat (AS) yang kali ini bertukar posisi dengan Singapura. Singapura tahun lalu cukup perkasa di posisi runner-up, tetapi tahun ini mereka terpaksa harus puas di posisi ketiga.
Sementara itu Indonesia berada di peringkat ke-36 dunia. Posisi tahun ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga 5 peringkat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang terdampar di posisi ke-41 dunia.
Atas dasar catatan menggembirakan tersebut, mimik wajah pemerintah dan masyarakat boleh dibilang sedang bungah. Kekuatan utama kita dikatakan bersumber dari kinerja perbaikan infrastruktur dan indikator makroekonomi yang terbilang cukup tangguh.
Negara kita bersama dengan China dan India bahkan disebut WEF sebagai negara berkembang yang hasilnya paling atraktif. Ketiga negara dianggap mampu menjadi pusat inovasi utama bagi negara-negara berkembang lainnya.
Namun jika ingin terus mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju, baik China, India maupun Indonesia harus segera mengatasi gap persaingan, khususnya dalam kaitan dengan kualitas SDM, serta kesiapan sektor swastanya (perusahaan) untuk segera mengadopsi teknologi-teknologi baru.
Pemerintah memandang bahwa kenaikan daya saing merupakan buah dari kerja keras selama satu tahun terakhir melalui berbagai kebijakan strategis. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penegasan bahwa momentum ini akan memperkuat daya tarik investasi di Indonesia.
Daya saing tak ubahnya hanyalah hasil dari proses aktivitas menyeluruh, berujung pada outcome. Langkah berikutnya, pemerintah harus lebih meyakinkan investor bahwa lingkungan ekonomi Indonesia sedang dalam langkah maju.
Oleh karena itu perlu ada tindak lanjut yang tak kalah gemilangnya untuk menyambut kenaikan tingkat daya saing Indonesia di kancah dunia.
Senada dengan pendapat Menkeu, beberapa ekonom menambahkan beberapa catatan penting. Pertama, kenaikan daya saing Indonesia akan direspons positif oleh pasar, khususnya yang terkait dengan daya tarik investasi.
Perilaku pasar cenderung sangat rasional dan jeli dalam memperhitungkan segala kemungkinan dari setiap kebijakan ekonomi. Bisa jadi faktor daya saing saat ini akan menjadi bumbu penyedap. Namun kita jangan terburu-buru terbuai dengan hanya menggunakan satu variabel ini saja.
Kita perlu mengingat bahwa pemerintah sendiri sudah merilis 16 paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar berkutat di lingkungan investasi. Dan hingga pada saat ini pun belum cukup jelas sudah sejauh mana dampak positifnya? Hal-hal seperti itulah yang sepertinya perlu segera dievaluasi secara mendalam.
Kedua, potensi biaya transaksi yang tinggi di Indonesia masih sangat besar. Pemerintah sejauh ini sudah menampakkan komitmen yang kuat untuk kian menekan biaya transaksi, khususnya melalui paket deregulasi investasi dan pembangunan infrastruktur. Meskipun hasil dari keduanya cenderung bisa dibilang masih sangat abu-abu.
Hasil dari paket-paket deregulasi masih dianggap cenderung abu-abu karena belum menjamah hingga proses sinkronisasi aturan-aturan antarkementerian/lembaga pemerintahan.
Kita masih berkutat dengan persoalan klasik terkait dengan tumpang-tindih kebijakan baik di level pemerintah pusat maupun di daerah.
Banyak perda retribusi, pajak, dan tenaga kerja yang masih tidak ramah terhadap investor.
Meskipun dalam publikasi WEF kinerja pembangunan infrastruktur dianggap sebagai salah satu faktor utama kenaikan daya saing, hal itu masih terbatas di tataran outcome.
Sementara itu untuk output-nya belum ada kejelasan. Penulis menilai bahwa hasil sementara dari pembangunan infrastruktur masih belum cukup menjamin nantinya akan mampu meningkatkan efisiensi ekonomi.
Sebagai contoh dalam skup yang ringan-ringan saja, misalnya dampak pembangunan infrastruktur terhadap penyerapan tenaga kerja pada kenyataannya hanya berlangsung dalam level biasa-biasa saja.
Dengan anggaran yang beratus-ratus triliun rupiah dalam era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru turun dari 8,21 juta orang pada 2015 menjadi 7,98 juta orang pada 2016.
Dari data pendukung lainnya yang terkait dengan pertumbuhan sektoral juga demikian. Pertumbuhan subsektor industri logam dasar justru tumbuh negatif 3,06% pada kuartal I-2017 (yoy).
Kondisi ini melanjutkan penurunan yang juga terjadi pada kuartal III dan IV-2016 (yoy). Industri semen juga sedang deg-degan karena konsumsi semen secara nasional selama Januari-Juni 2017 tercatat menurun 1,3%, dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton (yoy).
Kalau sudah demikian bolehkah penulis bertanya, lalu dari mana suplai bahan baku konstruksi yang digunakan untuk membangun infrastruktur? Fenomena ini jelas menandakan terdapat ketidaksinkronan kebijakan.
Apakah fakta ini disebabkan proses konstruksi mulai mengarah kepada gaya padat modal sehingga melemahkan penyerapan tenaga kerja lokal? Dan apakah distribusi bahan baku untuk konstruksi telah terpenuhi oleh produk dari luar negeri?
Kronik Imbuhan
Kembali ke fokus yang terkait daya saing global. Dinamika perekonomian dunia yang terus bergerak liar pada akhirnya memaksa setiap negara yang terlibat di dalamnya untuk memacu kebijakannya agar lebih bersifat dinamis.
Saat ini banyak negara dan perusahaan swasta yang mulai menggunakan konsep volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) sebagai acuan kebijakan ekonominya.
Dalam berbagai literatur, konsep ini menerjemahkan berbagai macam hal yang bisa membantu suatu negara agar selamat dari distorsi pasar. Volatility atau biasanya disebut juga sebagai radical unexpected change didefinisikan sebagai proses perubahan yang sangat cepat.
Uncertainty menjelaskan tentang ketidakpastian yang bisa saja menjerumuskan kita karena kurang cekatan untuk memprediksi segala peristiwa atau isu yang dimungkinkan terjadi. Complexity diartikan adanya gangguan yang akan dihadapi suatu organisasi.
Adapun ambiguity menggambarkan keadaan yang tidak cukup clear antara realitas dengan kondisi idealnya, yang bisa saja disebabkan tidak memiliki batasan yang jelas atau bahkan tidak terlihat.
Indonesia sudah sangat-sangat jelas membutuhkan pandangan yang utuh mengenai kerangka daya saing global. Dan berbagai dinamika yang akhir-akhir ini terjadi baik di lingkup nasional serta daerah menggambarkan bahwa kita masih memiliki celah yang cukup besar untuk mampu menerapkan konsep VUCA.
Beberapa isu di bawah ini penulis cantumkan sebagai bagian dari cerita penuntun. Pertama, volatility yang tengah dihadapi pemerintah saat ini bisa dicontohkan dari dampak pergeseran poros perdagangan dunia, yang pada akhirnya menyeret kita ke dalam pusaran konflik di lingkungan internal.
Topik ini sudah pernah penulis sampaikan dengan lebih mendalam pada artikel yang diterbitkan sepekan yang lalu. Singkat cerita, poros perdagangan dunia yang mulai berubah kiblat dari yang sebelumnya dikuasai Uni Eropa dan AS menuju ke daratan China pada akhirnya ikut menyebabkan pola perdagangan dan sistem kelembagaan di Indonesia perlahan-lahan mulai ikut berubah.
Hubungan China dan Indonesia mulai semakin rekat karena ada kepentingan yang sama untuk menggiatkan aktivitas ekspor impor. Namun proses transformasi dari sisi kelembagaan dan kesiapan mental secara sosial politik tidak banyak dipersiapkan secara matang.
Akibatnya banyak isu yang bergulir secara liar dan turut mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Faktor-faktor seperti ini yang kemudian juga bisa menghambat daya saing Indonesia. Nah pertanyaannya, sanggupkah kita menanggulangi contoh sederhana ini?
Kedua, terkait dengan uncertainty. Penulis menilai saat ini banyak aktivitas pemerintah yang berjalan parsial, kurang substansial, dan memiliki korelasi kebijakan yang sangat kuat. Misalnya kita analogikan berdasarkan efek tingkat daya saing yang sedang meningkat ini terhadap potensi pertumbuhan investasi.
Saat ini kebutuhan pendanaan pembangunan bisa dibilang semakin besar dan memerlukan sumber-sumber di luar APBN, misalnya dari investasi domestik dan/atau asing melalui obligasi atau program kemitraan maupun dari pinjaman. Nah isu uncertainty yang saat ini tengah membelit justru sebagian besar berasal dari kebijakan pemerintah.
Yang paling vulgar ialah yang terkait dengan isu kepastian hukum. Banyak investor yang semula berminat untuk terlibat mulai mundur perlahan-lahan karena aturan yang belum clear atau masih tumpang-tindih.
Bahkan proses tender beberapa proyek banyak yang macet sehingga penyerapan anggaran juga menjadi seret. Menkeu sah-sah saja jika berasumsi bahwa peningkatan daya saing akan menyehatkan iklim investasi. Namun asumsi itu bisa kita anggap sebagai mimpi di siang bolong jika mekanisme kelembagaannya tidak diatur dengan lebih baik.
Dan fakta ini juga didukung oleh WEF yang menyebutkan bahwa persoalan korupsi dan birokrasi yang kompleks telah ikut menghambat akselerasi daya saing nasional kita.
Ketiga, mengenai complexity. Salah satu faktor pendukung daya saing adalah ketersediaan listrik sebagai salah satu sumber energi. Akses dan daya listrik yang baik akan meningkatkan efisiensi industri. Namun isu yang berkembang saat ini semakin membingungkan. Misalnya dengan kemunculan berita pengiriman surat Menkeu ke PLN yang kemudian memunculkan polemik. Karena yang ada justru timbul kegaduhan bukan peningkatan kinerja organisasi.
Dan keempat, terkait dengan ambiguity. Analogi atas ambiguity sebetulnya sudah banyak dibahas melalui penjelasan mengenai dampak pembangunan infrastruktur terhadap kinerja penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan sektoral.
Effort untuk terus meningkatkan daya saing perlu juga diimbangi dengan pertunjukkan yang setimpal dari sisi makro dan mikro ekonomi. Kalau tidak, maka kita perlu bertanya-tanya lagi apa yang diinginkan Pemerintah, misalnya proyek-proyek infrastruktur. Apakah berhenti pada indikator daya saing ataukah menjalar pada perbaikan makro ekonomi? Hasil yang ideal seharusnya mengantar keduanya agar “sejalan”.
Jadi tidak terjadi keambiguan lagi antara peningkatan daya saing dan rentetan dampaknya yang sementara ini banyak diwarnai anomali.
(dam)