Pertimbangan Putusan Praperadilan Setnov Dinilai Membingungkan
A
A
A
JAKARTA - Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar dalam memutuskan gugatan praperadilan Ketua DPR Setya Novanto dinilai membingungkan. Adapun pertimbangan yang dimaksud bahwa Hakim Cepi mengatakan bukti yang diajukan tidak boleh bukti yang digunakan dalam kasus lain.
"Memang pertimbangan ini cukup membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa," ujar Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu kepada SINDOnews, Sabtu (30/9/2017).
Dia memberikan contoh dalam konteks aturan penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP, maka satu alat bukti misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana dalam praktik. Apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut.
"Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik," tuturnya.
Erasmus melanjutkan, dalam kasus korupsi yang sifatnya terorganisir, maka terbuka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan. "Menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain," paparnya.
Ditambahkannya, seharusnya Hakim Cepi hanya menilai aspek formil dari alat bukti. "Bukan soal penilaian atas alat bukti itu, hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksaan pokok perkara di ruang sidang," imbuhnya.
"Memang pertimbangan ini cukup membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa," ujar Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu kepada SINDOnews, Sabtu (30/9/2017).
Dia memberikan contoh dalam konteks aturan penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP, maka satu alat bukti misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana dalam praktik. Apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut.
"Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik," tuturnya.
Erasmus melanjutkan, dalam kasus korupsi yang sifatnya terorganisir, maka terbuka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan. "Menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain," paparnya.
Ditambahkannya, seharusnya Hakim Cepi hanya menilai aspek formil dari alat bukti. "Bukan soal penilaian atas alat bukti itu, hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksaan pokok perkara di ruang sidang," imbuhnya.
(kri)