Rohingya, Persekusi, dan Dilema Suu Kyi

Kamis, 28 September 2017 - 08:11 WIB
Rohingya, Persekusi, dan Dilema Suu Kyi
Rohingya, Persekusi, dan Dilema Suu Kyi
A A A
Andi Faisal Bakti
Guru Besar UIn Syarif Hidayatullah Jakarta,
Dosen FIKOM Universitas Pancasila,
dan Pengurus Pusat ICMI

PERSEKUSI terhadap etnis Rohingya di Myanmar hingga kini masih menjadi sorotan dunia. Etnis Rohingya yang telah menetap berabad-abad di negara bagian Rakhine terlunta-lunta nasibnya dan bahkan hidup tanpa kewarganegaraan (stateless) karena pemerintah Myanmar secara terang menolak memberikan kewarganegaraan bagi mereka.

Berdasarkan rilis terbaru dari investigasi Amnesty Internasional pada pertengahan September 2017, adanya pembakaran dan pembunuhan yang menyasar warga Rohingya merupakan langkah untuk mengusir warga minoritas itu keluar dari Myanmar. Pembakaran yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh pihak militer, juga masyarakat non-Rohingya.

Dari serangkaian persekusi yang kian melebar menjadi genosida itu menyebabkan pertambahan pengungsi etnis Rohingya ke berbagai negara di Asia Tenggara yang mencapai 300.000 orang lebih. Jumlah pengungsi yang besar ini menunjukkan bahwa persekusi terhadap etnis Rohingya merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat serius dan masif.

Tiga Sudut Pandang
Banyak analisis parsial yang berkembang mengenai krisis kemanusiaan Rohingya. Namun, penulis mencoba mengelaborasi menjadi tiga hal holistik. Pertama, jika melihat dari sudut pandang pemerintah Myanmar, persekusi terhadap etnis Rohingya adalah absah karena mereka menganggap etnis Rohingya sebagai pendatang ilegal sehingga tidak layak diberikan kewarganegaraan.

Pandangan ini dapat ditelusuri secara historis dari jejak Perang Dunia II ketika Burma (kini Myanmar) menjadi jajahan Inggris. Selama pemerintahan Inggris berkuasa pada 1824-1942, Rakhine diizinkan memiliki tingkat otonomi daerah sendiri. Ketika itu Rakhine relatif aman. Namun, pasca Burma merdeka pada Januari 1948, bibit konflik antara Pemerintah Myanmar dan muslim Rohingya mulai muncul dan kemudian berlanjut dengan gerakan politik dan bersenjata. Sekitar 13.000 orang Rohingya mencari perlindungan di tempat pengungsian India dan Pakistan.

Hal inilah yang menyebabkan mereka ditolak hak warga negaranya untuk kembali ke Burma dan terjadilah persekusi terhadap muslim Rohingya. Tidak hanya itu, muslim Rohingya juga dialienasikan dalam pembangunan bangsa. Bahkan da 1962, Jenderal militer mar Ne Win melenyapkan organisasi politik dan sosial warga Rohingya.

Kedua, sudut pandang lainnya yaitu tragedi kemanusiaan Rohingya yang sekarang kian menjalar, terjadi bukan atas dasar konflik agama antara Islam versus Buddhisme, melainkan lebih terkait pada isu ekonomi dan politik yang melanda wilayah ini selama beberapa dekade. Pemerintah Myanmar dalam hal ini terlihat tebang pilih mendukung kaum fundamentalis setempat dan kelompok mayoritas Rakhine yang beragama Buddha, dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber daya alam. Adapun sentimen agama masuk ke dalam konflik, seperti aksi militansi jihad kaum muslim Rohingya hadir setelah konflik berkepanjangan sehingga ini yang memunculkan kesan bahwa tragedi Rohingya merupakan konflik bernuansa agama.

Ketiga, dalam sudut pandang warga Rohingya, mereka berpendapat bahwa keberadaannya di negara bagian Rakhine di Myanmar adalah legal karena mereka telah tinggal berabad-abad lamanya dan sudah menjadi bagian dari penduduk Myanmar. Secara historis, komunitas muslim Rohingya mulai menetap di wilayah Arakan (kini Rakhine) pada masa Kerajaan Mrauk U yang dipimpin raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun sekitar abad XIV.

Sebelum menjabat sebagai raja, selama 24 tahun Narameikhla diasingkan di kesultanan Bengal. Atas bantuan Sultan Bengal yang bernama Nasirudin, dia mendapatkan kekuasaan di Arakan. Kesultanan Bengal merupakan kerajaan Islam pada abad pertengahan yang didirikan di Bengal pada 1342. Daerah kekuasaan kesultanan ini mencakup wilayah negara Bangladesh saat ini, India bagian timur, dan bagian barat.

Setelah mendapat kekuasaan di Arakan, Narameikhla masuk Islam dan mengganti nama menjadi Suleiman Shah. Dia lantas membawa orang-orang Bengali untuk membantu administrasi pemerintahannya. Lalu terbentuklah komunitas muslim pertama di Arakan kala itu. Pada 1420, Arakan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam merdeka di bawah Raja Suleiman Shah dan bertahan hingga 350 tahun. Pada 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Kemudian pada 1824, Arakan menjadi koloni Inggris dan sejak saat itulah populasi Islam di kawasan Arakan perlahan-lahan menyusut.

Dilema Aung San Suu Kyi
Banyak kalangan, termasuk dunia internasional memprotes sikap dari pemimpin de facto pemerintah Liga Nasional suntuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi yang dianggap tidak responsif terhadap isu krisis kemanusiaan Rohingya ini. Bahkan ada beberapa kalangan yang berusaha membuat petisi untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diterima Suu Kyi.

Lantas mengapa Suu Kyi tetap diam? Untuk diketahui, pembagian kekuasaan yang bersistem hibrida seperti di Myanmar, pihak militer mempunyai kekuasaan yang besar, terlebih parlemen sekitar 25 kursi dikuasai oleh mereka sehingga dalam proses pembuatan keputusan negara pihak militer dapat dengan mudah mengabaikan atau tidak bekerja sama dengan pemerintah sipil pimpinan NLD. Karena itu, peran Suu Kyi dalam konteks isu kemanusiaan Rohingya tidak begitu signifikan sebagai eksekutor penyelesaian damai.

Selain itu, kita ketahui bahwa Aung San Suu Kyi sudah melewati masa sulitnya di penjara, di mana selama puluhan tahun dia terkucilkan di Myanmar. Posisi Suu Kyi kini berbeda dengan dahulu saat menjadi aktivis hak asasi manusia dan gerakan prodemokrasinya. Kini dia lebih memilih untuk mencari aman karena faktor politik yang begitu pelik di Myanmar.

Pada saat yang sama, banyak kalangan kurang memahami ma Suu Kyi ini. Dalam konteks politik, Suu Kyi sepertinya tidak akan mengambil jalan vokal seperti dahulu. Sikap politik yang diambilnya sekarang juga terlihat lebih memperhitungkan sentimen politik mayoritas pe­milih di Myan­mar. Satu bukti nyata terkait kalkulasi ini, yaitu partai NLD yang dikomandoi Suu Kyi tidak melibatkan sama sekali kandidat muslim selama pe­milihan umum 2015.

Oleh karena itu, berbagai protes dan kemarahan yang ditujukan kepada Aung San Suu Kyi dan pemerintah NLD tidak akan membuahkan hasil. Kalangan dunia internasional, termasuk PBB, dunia Barat, dan negara sekawasan seperti Bangladesh, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia, mesti memberikan pressure yang kuat juga pada kepemimpinan militer Myanmar, khususnya panglima tertinggi Jenderal Senior Min Aung Hlaing, untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Dengan begitu, konflik ini akan benar-benar menemukan jalan keluarnya.

Di samping itu, para pemimpin dari kedua masyarakat, baik komunitas Rohingya maupun Rakhine harus bersama-sama mengambil insiatif untuk membangun rasa saling percaya sehingga di antara keduanya dapat hidup saling berdampingan, harmonis, dan damai.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7287 seconds (0.1#10.140)