Ihwal Nama
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SALAH satu peristiwa penting dalam kehidupan rumah tangga adalah memberi nama ketika bayi lahir. Biasanya orang tua telah menyiapkan nama untuknya.
Sangat menarik mengamati berbagai nama di Nusantara yang memiliki ciri dan keragaman sangat banyak.
Ada nama yang mengandung doa, ada yang berkaitan dengan nama tempat kelahiran, ada nama yang diasosiasikan dengan tanggal dan bulan kelahiran, dan ada nama yang merupakan gabungan nama ayah dan ibunya. Ada juga nama yang dikaitkan dengan peristiwa politik serta tokoh kenamaan.
Jika diamati secara sekilas, mayoritas warga Indonesia bagian barat dekat dengan tradisi Islam, sedangkan timur dengan tradisi Kristen, yang keduanya berpengaruh dalam pemilihan nama. Lalu, wilayah Jawa kental dengan pengaruh Hindu-Buddha dan pewayangan.
Tetapi seiring dengan jalannya waktu, pemilihan nama itu juga berkembang. Ambil saja contoh Aceh, Batak, dan Minang, masing-masing memiliki ciri yang mudah dibedakan.
Aceh kental dengan pengaruh Arab Islam, Batak dengan nuansa marganya, dan Minang mengalami transformasi signifikan setelah terjadi pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang diproklamasikan pada 15 Februari 1958 dan berakhir ditumpas pada 1960.
Orang Minang dulunya memberi nama anak-anaknya kental dengan pengaruh Arab Islam, daerah dan suku, tetapi pascaperistiwa PRRI, nama anak-anak Minang lalu berubah dengan nuansa Barat, Persia, dan Jawa.
Tujuannya untuk memutus mata rantai yang menjadi beban sejarah agar tidak menghalangi karier politik, bisnis, dan pergaulan sosial ketika pihak pemerintah menganggap mereka sebagai keluarga pemberontak. Namun, perasaan trauma itu sekarang sudah berlalu.
Beberapa contoh nama orang Minang yang berubah pasca-PRRI misalnya: Andrinof Chaniago, Arzetti Bilbina, Bastian Tito, Edwar Djamaris, Elprisdat M Zein, Jeffrie Geovanie, Philips Jusario Vermonte, Pia Zebadiah Bernadet, Wisber Loeis, Robert Kenedi, Irwan Prayitno, Sudirman, Masno, Azyumardi Azra, berbeda dari kebiasaan nama-nama orang tua mereka.
Pergantian nama karena pertimbangan politik juga terjadi di kalangan keluarga keturunan Tionghoa pascaperistiwa Gestapu 1965 yang menimbulkan terputusnya hubungan diplomatik Jakarta-Beijing antara 1967–1990. Banyak komunitas China yang pulang kembali ke RRC, tapi lebih banyak warga keturunan yang tetap tinggal di Indonesia dengan mengganti nama, misalnya saja Rudy Hartono Kurniawan, maestro bulu tangkis, nama aslinya Nio Hap Liang; Mochtar Riady (Lio Mo Tie) seorang pengusaha kenamaan pendiri Lippo Group; Alim Markus (Liem Boen Kwang), pemilik Maspion Group; Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong), pendiri dan pemilik Grup Sinar Mas. Hanya sedikit yang percaya diri dengan tetap memakai nama Tionghoa, misalnya Kwik Kian Gie, Mely G Tan, dan Liem Swie King.
Di daerah Manado dan Indonesia bagian timur memiliki kedekatan nama dengan Barat yang kristiani, terutama Portugis, seperti John Titaley, Ignas Kleden, Manuel Kasieppo, Rikard Bagun, Don Bosco, Freddy Numberi, Bob Tutupoli, Daniel Sahuleka, Daniel Dakidae.
Di Jawa masih kuat pengaruh bahasa dan tradisi Sanskerta serta dunia pewayangan. Sebut saja Soekarno, Soeharto, Kasman Singodimedjo, Sudarmono, Try Sutrisno, Sumarsono, Gatot Subroto, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Suprapto, Moerdiono.
Ada lagi yang dikombinasikan dengan identitas kesantrian, misalnya Dawam Rahardjo, Yusuf Wibisono, Aqib Suminto, Mohamad Roem, Ahmad Suryodipuro, Syafrudin Prawironegoro. Adapun yang terinspirasi oleh tokoh pewayangan seperti Arjuna, Abimanyu, Dewi Sinta, Nawang Wulan, Arimbi, Punta Dewa, Danang Parikesit, dan semacamnya.
Namun bagi keluarga generasi milenium yang lahir dekade ‘80-an, mereka memberi nama anak-anaknya punya selera dan referensi lain lagi. Antara lain gabungan nama ayah-ibunya, seperti Maya Susanti, lahir pada Mei, anak dari pasangan Susanto dan Yanti. Atau Alan Agusta, anak dari Lembah Anai, lahir Agustus. Ada penyanyi bernama Evi Tamala, Evi dari Tasikmalaya.
Mereka yang masih setia berpegang pada pengaruh Arab-Islam juga mengalami perubahan. Misalnya Nisa, yang pada generasi orang tuanya adalah Anisah. Namira, dulu digunakan kata Namiroh. Fatima, dulunya Fatimah.
Dalam masyarakat Jawa, ada pandangan bahwa nama itu hendaknya selaras dengan status sosialnya. Ada nama yang lazim digunakan di lingkungan keraton atau ningrat, nama untuk kalangan santri kauman, dan nama untuk rakyat biasa. Ada orang yang sakit-sakitan dan agar sehat kembali mesti berganti nama, karena nama yang melekat dianggap keberatan.
Banyak rakyat awam yang memiliki nama Bejo, dengan harapan agar hidupnya memperoleh keberuntungan. Ada lagi Slamet, Paijo, Poniman, Ngadimin, Ngadiyem, Ngatinah. Nama-nama ini mengisyaratkan mereka datang bukan dari kalangan ningrat.
Dengan menganalisis sebuah nama, kita akan terbantu mengetahui asal-usul wilayah, budaya, dan kelas sosialnya. Namun, semua itu sekarang secara perlahan mengalami perubahan dengan semakin majunya pendidikan sehingga derajat seseorang bukan ditentukan oleh hubungan darah, melainkan prestasi pendidikan.
Kecuali dicantumkan nama marganya, kadang kita sulit mengetahui asal-usul seseorang hanya lewat namanya. Atau yang menggunakan nama Arab-Islam dari sisi agama mudah ditebak, mereka dari kalangan santri atau kauman, meskipun tidak selalu benar. Misalnya dari segi nama kalau kita mendengar nama Datuk Tahir, Nursalim, Teddy Rahmat, mungkin sekali menyangka mereka itu seorang muslim, padahal warga keturunan Tionghoa dan nonmuslim.
Membahas soal nama ini sesungguhnya pembaca bisa menelusuri asal-usul namanya sendiri dan mengapa orang tua memberi nama yang melekat pada dirinya. Tanyakan dan diskusikan saja dengan orang tua, apa makna dan harapan di balik nama yang dilekatkan itu.
Begitu pun bagi orang tua yang telah dianugerahi anak, Anda memiliki selera dan alasan tersendiri ketika memilih nama untuk putra-putri Anda. Apakah ada unsur doa, atau sekadar enak didengar dan diucapkan, atau pengingat peristiwa kelahirannya, atau ada penjelasan lain.
Jika dulu banyak orang tua datang ke ahli agama atau tokoh masyarakat untuk minta nama bagi anaknya, sekarang di toko buku dijual contoh dan daftar nama-nama yang diambil dari berbagai sumber agama, bangsa, dan kitab suci. Anda tinggal pilih atau dijadikan sumber inspirasi.
Ingat, nama itu bukan sekadar barang yang melekat bagaikan baju. Nama itu pada urutannya menyatu dengan identitas, kepribadian, dan sejarah seseorang, bahkan juga menyangkut martabat keluarganya. Bayangkan, bagaimana yang terjadi dengan relasi dan komunikasi sosial andaikan seseorang tidak punya nama?
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SALAH satu peristiwa penting dalam kehidupan rumah tangga adalah memberi nama ketika bayi lahir. Biasanya orang tua telah menyiapkan nama untuknya.
Sangat menarik mengamati berbagai nama di Nusantara yang memiliki ciri dan keragaman sangat banyak.
Ada nama yang mengandung doa, ada yang berkaitan dengan nama tempat kelahiran, ada nama yang diasosiasikan dengan tanggal dan bulan kelahiran, dan ada nama yang merupakan gabungan nama ayah dan ibunya. Ada juga nama yang dikaitkan dengan peristiwa politik serta tokoh kenamaan.
Jika diamati secara sekilas, mayoritas warga Indonesia bagian barat dekat dengan tradisi Islam, sedangkan timur dengan tradisi Kristen, yang keduanya berpengaruh dalam pemilihan nama. Lalu, wilayah Jawa kental dengan pengaruh Hindu-Buddha dan pewayangan.
Tetapi seiring dengan jalannya waktu, pemilihan nama itu juga berkembang. Ambil saja contoh Aceh, Batak, dan Minang, masing-masing memiliki ciri yang mudah dibedakan.
Aceh kental dengan pengaruh Arab Islam, Batak dengan nuansa marganya, dan Minang mengalami transformasi signifikan setelah terjadi pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang diproklamasikan pada 15 Februari 1958 dan berakhir ditumpas pada 1960.
Orang Minang dulunya memberi nama anak-anaknya kental dengan pengaruh Arab Islam, daerah dan suku, tetapi pascaperistiwa PRRI, nama anak-anak Minang lalu berubah dengan nuansa Barat, Persia, dan Jawa.
Tujuannya untuk memutus mata rantai yang menjadi beban sejarah agar tidak menghalangi karier politik, bisnis, dan pergaulan sosial ketika pihak pemerintah menganggap mereka sebagai keluarga pemberontak. Namun, perasaan trauma itu sekarang sudah berlalu.
Beberapa contoh nama orang Minang yang berubah pasca-PRRI misalnya: Andrinof Chaniago, Arzetti Bilbina, Bastian Tito, Edwar Djamaris, Elprisdat M Zein, Jeffrie Geovanie, Philips Jusario Vermonte, Pia Zebadiah Bernadet, Wisber Loeis, Robert Kenedi, Irwan Prayitno, Sudirman, Masno, Azyumardi Azra, berbeda dari kebiasaan nama-nama orang tua mereka.
Pergantian nama karena pertimbangan politik juga terjadi di kalangan keluarga keturunan Tionghoa pascaperistiwa Gestapu 1965 yang menimbulkan terputusnya hubungan diplomatik Jakarta-Beijing antara 1967–1990. Banyak komunitas China yang pulang kembali ke RRC, tapi lebih banyak warga keturunan yang tetap tinggal di Indonesia dengan mengganti nama, misalnya saja Rudy Hartono Kurniawan, maestro bulu tangkis, nama aslinya Nio Hap Liang; Mochtar Riady (Lio Mo Tie) seorang pengusaha kenamaan pendiri Lippo Group; Alim Markus (Liem Boen Kwang), pemilik Maspion Group; Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong), pendiri dan pemilik Grup Sinar Mas. Hanya sedikit yang percaya diri dengan tetap memakai nama Tionghoa, misalnya Kwik Kian Gie, Mely G Tan, dan Liem Swie King.
Di daerah Manado dan Indonesia bagian timur memiliki kedekatan nama dengan Barat yang kristiani, terutama Portugis, seperti John Titaley, Ignas Kleden, Manuel Kasieppo, Rikard Bagun, Don Bosco, Freddy Numberi, Bob Tutupoli, Daniel Sahuleka, Daniel Dakidae.
Di Jawa masih kuat pengaruh bahasa dan tradisi Sanskerta serta dunia pewayangan. Sebut saja Soekarno, Soeharto, Kasman Singodimedjo, Sudarmono, Try Sutrisno, Sumarsono, Gatot Subroto, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Suprapto, Moerdiono.
Ada lagi yang dikombinasikan dengan identitas kesantrian, misalnya Dawam Rahardjo, Yusuf Wibisono, Aqib Suminto, Mohamad Roem, Ahmad Suryodipuro, Syafrudin Prawironegoro. Adapun yang terinspirasi oleh tokoh pewayangan seperti Arjuna, Abimanyu, Dewi Sinta, Nawang Wulan, Arimbi, Punta Dewa, Danang Parikesit, dan semacamnya.
Namun bagi keluarga generasi milenium yang lahir dekade ‘80-an, mereka memberi nama anak-anaknya punya selera dan referensi lain lagi. Antara lain gabungan nama ayah-ibunya, seperti Maya Susanti, lahir pada Mei, anak dari pasangan Susanto dan Yanti. Atau Alan Agusta, anak dari Lembah Anai, lahir Agustus. Ada penyanyi bernama Evi Tamala, Evi dari Tasikmalaya.
Mereka yang masih setia berpegang pada pengaruh Arab-Islam juga mengalami perubahan. Misalnya Nisa, yang pada generasi orang tuanya adalah Anisah. Namira, dulu digunakan kata Namiroh. Fatima, dulunya Fatimah.
Dalam masyarakat Jawa, ada pandangan bahwa nama itu hendaknya selaras dengan status sosialnya. Ada nama yang lazim digunakan di lingkungan keraton atau ningrat, nama untuk kalangan santri kauman, dan nama untuk rakyat biasa. Ada orang yang sakit-sakitan dan agar sehat kembali mesti berganti nama, karena nama yang melekat dianggap keberatan.
Banyak rakyat awam yang memiliki nama Bejo, dengan harapan agar hidupnya memperoleh keberuntungan. Ada lagi Slamet, Paijo, Poniman, Ngadimin, Ngadiyem, Ngatinah. Nama-nama ini mengisyaratkan mereka datang bukan dari kalangan ningrat.
Dengan menganalisis sebuah nama, kita akan terbantu mengetahui asal-usul wilayah, budaya, dan kelas sosialnya. Namun, semua itu sekarang secara perlahan mengalami perubahan dengan semakin majunya pendidikan sehingga derajat seseorang bukan ditentukan oleh hubungan darah, melainkan prestasi pendidikan.
Kecuali dicantumkan nama marganya, kadang kita sulit mengetahui asal-usul seseorang hanya lewat namanya. Atau yang menggunakan nama Arab-Islam dari sisi agama mudah ditebak, mereka dari kalangan santri atau kauman, meskipun tidak selalu benar. Misalnya dari segi nama kalau kita mendengar nama Datuk Tahir, Nursalim, Teddy Rahmat, mungkin sekali menyangka mereka itu seorang muslim, padahal warga keturunan Tionghoa dan nonmuslim.
Membahas soal nama ini sesungguhnya pembaca bisa menelusuri asal-usul namanya sendiri dan mengapa orang tua memberi nama yang melekat pada dirinya. Tanyakan dan diskusikan saja dengan orang tua, apa makna dan harapan di balik nama yang dilekatkan itu.
Begitu pun bagi orang tua yang telah dianugerahi anak, Anda memiliki selera dan alasan tersendiri ketika memilih nama untuk putra-putri Anda. Apakah ada unsur doa, atau sekadar enak didengar dan diucapkan, atau pengingat peristiwa kelahirannya, atau ada penjelasan lain.
Jika dulu banyak orang tua datang ke ahli agama atau tokoh masyarakat untuk minta nama bagi anaknya, sekarang di toko buku dijual contoh dan daftar nama-nama yang diambil dari berbagai sumber agama, bangsa, dan kitab suci. Anda tinggal pilih atau dijadikan sumber inspirasi.
Ingat, nama itu bukan sekadar barang yang melekat bagaikan baju. Nama itu pada urutannya menyatu dengan identitas, kepribadian, dan sejarah seseorang, bahkan juga menyangkut martabat keluarganya. Bayangkan, bagaimana yang terjadi dengan relasi dan komunikasi sosial andaikan seseorang tidak punya nama?
(poe)