OJK Beri Izin Fintech
A
A
A
DALAM sepekan ini perdebatan seputar biaya isi ulang uang elektronik atau e-money terus menuai kontroversi, menyusul kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mengizinkan penarikan biaya agar bank bisa meningkatkan fasilitas isi ulang e-money.
Perdebatan itu telah menutup sejenak perhatian masyarakat pada berita yang terkait keuangan misalnya berita layanan jasa keuangan berbasis teknologi atau lebih akrab di telinga dengan sebutan financial technology (fintech). Hal itu bisa dimaklumi mengingat persoalan biaya isi ulang e-money langsung terkait masyarakat banyak.
Meski demikian, tajuk KORAN SINDO tidak membahas soal biaya isi ulang uang elektronik yang perdebatannya terus memanas di tengah masyarakat, melainkan seputar perkembangan terbaru dari fintech yang bisa menggusur pamor industri keuangan konvensional. Pekan lalu tercatat sebanyak 22 layanan fintech resmi terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Artinya, fintech tersebut tak ada halangan lagi untuk menawarkan jasa keuangan di Indonesia.
Dari total 22 fintech yang telah mengantongi izin dari OJK, baru sebanyak delapan fintech yang melaporkan transaksinya senilai tak kurang dari Rp1 triliun dengan penerima pinjaman sebanyak 200.000 orang yang umumnya berada di Pulau Jawa. Fintech yang populer beberapa tahun belakangan ini sebenarnya memiliki arti yang lebih luas, bukan sekadar sarana meminjam uang yang berbasis teknologi.
Fintech menjadi alternatif bagi pelaku usaha untuk mendapatkan permodalan selain lewat perbankan. Suku bunga pinjaman yang ditawarkan fintech selama ini cukup bersaing dengan perbankan, yakni rata-rata pada kisaran 10% per tahun.
Proses penyaluran pinjaman dari fintech yang lebih sederhana dari perbankan bisa dipahami. Dana pinjaman yang disalurkan pihak perbankan berasal dari pihak penabung sehingga pihak bank harus lebih berhati-hati sebab dana masyarakat yang terhimpun sewaktu-waktu bisa diambil. Adapun di fintech para pemodal melalui model peer to peer landing dengan platform. Pemilik modal mempunyai keleluasaan memberikan pinjaman berdasarĀkan reputasi pemohon.
Pertumbuhan perusahaan fintech yang begitu subur dalam tiga tahun terakhir ini telah mengerek kenaikan jumlah penggunaan aplikasi keuangan. Laporan survei dari App Annie mengungkapkan penggunaan aplikasi keuangan pada tahun lalu melonjak sekitar 36% dibandingkan 2015, pertumbuhan terpesat dialami Korea Selatan dan Australia.
Aplikasi berperan memperdalam hubungan dengan konsumen. Menyediakan layanan keamanan transaksi keuangan yang mudah, aman, serta lebih personal. Peran aplikasi yang memudahkan tersebut menjadi ancaman layanan perbankan. Bagaimana dengan nasib industri keuangan konvensional?
Jelas akan berpengaruh terutama di sektor perbankan. Sebagian fungsi perbankan telah diambil oleh fintech dengan proses yang jauh lebih sederhana. Tidak ada cara lain bagi pihak perbankan untuk terus berbenah, terutama untuk program digitalisasi dalam menjawab tantangan belakangan ini. Apalagi, dalam tiga tahun ke depan perusahaan fintech diprediksi bakal membanjiri negeri ini. Dengan catatan, terdapat ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang semakin memadai dalam menghadirkan layanan fintech.
Tanda-tanda maraknya pertumbuhan perusahaan fintech di negeri ini bukanlah isapan jempol. Dalam kebijakan OJK yang mengatur tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, satu di antaranya mengakomodasi batasan kepemilikan pihak asing terhadap layanan yang bergerak di bisnis peminjaman lewat online.
Tengok saja, Pasal 3 pada POJK No 77/POJK.01/2016 mengatur kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga 85%. Hanya, OJK tidak mengizinkan pihak asing berpartisipasi sebagai penerima pinjaman, melainkan hanya sebagai pemberi pinjaman.
Walau fintech memberi berbagai kemudahan, pihak berwenang terkait aktivitas bidang keuangan tetap senantiasa memberi pengawasan yang ketat mengingat pemberi dan penerima pinjaman tidak bertemu secara langsung. Dan, selalu menyiapkan regulasi yang bisa mengikuti perkembangan fintech yang begitu cepat.
Perdebatan itu telah menutup sejenak perhatian masyarakat pada berita yang terkait keuangan misalnya berita layanan jasa keuangan berbasis teknologi atau lebih akrab di telinga dengan sebutan financial technology (fintech). Hal itu bisa dimaklumi mengingat persoalan biaya isi ulang e-money langsung terkait masyarakat banyak.
Meski demikian, tajuk KORAN SINDO tidak membahas soal biaya isi ulang uang elektronik yang perdebatannya terus memanas di tengah masyarakat, melainkan seputar perkembangan terbaru dari fintech yang bisa menggusur pamor industri keuangan konvensional. Pekan lalu tercatat sebanyak 22 layanan fintech resmi terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Artinya, fintech tersebut tak ada halangan lagi untuk menawarkan jasa keuangan di Indonesia.
Dari total 22 fintech yang telah mengantongi izin dari OJK, baru sebanyak delapan fintech yang melaporkan transaksinya senilai tak kurang dari Rp1 triliun dengan penerima pinjaman sebanyak 200.000 orang yang umumnya berada di Pulau Jawa. Fintech yang populer beberapa tahun belakangan ini sebenarnya memiliki arti yang lebih luas, bukan sekadar sarana meminjam uang yang berbasis teknologi.
Fintech menjadi alternatif bagi pelaku usaha untuk mendapatkan permodalan selain lewat perbankan. Suku bunga pinjaman yang ditawarkan fintech selama ini cukup bersaing dengan perbankan, yakni rata-rata pada kisaran 10% per tahun.
Proses penyaluran pinjaman dari fintech yang lebih sederhana dari perbankan bisa dipahami. Dana pinjaman yang disalurkan pihak perbankan berasal dari pihak penabung sehingga pihak bank harus lebih berhati-hati sebab dana masyarakat yang terhimpun sewaktu-waktu bisa diambil. Adapun di fintech para pemodal melalui model peer to peer landing dengan platform. Pemilik modal mempunyai keleluasaan memberikan pinjaman berdasarĀkan reputasi pemohon.
Pertumbuhan perusahaan fintech yang begitu subur dalam tiga tahun terakhir ini telah mengerek kenaikan jumlah penggunaan aplikasi keuangan. Laporan survei dari App Annie mengungkapkan penggunaan aplikasi keuangan pada tahun lalu melonjak sekitar 36% dibandingkan 2015, pertumbuhan terpesat dialami Korea Selatan dan Australia.
Aplikasi berperan memperdalam hubungan dengan konsumen. Menyediakan layanan keamanan transaksi keuangan yang mudah, aman, serta lebih personal. Peran aplikasi yang memudahkan tersebut menjadi ancaman layanan perbankan. Bagaimana dengan nasib industri keuangan konvensional?
Jelas akan berpengaruh terutama di sektor perbankan. Sebagian fungsi perbankan telah diambil oleh fintech dengan proses yang jauh lebih sederhana. Tidak ada cara lain bagi pihak perbankan untuk terus berbenah, terutama untuk program digitalisasi dalam menjawab tantangan belakangan ini. Apalagi, dalam tiga tahun ke depan perusahaan fintech diprediksi bakal membanjiri negeri ini. Dengan catatan, terdapat ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang semakin memadai dalam menghadirkan layanan fintech.
Tanda-tanda maraknya pertumbuhan perusahaan fintech di negeri ini bukanlah isapan jempol. Dalam kebijakan OJK yang mengatur tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, satu di antaranya mengakomodasi batasan kepemilikan pihak asing terhadap layanan yang bergerak di bisnis peminjaman lewat online.
Tengok saja, Pasal 3 pada POJK No 77/POJK.01/2016 mengatur kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga 85%. Hanya, OJK tidak mengizinkan pihak asing berpartisipasi sebagai penerima pinjaman, melainkan hanya sebagai pemberi pinjaman.
Walau fintech memberi berbagai kemudahan, pihak berwenang terkait aktivitas bidang keuangan tetap senantiasa memberi pengawasan yang ketat mengingat pemberi dan penerima pinjaman tidak bertemu secara langsung. Dan, selalu menyiapkan regulasi yang bisa mengikuti perkembangan fintech yang begitu cepat.
(rhs)