Kalau Sudah Panggilan, Tukang Urut Pun Bisa Naik Haji

Kamis, 14 September 2017 - 18:01 WIB
Kalau Sudah Panggilan,...
Kalau Sudah Panggilan, Tukang Urut Pun Bisa Naik Haji
A A A
MADINAH - Jangan remehkan pekerjaan seseorang. Sebab penghasilan besar belum jaminan mendapat panggilan Allah SWT untuk berhaji.

Tuti, misalnya. Pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang urut tak meredam impiannya sejak puluhan tahun silam untuk berangkat haji.

Setiap tahun, terlebih saat melihat orang pulang dari berhaji, keinginannya untuk menjadi dhuyufurrahman (tamu berhaji Allah) terus menggemuruh. Apa yang diimpikan perempuan berusia 55 tahun itu akhirnya terwujud tahun ini.

Tergabung dalam Kelompok Terbang (Kloter) 27 Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG 27), Tuti mendapat nomor kursi haji.

Uang hasil kerja keras menjadi tukang urut yang ditabungnya sedikit demi sedikit dalam enam tahun menjadi bekal dirinya berangkat menunaikan rukun Islam kelima ini.

Ditemui tim Media Center Haji (MCH), Rabu (13/9/2017), Tuti berbagi kisah perjuangannya bisa mendaftarkan diri berhaji enam tahun lalu.

Keinginannya berhaji sudah terpendam sejak dahulu dan semakin kuat dengan dukungan anaknya.

Dari hasil pernikahan dengan suaminya yang sudah wafat, Tuti dikaruniai tiga anak. Saat suaminya wafat, anak tertuanya kelas VI SD, sedangkan si bungsu masih duduk di taman kanak-kanak.

Sejak itu, Tuti membesarkan anaknya sendiri dan membiayai mereka dengan bekal keterampilan mengurut dan berjualan.

Keahlian Tuti mengurut diturunkan dari orang tuanya. Saat berusia sembilan tahun, Tuti terjatuh hingga keseleo, lalu diurut bapaknya.

Saat itu bapaknya mengatakan, akan menurunkan keahlian mengurutnya kepada Tuti. Tuti pun memanfaatkan keahliannya dengan membuka praktik tukang urut bayi, anak kecil sampai dewasa. Selain itu, dia juga berjualan kacang yang dibungkus dan dijual di sekolah anaknya.

“Anak-anak saya ajarkan hidup prihatin dan bersyukur,” ucap Tuti mengenang perjuangannya.

Cara hidup prihatin sengaja diajarkan kepada buah hatinya sejak kecil. Maklum, hasil dari mengurut tidak menentu. Apalagi dia tidak pernah memasang tarif, pengguna jasanya hanya diminta memberikan seikhlasnya.

Perlahan nama Tuti sebagai tukang urut semakin dikenal. Banyak pelanggan yang membutuhkan keahliannya. Kadang dalam satu hari bisa mencapai 15 orang.

Informasi dari mulut ke mulut menyebar sampai ke Bukit Golf Sentul, Jawa Barat. Ada salah satu pasien Tuti yang sudah divonis dokter saraf terjepit atau penyempitan urat syaraf. Bismillah, Tuti coba memberikan terapi urut secara rutin hingga membaik.

Saat ditanya berapa yang harus dibayar, Tuti menjawab seikhlasnya. Oleh keluarga pasien, Tuti akhirnya diberi uang Rp300.000 untuk satu kali urut.

Rezeki terus bertambah, tapi Tuti tidak berubah, semua dijalani dengan rasa syukur dan ikhlas. Niatnya berhaji pun semakin kuat. Sebagian hasil kerjanya ditabung untuk bersiap menjadi tamu Sang Maha Rahman. “Alhamdulillah bisa saya tabung untuk berangkat haji,” tuturnya.

Perjalanan hidup Tuti tidak selalu berjalanan mulus, apalagi dengan profesinya sebagai tukang urut. Pernah suatu hari dia diminta mengurut seorang pria di rumahnya.

Saat itu Tuti mau membantu dengan catatan, harus ditemani istri yang mau diurut atau minimal pembantunya. Tuti tidak mau sendiri karena tidak mau ada fitnah.

Saat dia tiba, pintu rumah memang dibuka oleh pembantu pemilik rumah. Namun, setelah dia masuk, sang pembantu pergi entah ke mana. Tinggallah Tuti berdua dengan pria yang akan diurutnya.

Rasa takut dan khawatir muncul. Karenanya, sebelum mulai mengurut, Tuti meminta izin tuan rumah untuk salat sunah sebelum masuk waktu Asar. Tuti berdoa dan berzikir berharap lindungan Allah dari segala hal yang membahayakan.

Kekhawatiran Tuti terjawab. Lelaki itu memang menyangka Tuti sebagai terapis dalam konteks negatif. Seketika Tuti meminta maaf dan menjelaskan dirinya bukan seperti yang dibayangkan.

Dia pun meminta maaf dan pamit pulang. “Suka duka seorang tukang urut seperti ini, kadang persepsi negatif timbul,” ujarnya.

Keterampilannya mengurut juga bermanfaat saat Tuti beribadah haji. Dia sering dimintai tolong mengurut jamaah perempuan. Penyebabnya beragam, ada yang hanya karena pegel, ada juga yang keseleo bahkan urat terjepit.

Namun, Tuti memilih membatasi aktivitasnya selama berhaji. Bukan tidak mau menolong, tapi dia juga harus menjaga kondisi kesehatan dan fokus beribadah.

Kepada tim MCH, Tuti berbagi kisah tentang pengalamannya saat kali pertama melihat Kakbah. Waktu itu dia dan kloternya menjalani umrah quddum. Di depan Kakbah, Tuti merasa menemukan ketenangan dalam dirinya.

Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk berdoa bagi kebaikan orang tua, suami, dan anak, menantu, serta cucunya. Tuti berharap, semua selalu dalam perlindungan Allah, diampuni dosa dan kesalahannya, serta bahagia hidup dunia akhirat, dan kelak dapat menjalankan ibadah haji kelak.

Tuti akan kembali ke Tanah Air pada 19 September mendatang. JKG 27 merupakan kloter terakhir pada pemberangkatan gelombang pertama.

Seusai berhaji, dia akan mulai mengurangi aktivitasnya sebagai tukang urut agar bisa menjalankan ibadah dengan baik.

Dia juga akan lebih selektif menerima pasien, mungkin khusus anak-anak dan wanita. Namun, dia siap membantu siapa saja yang membutuhkan dengan memprioritaskan anak-anak dan wanita.

“Saya berharap mendapat haji yang mabrur. Semoga ke depan bertambah keimanan dan ketakwaan saya. Saya ingin cari keberkahaan saja,” harapnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0915 seconds (0.1#10.140)