Konsumsi Melambat
A
A
A
BENARKAH daya beli masyarakat menurun? Sebuah pertanyaan serius sekaligus membingungkan yang mengundang polemik di negeri ini. Mengapa? Mengacu pada angka-angka perekonomian versi pemerintah memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian nasional belum ada indikator yang mengundang kekhawatiran alias tetap dalam situasi stabil.
Setidaknya, terlihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua masih sama dengan kuartal pertama 2017 yang tercatat sebesar 5,01%. Namun di sisi lain, tak bisa diabaikan para pelaku bisnis ritel ”berteriak” karena daya beli masyarakat melemah yang mengakibatkan penjualan anjlok.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan daya beli masyarakat? Memang, angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini masih di bawah ekspektasi, demikian Kepala BPS Kecuk Suharyanto mengawali pemaparannya dalam diskusi tersebut. Pada kuartal kedua yang diwarnai momen Lebaran, ternyata tidak mendongkrak konsumsi masyarakat secara signifikan. Memang konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua dibanding kuartal pertama terjadi kenaikan, namun sangat tipis, yakni dari sekitar 4,94% menjadi sebesar 4,95%.
Sebelumnya dengan adanya Lebaran dan puasa pada triwulan kedua, diprediksi konsumsi rumah tangga akan menembus level 5%. Kesimpulannya, konsumsi rumah tangga tetap menguat namun terjadi pelambatan. Atas indikasi tersebut, pihak BPS mengklaim tidak ada indikasi penurunan daya beli masyarakat.
Pemaparan orang nomor satu di lembaga statistik negara itu diamini oleh Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Firman Mochtar, yang menilai daya beli masyarakat tidak bermasalah, yang terjadi adalah perubahan gaya hidup kaum milenial dalam berbelanja. Hal itu sepandangan dengan Direktur Utama BEI, Tito Sulistio yang menyatakan perkembangan teknologi telah memudahkan masyarakat membeli produk makanan maupun nonmakanan dari rumah. Masyarakat tak perlu lagi hadir sendiri di pusat perbelanjaan cukup dengan memesan lewat jasa ojek online. Pada kesempatan itu, sebagaimana dibeberkan Tito Sulistio, perusahaan ritel yang tercatat di pasar modal masih mengantongi pertumbuhan profit.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang selalu berbeda pandangan dengan pemerintah menilai polemik soal daya beli masyarakat masih misterius. Fahri menyoroti persoalan daya beli atau melemahnya konsumsi masyarakat, salah satunya disebabkan belum ada sistem yang mampu membaca pergeseran gaya hidup masyarakat dalam kaitan konsumsi belakangan ini. Lebih tegas, Fahri Hamzah yang rajin mengoreksi sepak terjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai hal meminta pemerintah agar melacak lebih detail kondisi mikro-ekonomi Indonesia yang sebenarnya.
Dalam dua tahun terakhir ini, pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang mengalami pelambatan. Pada 2014, tercatat konsumsi rumah tangga berada pada level di atas 5%. Hal ini perlu diwaspadai mengingat konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam menggerakkan perekonomian nasional, menyusul sektor investasi, belanja pemerintah, dan ekspor. Meski demikian, pemerintah tetap optimistis pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini yang dipatok sekitar 5,2% bisa direalisasikan.
Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2017 yang stagnan memang sedikit membuat kecewa Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution, karena di luar harapan. Pemerintah berharap motor perekonomian bisa berputar lebih cepat pada kuartal ketiga dan keempat untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Sebelumnya, BPS merilis bahwa sekitar 40% masyarakat bawah pertumbuhan konsumsinya tak lebih dari 2%, sementara kelompok menengah ke atas meningkat sekitar 7%. Kecilnya angka pertumbuhan konsumsi masyarakat bawah tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kerja nyata pemerintah sangat diharapkan ketimbang melayani perdebatan tiada ujung seputar daya beli masyarakat apakah tetap kuat atau memang loyo. Apalagi sejumlah data telah menunjukkan bahwa yang terjadi adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, yang diiringi pergeseran gaya belanja masyarakat akibat kemajuan teknologi internet.
Setidaknya, terlihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua masih sama dengan kuartal pertama 2017 yang tercatat sebesar 5,01%. Namun di sisi lain, tak bisa diabaikan para pelaku bisnis ritel ”berteriak” karena daya beli masyarakat melemah yang mengakibatkan penjualan anjlok.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan daya beli masyarakat? Memang, angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini masih di bawah ekspektasi, demikian Kepala BPS Kecuk Suharyanto mengawali pemaparannya dalam diskusi tersebut. Pada kuartal kedua yang diwarnai momen Lebaran, ternyata tidak mendongkrak konsumsi masyarakat secara signifikan. Memang konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua dibanding kuartal pertama terjadi kenaikan, namun sangat tipis, yakni dari sekitar 4,94% menjadi sebesar 4,95%.
Sebelumnya dengan adanya Lebaran dan puasa pada triwulan kedua, diprediksi konsumsi rumah tangga akan menembus level 5%. Kesimpulannya, konsumsi rumah tangga tetap menguat namun terjadi pelambatan. Atas indikasi tersebut, pihak BPS mengklaim tidak ada indikasi penurunan daya beli masyarakat.
Pemaparan orang nomor satu di lembaga statistik negara itu diamini oleh Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Firman Mochtar, yang menilai daya beli masyarakat tidak bermasalah, yang terjadi adalah perubahan gaya hidup kaum milenial dalam berbelanja. Hal itu sepandangan dengan Direktur Utama BEI, Tito Sulistio yang menyatakan perkembangan teknologi telah memudahkan masyarakat membeli produk makanan maupun nonmakanan dari rumah. Masyarakat tak perlu lagi hadir sendiri di pusat perbelanjaan cukup dengan memesan lewat jasa ojek online. Pada kesempatan itu, sebagaimana dibeberkan Tito Sulistio, perusahaan ritel yang tercatat di pasar modal masih mengantongi pertumbuhan profit.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang selalu berbeda pandangan dengan pemerintah menilai polemik soal daya beli masyarakat masih misterius. Fahri menyoroti persoalan daya beli atau melemahnya konsumsi masyarakat, salah satunya disebabkan belum ada sistem yang mampu membaca pergeseran gaya hidup masyarakat dalam kaitan konsumsi belakangan ini. Lebih tegas, Fahri Hamzah yang rajin mengoreksi sepak terjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai hal meminta pemerintah agar melacak lebih detail kondisi mikro-ekonomi Indonesia yang sebenarnya.
Dalam dua tahun terakhir ini, pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang mengalami pelambatan. Pada 2014, tercatat konsumsi rumah tangga berada pada level di atas 5%. Hal ini perlu diwaspadai mengingat konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam menggerakkan perekonomian nasional, menyusul sektor investasi, belanja pemerintah, dan ekspor. Meski demikian, pemerintah tetap optimistis pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini yang dipatok sekitar 5,2% bisa direalisasikan.
Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2017 yang stagnan memang sedikit membuat kecewa Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution, karena di luar harapan. Pemerintah berharap motor perekonomian bisa berputar lebih cepat pada kuartal ketiga dan keempat untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Sebelumnya, BPS merilis bahwa sekitar 40% masyarakat bawah pertumbuhan konsumsinya tak lebih dari 2%, sementara kelompok menengah ke atas meningkat sekitar 7%. Kecilnya angka pertumbuhan konsumsi masyarakat bawah tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kerja nyata pemerintah sangat diharapkan ketimbang melayani perdebatan tiada ujung seputar daya beli masyarakat apakah tetap kuat atau memang loyo. Apalagi sejumlah data telah menunjukkan bahwa yang terjadi adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, yang diiringi pergeseran gaya belanja masyarakat akibat kemajuan teknologi internet.
(kri)