Quo Vadis Gerakan Kepanduan Indonesia?
A
A
A
Dr Wahyu T Setyobudi
Vice Dean of PPM School Management, Alumni Gugus Depan 06005 Institut Teknologi Bandung
DI masa kecil saya, Jumat sore adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu, saatnya berlatih Pramuka. Imajinasi khas kanak-kanak mengamplifikasi kegembiraan saya atas pelatihan Pramuka yang dalam benak saya waktu itu sangat keren atau dengan menyitir bahasa gaul masa kini, pecah abis! Semuanya keren.
Baju cokelat dihiasi simbol-simbol gagah menempel di sana-sini. Bendera-bendera regu ditopang formasi tongkat berkibaran memenuhi lapangan, menari senada angin ritmis di bawah cahaya matahari sore. Sungguh pengalaman tak terlupakan yang membekas dalam hingga masa dewasa saya.
Keluarga kami dapat dikatakan keluarga Pramuka. Ibu, dua kakak saya, dan saya sendiri adalah aktivis Pramuka mulai Siaga hingga Pandega dan Pembina. Di kota kami dahulu, aktivis Pramuka yang berhasil dihormati bak pahlawan lokal. Keberhasilan sebagai Pramuka dianggap sebagai proyeksi keberhasilan dalam studi dan karier masa depan.
Lain dahulu, lain pula sekarang. Layaknya orang tua yang ingin pengalaman berkesannya juga dirasakan oleh anak, tampaknya saya tidak boleh berharap terlalu tinggi. Setiap hari Rabu anak saya berpakaian Pramuka. Namun pakaian itu baginya hanya sebatas seragam saja, tidaklah berjiwa.
Baju cokelat itu tidak lebih dari baju-baju lain seperti Senin baju putih, Selasa-Kamis batik, dan Jumat baju bebas. Dalam kesempatan bincang sehari-hari, saya sering menggali-gali seberapa tertariknya ia pada Pramuka. Kembali hati saya menangis karena robotic, science class, futsal, dan berbagai aktivitas luar lainnya ternyata jauh lebih diminati daripada Pramuka.
Harus diakui bahwa Pramuka tidak lagi populer seperti dahulu. Gaungnya samar ditelan riuh rendah euforia sosial dalam menyambut era teknologi yang genit menggoda. Sementara itu organisasi sentral yang diberi amanah untuk mengelola gerakan kepanduan tampaknya belum percaya diri untuk tampil memberi arah yang jelas bagi masa depan gerakan kepanduan nasional. Jadi, quo vadis gerakan kepanduan Indonesia?
Lima puluh enam tahun lalu Gerakan Pramuka dicanangkan sebagai peleburan dari seluruh gerakan kepanduan yang ada pada waktu itu. Perjalanan waktu telah menjadi saksi pasang-surut gerakan ini dan kita memberikan penghargaan yang tinggi bahwa gerakan besar nasional ini telah bertahan melewati berbagai badai zaman.
Walaupun mengadaptasi konsep scouting for boys dari Baden Powell (1876-1910), Pramuka mampu menambahkan kekhasan pendidikan nasional melalui sistem among, in ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, berbasis Pancasila.
Tuntutan untuk melakukan pembenahan mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 yang diharapkan dapat merevitalisasi gerakan Pramuka. Tujuh tahun berlalu tampaknya gagasan revitalisasi tersebut masuk angin.
Hingga saat ini masyarakat Indonesia secara umum dan insan kepanduan secara khusus belum melihat adanya strategi jangka panjang yang jelas mengkristal dan memberi arah bagi gerakan kepanduan nasional. Hal ini tentu penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat koheren membentuk bangunan kuat bagi kiprah Pramuka sebagai pembentuk karakter bangsa di masa depan.
Ambillah sebagai contoh kebijakan standardisasi Gugus Depan. Apakah akan efektif dalam menggerakkan minat berpramuka? Tentu ada pro-kontra. Meningkatnya peran Kwartir menjadikannya seakan-akan tokoh sentral dalam skenario kepanduan nasional. Padahal sejak awal Pramuka dicanangkan sebagai sebuah gerakan yang artinya partisipasi aktif haruslah di tangan masyarakat.
Standardisasi menutup berbagai kemungkinan pengembangan kreatif inovatif yang muncul bottom-up, menggantikannya dengan mesin organisasi yang berorientasi manajemen mekanistis. Pada satu sisi generasi milenial muncul dengan karakter hardwired dasar ”tidak mau diatur”, pada sisi lain arah pengembangan kepramukaan justru dipaksa menuju keseragaman. Tentu walaupun secara kasatmata menggunakan teknologi canggih dan konsep online, secara substansial ini merupakan langkah mundur.
Dalam tulisan ini saya tak hendak menginventarisasi berbagai masalah yang ada, tetapi ingin membangun kesadaran pentingnya insan kepanduan kembali menyalakan api kepedulian. Gerakan kepanduan Asia-Pasifik telah mencanangkan pertumbuhan anggota kepanduan sebesar 38,9% hingga tahun 2023.
Tentu Indonesia sebagai salah satu negara terbesar diharapkan menjadi kontributor utama. Pertumbuhan yang diharapkan sehat dalam arti seimbang, antara kuantitas dan lebih penting lagi kualitas. Oleh karenanya, sudah saatnya para pakar, aktivis, dan pengelola dilibatkan dalam sarasehan nasional untuk membahas arah gerakan kepramukaan nasional yang ditujukan untuk membentuk blueprint pengembangan gerakan kepanduan nasional 2027.
Selama 10 tahun ke depan, gerakan kepanduan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan, bahkan kadang kala menimbulkan paradoks. Digitalisasi dan munculnya berbagai teknologi yang berkontribusi pada inovasi disruptif seperti internet of things (IoT), augmented reality (AR), GPS, artificial intelligent, dan berbagai teknologi lain memaksa manusia untuk mengadaptasi. Tidak ada pilihan lain karena kurangnya adaptasi menyebabkan apa yang disebut dengan fenomena Digital Darwinism.
Gerakan kepanduan pun harus melakukan adaptasi dengan sempurna. Sayangnya semakin dekat dengan teknologi, konsekuensinya adalah semakin jauh dari alam. Justru apa yang diajarkan Bapak Pandu Dunia adalah kembali ke alam, bertahan hidup tanpa teknologi. Di situ esensi kepanduan bergesekan dengan intensi teknologi.
Teknologi ingin mempermudah hidup, sedangkan kepanduan, bagaimana bertahan hidup dalam keterbatasan teknologi. Seberapa jauh kita mengadaptasi teknologi menjadi hal yang harus dijawab dalam blueprint.
Seberapa jauh inovasi dan kekhasan individu dan organisasi diwadahi dalam gerakan menjadi bahasan yang juga menarik. Sementara untuk menjamin gerakan tidak melenceng dari asas dan fungsi dasar perlu dilakukan monitoring dan kontrol, tetapi di sisi lain partisipasi insan Pramuka harus menjadi panglima bagi gerakan kepanduan.
Gugus Depan sebagai ujung tombak didorong untuk berani keluar, berpikir out of the box, menemukan cara baru untuk menghidupi Gugus Depan sekaligus membangun kegiatan yang menarik. Untuk negara seluas Indonesia dengan untaian pulau beribu-ribu jumlahnya, sulit sekali membuat standar yang cocok untuk semuanya. Ibarat baju all size, tentu kedodoran bagi yang langsing dan sesak bagi yang berbadan montok.
Demikianlah sebagai penutup, Baden Powell dalam salah satu kesempatan mengatakan, ”Scouting is a movement, because it moves forward. As soon as it stops moving, it becomes an organisation, and is no longer scouting.” Kepanduan adalah sebuah gerakan karena ia selalu maju. Jika berhenti, ia berubah menjadi apa yang kita sebut sebagai organisasi, maka hilanglah kepanduan. Mari hidupkan selalu api semangat yang menyala dari lubuk hati kita. Dibakar di rimba, tetapi panasnya terasa di dada para pandu bangsa. Selamat Hari Pramuka, jaya Pramuka Indonesia!
Vice Dean of PPM School Management, Alumni Gugus Depan 06005 Institut Teknologi Bandung
DI masa kecil saya, Jumat sore adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu, saatnya berlatih Pramuka. Imajinasi khas kanak-kanak mengamplifikasi kegembiraan saya atas pelatihan Pramuka yang dalam benak saya waktu itu sangat keren atau dengan menyitir bahasa gaul masa kini, pecah abis! Semuanya keren.
Baju cokelat dihiasi simbol-simbol gagah menempel di sana-sini. Bendera-bendera regu ditopang formasi tongkat berkibaran memenuhi lapangan, menari senada angin ritmis di bawah cahaya matahari sore. Sungguh pengalaman tak terlupakan yang membekas dalam hingga masa dewasa saya.
Keluarga kami dapat dikatakan keluarga Pramuka. Ibu, dua kakak saya, dan saya sendiri adalah aktivis Pramuka mulai Siaga hingga Pandega dan Pembina. Di kota kami dahulu, aktivis Pramuka yang berhasil dihormati bak pahlawan lokal. Keberhasilan sebagai Pramuka dianggap sebagai proyeksi keberhasilan dalam studi dan karier masa depan.
Lain dahulu, lain pula sekarang. Layaknya orang tua yang ingin pengalaman berkesannya juga dirasakan oleh anak, tampaknya saya tidak boleh berharap terlalu tinggi. Setiap hari Rabu anak saya berpakaian Pramuka. Namun pakaian itu baginya hanya sebatas seragam saja, tidaklah berjiwa.
Baju cokelat itu tidak lebih dari baju-baju lain seperti Senin baju putih, Selasa-Kamis batik, dan Jumat baju bebas. Dalam kesempatan bincang sehari-hari, saya sering menggali-gali seberapa tertariknya ia pada Pramuka. Kembali hati saya menangis karena robotic, science class, futsal, dan berbagai aktivitas luar lainnya ternyata jauh lebih diminati daripada Pramuka.
Harus diakui bahwa Pramuka tidak lagi populer seperti dahulu. Gaungnya samar ditelan riuh rendah euforia sosial dalam menyambut era teknologi yang genit menggoda. Sementara itu organisasi sentral yang diberi amanah untuk mengelola gerakan kepanduan tampaknya belum percaya diri untuk tampil memberi arah yang jelas bagi masa depan gerakan kepanduan nasional. Jadi, quo vadis gerakan kepanduan Indonesia?
Lima puluh enam tahun lalu Gerakan Pramuka dicanangkan sebagai peleburan dari seluruh gerakan kepanduan yang ada pada waktu itu. Perjalanan waktu telah menjadi saksi pasang-surut gerakan ini dan kita memberikan penghargaan yang tinggi bahwa gerakan besar nasional ini telah bertahan melewati berbagai badai zaman.
Walaupun mengadaptasi konsep scouting for boys dari Baden Powell (1876-1910), Pramuka mampu menambahkan kekhasan pendidikan nasional melalui sistem among, in ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, berbasis Pancasila.
Tuntutan untuk melakukan pembenahan mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 yang diharapkan dapat merevitalisasi gerakan Pramuka. Tujuh tahun berlalu tampaknya gagasan revitalisasi tersebut masuk angin.
Hingga saat ini masyarakat Indonesia secara umum dan insan kepanduan secara khusus belum melihat adanya strategi jangka panjang yang jelas mengkristal dan memberi arah bagi gerakan kepanduan nasional. Hal ini tentu penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat koheren membentuk bangunan kuat bagi kiprah Pramuka sebagai pembentuk karakter bangsa di masa depan.
Ambillah sebagai contoh kebijakan standardisasi Gugus Depan. Apakah akan efektif dalam menggerakkan minat berpramuka? Tentu ada pro-kontra. Meningkatnya peran Kwartir menjadikannya seakan-akan tokoh sentral dalam skenario kepanduan nasional. Padahal sejak awal Pramuka dicanangkan sebagai sebuah gerakan yang artinya partisipasi aktif haruslah di tangan masyarakat.
Standardisasi menutup berbagai kemungkinan pengembangan kreatif inovatif yang muncul bottom-up, menggantikannya dengan mesin organisasi yang berorientasi manajemen mekanistis. Pada satu sisi generasi milenial muncul dengan karakter hardwired dasar ”tidak mau diatur”, pada sisi lain arah pengembangan kepramukaan justru dipaksa menuju keseragaman. Tentu walaupun secara kasatmata menggunakan teknologi canggih dan konsep online, secara substansial ini merupakan langkah mundur.
Dalam tulisan ini saya tak hendak menginventarisasi berbagai masalah yang ada, tetapi ingin membangun kesadaran pentingnya insan kepanduan kembali menyalakan api kepedulian. Gerakan kepanduan Asia-Pasifik telah mencanangkan pertumbuhan anggota kepanduan sebesar 38,9% hingga tahun 2023.
Tentu Indonesia sebagai salah satu negara terbesar diharapkan menjadi kontributor utama. Pertumbuhan yang diharapkan sehat dalam arti seimbang, antara kuantitas dan lebih penting lagi kualitas. Oleh karenanya, sudah saatnya para pakar, aktivis, dan pengelola dilibatkan dalam sarasehan nasional untuk membahas arah gerakan kepramukaan nasional yang ditujukan untuk membentuk blueprint pengembangan gerakan kepanduan nasional 2027.
Selama 10 tahun ke depan, gerakan kepanduan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan, bahkan kadang kala menimbulkan paradoks. Digitalisasi dan munculnya berbagai teknologi yang berkontribusi pada inovasi disruptif seperti internet of things (IoT), augmented reality (AR), GPS, artificial intelligent, dan berbagai teknologi lain memaksa manusia untuk mengadaptasi. Tidak ada pilihan lain karena kurangnya adaptasi menyebabkan apa yang disebut dengan fenomena Digital Darwinism.
Gerakan kepanduan pun harus melakukan adaptasi dengan sempurna. Sayangnya semakin dekat dengan teknologi, konsekuensinya adalah semakin jauh dari alam. Justru apa yang diajarkan Bapak Pandu Dunia adalah kembali ke alam, bertahan hidup tanpa teknologi. Di situ esensi kepanduan bergesekan dengan intensi teknologi.
Teknologi ingin mempermudah hidup, sedangkan kepanduan, bagaimana bertahan hidup dalam keterbatasan teknologi. Seberapa jauh kita mengadaptasi teknologi menjadi hal yang harus dijawab dalam blueprint.
Seberapa jauh inovasi dan kekhasan individu dan organisasi diwadahi dalam gerakan menjadi bahasan yang juga menarik. Sementara untuk menjamin gerakan tidak melenceng dari asas dan fungsi dasar perlu dilakukan monitoring dan kontrol, tetapi di sisi lain partisipasi insan Pramuka harus menjadi panglima bagi gerakan kepanduan.
Gugus Depan sebagai ujung tombak didorong untuk berani keluar, berpikir out of the box, menemukan cara baru untuk menghidupi Gugus Depan sekaligus membangun kegiatan yang menarik. Untuk negara seluas Indonesia dengan untaian pulau beribu-ribu jumlahnya, sulit sekali membuat standar yang cocok untuk semuanya. Ibarat baju all size, tentu kedodoran bagi yang langsing dan sesak bagi yang berbadan montok.
Demikianlah sebagai penutup, Baden Powell dalam salah satu kesempatan mengatakan, ”Scouting is a movement, because it moves forward. As soon as it stops moving, it becomes an organisation, and is no longer scouting.” Kepanduan adalah sebuah gerakan karena ia selalu maju. Jika berhenti, ia berubah menjadi apa yang kita sebut sebagai organisasi, maka hilanglah kepanduan. Mari hidupkan selalu api semangat yang menyala dari lubuk hati kita. Dibakar di rimba, tetapi panasnya terasa di dada para pandu bangsa. Selamat Hari Pramuka, jaya Pramuka Indonesia!
(whb)