Ahli Tata Negara Tegaskan PT 20% Pelanggaran Konstitusi
A
A
A
JAKARTA - Rapat Paripurna DPR bersama pemerintah telah memutuskan lima poin krusial dalam rancangan undang-undang (RUU) menjadi Undang-undang Pemilu. Salah satunya diputuskan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) menjadi sebesar 20-25%.
Ahli Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menegaskan, penetapan PT 20-25% jelas-jelas pelanggaran konstitusi yakni bertentangan dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu Mengusulkan Pasangan Calon Presiden.
"Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohonan pengujian UU Pemilu di MK agar pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan oleh MK," tutur Irman dalam keterangan persnya, Jumat (21/7/2017).
Irman menjelaskan, dalam putusan MK tersebut sebenarnya telah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bagi parpol, tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensial yang selama ini menjadi argumen pemerintah.
Menurutnya, penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan parpol. Hal demikian dinilai negatif untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia
Irman menambahkan, dampak negatif tersebut juga dikhawatirkan akan memengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Tak hanya itu, ia menganggap negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang.
"Misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan," pungkasnya.
Ahli Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menegaskan, penetapan PT 20-25% jelas-jelas pelanggaran konstitusi yakni bertentangan dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu Mengusulkan Pasangan Calon Presiden.
"Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohonan pengujian UU Pemilu di MK agar pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan oleh MK," tutur Irman dalam keterangan persnya, Jumat (21/7/2017).
Irman menjelaskan, dalam putusan MK tersebut sebenarnya telah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bagi parpol, tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensial yang selama ini menjadi argumen pemerintah.
Menurutnya, penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan parpol. Hal demikian dinilai negatif untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia
Irman menambahkan, dampak negatif tersebut juga dikhawatirkan akan memengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Tak hanya itu, ia menganggap negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang.
"Misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan," pungkasnya.
(kri)