Hari Anak Nasional 2017

Jum'at, 21 Juli 2017 - 09:26 WIB
Hari Anak Nasional 2017
Hari Anak Nasional 2017
A A A
Fx Wikan Indrarto
Dokter spesialis anak di RS Siloam dan RS Panti Rapih,
Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta

KEMENTERIAN ementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan menggelar Hari Anak Nasional 2017 di Riau pada Minggu (23/7). Menteri PPPA Yohana Yembise menjelaskan, Riau dipilih karena menjadi salah satu provinsi tertinggi, ditemukannya kasus kekerasan terhadap anak. Apa yang harus kita sadari?

Tema yang diangkat, ”Perlindungan Anak Dimulai dari Keluarga”, yang dilatarbelakangi perlunya kesadaran keluarga Indonesia untuk mengasuh anak. Keluarga merupakan awal mula pembentukan kematangan individu dan struktur kepribadian seorang anak. Data Global Status Report on Violence Prevention yang diterbitkan pada 18 Mei 2015 dari 133 negara, adalah laporan tentang penganiayaan, kekerasan, pelecehan seksual, dan pe­nelantaran pada anak. Sekitar 250.000 kasus pembunuhan anak terjadi sepanjang 2013, yaitu 43% dari total jumlah pembunuhan global setiap tahun.

Kekerasan pada anak memiliki dampak serius karena sering kali berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada aspek medis, juga pada fungsi psikologis dan sosial. Wajar saja kekerasan pada anak terbukti meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, kesejahteraan, dan peradilan pidana, juga mengurangi produktivitas dan umumnya bahkan merusak struktur sosial di masyarakat. Untuk setiap kasus kekerasan pada anak, 40% mengalami cedera berat, yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cedera ini juga mencakup 24% anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai tindakan dari bullying dan fighting secara fisik ataupun seksual, bahkan yang lebih parah adalah pembunuhan. Tingkat pembunuhan anak bervariasi, tapi di semua negara, anak laki-laki sebenarnya merupa­kan mayoritas pelaku sekaligus korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada anak perempuan secara global, jauh lebih rendah daripada anak laki-laki di hampir semua negara.

Pembunuhan dan kekerasan pada anak tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini, cedera, dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, sering kali bahkan seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat memengaruhi keluarga korban, teman, dan masyarakat. Pada rentang 2000-2012, tingkat pembunuhan anak menurun di sebagian besar negara, meskipun penurunan telah lebih besar di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% anak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, berupa kekerasan seksual pertama mereka. Laporan Multicountry study on women’s health and domestic violence menyebutkan, kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan anak perempuan. Laporan dari 40 negara berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% anak laki-laki dan 35,8% anak perempuan.

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan pada anak sangat kompleks, meliputi diri anak itu sendiri, keluarga, dan komunitas atau negara. Faktor risiko dalam diri individu anak meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, anak yang tidak dikehendaki, keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh dan sikap antisosial. Selain itu, juga kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan kegagalan di sekolah, berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis, perceraian orangtua, dan paparan kekerasan dalam keluarga.

Faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman meliputi kurangnya pemantauan dan pengawasan anak oleh orangtua, pendidikan disiplin orangtua yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan emosional antara orangtua dan anak yang rendah, keterlibatan orangtua dalam kegiatan anak yang rendah, dan orangtua terlibat dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas. Selain itu, juga tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga yang rendah.

Faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi rendahnya tingkat kohesi sosial dalam masyarakat dan pasokan senjata atau obat-obatan terlarang, tidak adanya alternatif nonkekerasan untuk menyelesaikan konflik antar­anak, ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi, dan kualitas pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini meliputi penegakan hukum dan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan perlindungan sosial.

Program pencegahan kekerasan pada anak meliputi program keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu anak mengelola kemarahan, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan antiintimidasi, dan kurikulum prasekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini.

Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses anak ke alkohol, obat dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah outlet penjualan. Yang terakhir, meningkatkan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi kesempatan anak berkerumun dan mengurangi konsentrasi kemiskinan di suatu wilayah, dengan membantu keluarga pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik.

Momentum Hari Anak Nasional 2017 mengingatkan kita tentang harapan bahwa perlindungan anak akan dimulai dari keluarga. Setiap keluarga seharusnya mampu mengoreksi faktor risiko untuk terjadinya kekerasan pada anak. Sudahkah kita bertindak?
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8518 seconds (0.1#10.140)