PSHTN FHUI: Perppu Ormas Kemunduran Proses Panjang Reformasi
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyatakan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2017 bertentangan dengan Konstitusi dan mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Pernyataan tersebut didasarkan kepada Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 harus dibentuk berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dan mengacu kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Dalam hal ini, Perppu tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden perlu menerbitkan Perppu tentang Ormas," ujar Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri lewat rilis yang diterima SINDOnews, Senin (17/7/2017).
Pihaknya menilai, substansi Perppu Ormas sangat berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena membatasi hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara. Perppu ini juga berpotensi menimbulkan kepemimpinan yang otoriter karena proses pembubaran ormas tidak melalui suatu proses hukum melalui lembaga peradilan.
Lebih daripada itu, kata Mustafa, pemerintah juga harus dibiasakan diri dalam membentuk norma yang menerapan sanksi pidana, tidak boleh tanpa adanya persetujuan dari lembaga perwakilan. "Kita akan setback jauh ke masa lampau manakala membiarkan organ eksekutif menerapkan sanksi pidana dan memenjarakan warga negara tanpa consent dari cabang kekuasaan negara lainnya. Apalagi kondisi ini juga sudah termaktub dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XII/2015," jelasnya.
Dia menilai, selama tiga tahun perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), setidaknya telah diterbitkan empat Perppu; yang kebetulan dalam dua bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan dua Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa.
"PSHTN FHUI menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu," tegas dia.
Di dalam pertimbangannya, lanjut Mustafa, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya.
Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan. Dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu.
"Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya. Apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah," ucapnya.
Mustafa berpandangan, logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti yayasan dan partai politik.
"Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan konstitusi. Kewenangan presiden dalam membentuk Perppu ini jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru.
"Ini bisa mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia," pungkasnya.
"Dalam hal ini, Perppu tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden perlu menerbitkan Perppu tentang Ormas," ujar Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri lewat rilis yang diterima SINDOnews, Senin (17/7/2017).
Pihaknya menilai, substansi Perppu Ormas sangat berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena membatasi hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara. Perppu ini juga berpotensi menimbulkan kepemimpinan yang otoriter karena proses pembubaran ormas tidak melalui suatu proses hukum melalui lembaga peradilan.
Lebih daripada itu, kata Mustafa, pemerintah juga harus dibiasakan diri dalam membentuk norma yang menerapan sanksi pidana, tidak boleh tanpa adanya persetujuan dari lembaga perwakilan. "Kita akan setback jauh ke masa lampau manakala membiarkan organ eksekutif menerapkan sanksi pidana dan memenjarakan warga negara tanpa consent dari cabang kekuasaan negara lainnya. Apalagi kondisi ini juga sudah termaktub dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XII/2015," jelasnya.
Dia menilai, selama tiga tahun perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), setidaknya telah diterbitkan empat Perppu; yang kebetulan dalam dua bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan dua Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa.
"PSHTN FHUI menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu," tegas dia.
Di dalam pertimbangannya, lanjut Mustafa, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya.
Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan. Dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu.
"Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya. Apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah," ucapnya.
Mustafa berpandangan, logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti yayasan dan partai politik.
"Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan konstitusi. Kewenangan presiden dalam membentuk Perppu ini jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru.
"Ini bisa mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia," pungkasnya.
(kri)