Pemindahan Ibu Kota

Rabu, 05 Juli 2017 - 08:15 WIB
Pemindahan Ibu Kota
Pemindahan Ibu Kota
A A A
Isu pemindahan ibu kota kembali mengemuka ke publik. Pemerintah, melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan serius untuk mengerjakan proyek besar ini. Senin (3/7) lalu Menteri Bambang mengaku sudah melakukan rapat dan salah satu hasilnya pemindahan ibu kota akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2018. Kajian pemindahan ibu kota beserta skema pembiayaannya akan rampung di tahun ini.

Alasan dari pemerintah masih sama dengan ketika muncul isu ini berkali-kali di berbagai periode pemerintahan yang lalu, yaitu ketimpangan pembangunan dan ekonomi antara di Pulau Jawa dan luar Jawa. Pemindahan ibu kota negara diharapkan menjadi pemicu perkembangan daerah di luar Jawa. Sayangnya, data kajian pendukung pola pikir ini belum banyak dirilis pemerintah ke publik.

Memang isu pemindahan ibu kota ini menarik, sekaligus juga menjemukan. Menarik karena tentu ada banyak kesempatan baru yang muncul. Terlebih DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya yang telah berkembang menjadi megapolitan mulai menunjukkan tanda-tanda kelumpuhan karena tata kota yang buruk dan kendaraan pribadi yang meroket jumlahnya.

Namun, ia juga menjemukan karena pemindahan ibu kota seperti menjadi dongeng yang tak juga terlaksana. Terhitung mulai dari Jonggol yang masih hanya berjarak puluhan kilometer dari DKI Jakarta hingga Palangkaraya yang ada di seberang Pulau Jawa sudah masuk dalam daftar daerah kandidat ibu kota baru. Tentu publik bertanya-tanya, apakah kali ini pemerintah serius?

Tercatat ada delapan negara yang pernah memindahkan ibu kotanya pada abad ke-20 dan abad ke-21. Pertama, Rusia memindahkan ibu kotanya dari Saint Petersburg ke Moskow pada 1918. Kedua, Pakistan menjadikan Islamabad sebagai ibu kotanya pada tahun 1959 menggantikan posisi Karachi. Ketiga, Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960. Keempat, Pantai Gading menjadikan Yamoussoukro sebagai ibu kota, menggantikan Abidjan pada 1983.

Kelima, Tanzania di Afrika memindahkan ibu kotanya dari Dar Es Salaam pada 1986 ke Dodoma yang tidak berjalan dengan mulus. Keenam, Nigeria memindahkan ibu kotanya dari Lagos ke Abuja pada 1991. Ketujuh, Kazakhstan membangun kota baru Astana menggantikan Almaty pada 1997. Kedelapan, Myanmar menggeser ibu kotanya sejauh 320 km dari Yangon ke Naypidaw pada 2005.

Ada beberapa hal krusial yang harus diperhatikan jika memang pemerintah serius. Pertama, kesiapan dana. Hal yang satu ini sudah menimbulkan keraguan besar mengenai mungkin atau tidaknya perpindahan ibu kota Republik Indonesia. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat pada 20 Oktober 2014 lalu, infrastruktur menjadi program utama. Namun, sejak 2015 hingga tahun ini selalu terjadi defisit besar-besaran sementara sektor penerimaan tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Skema public private partnership (PPP) pun tak bisa diharapkan. Tentu dalam pemindahan ibu kota ini pemerintah tak bisa memaksakan diri dengan keuangan yang terbatas.

Kedua, kesiapan lahan. Pemerintah harus bisa mendapatkan lahan dengan luas yang sangat besar. Lahan ini bukan hanya untuk gedung pemerintahan dan infrastruktur, namun juga untuk lahan permukiman. Dengan itu masyarakat yang terpaksa pindah tak akan terbebani dengan biaya tinggi.

Ketiga, sinkronisasi dengan sektor bisnis dan birokrasi. Jangan sampai pemindahan ibu kota justru membebani sektor bisnis. Karena, kita tahu bersama, sektor birokrasi kita masih sangat buruk. Pemindahan ibu kota tentu membuat sektor bisnis harus berjuang lebih keras lagi untuk efisien.

Keempat, strategi komunikasi yang baik. Isu pindah ibu kota ini selalu saja muncul ke permukaan, lalu kembali menguap. Pemerintah sudah barang tentu paham sekali bahwa mafia tanah, spekulan tanah, serta para pengembang besar sangat suka dengan spekulasi-spekulasi seperti ini yang dilontarkan di ruang publik. Tentu masyarakat umum tidak punya kemampuan untuk menjangkau wilayah-wilayah baru yang nanti akan menjadi ibu kota baru. Pada akhirnya para mafia tanah, spekulan, dan pengembang besar yang akan mendapatkan untung berlipat, sementara masyarakat umum terbebani harga tanah yang sudah telanjur meroket.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6826 seconds (0.1#10.140)