Terobosan Birokrasi
A
A
A
MASALAH birokrasi di Indonesia adalah masalah menahun yang tak kunjung sembuh. Menengok ke belakang, bahkan sejak masa penjajah Belanda, korupnya birokrasi menjadi sebab bangkrutnya VOC. Sekarang pada masa Indonesia kontemporer kita masih juga harus menghadapi masalah yang sama.
Tentu kita tidak bisa berharap sim salabim birokrasi langsung sehat. Butuh waktu panjang dan mungkin melewati beberapa generasi. Namun, langkah terobosan untuk mendorong, bahkan menekan birokrasi untuk berjalan lebih baik sangat perlu.
Peristiwa bersejarah untuk pertama kalinya Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya, Jawa Barat, didarati penerbangan komersial berjadwal menjadi salah satu contoh termutakhir terobosan tersebut. Pada 1 Juli lalu, ATR 72-500 sukses mendarat di sana. Sebelumnya dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman mengeluh pada Presiden Jokowi mengenai penerbangan berjadwal yang tak kunjung menghampiri Tasikmalaya pada 9 Juni lalu.
“Sudah 12 tahun memohon agar ada penerbangan komersial untuk memperlancar kegiatan ekonomi Tasik, tapi tak kunjung terlaksana,” kata wali kota di hadapan Presiden, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, serta Dirjen Perhubungan Udara Agus Santoso yang saat itu ikut hadir menyambut rombongan.
Presiden Jokowi lalu menginstruksikan untuk mem-follow up permintaan yang lama terkatung-katung ini kepada Dirjen Perhubungan Udara. Presiden memberi tenggat dua pekan. Keesokan harinya, Presiden Jokowi kembali ke Lanud Wiriadinata dan ternyata segala urusan agar penerbangan komersial bisa masuk ke lanud itu sudah dibereskan.
Maskapai Wings Air yang merupakan anak perusahaan dari Lion Air Group memulai penerbangan berjadwal dari Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma di Jakarta menuju Bandara (Lanud) Wiriadinata di Tasikmalaya, Jawa Barat), pada 1 Juli lalu. Untuk penerbangan berdurasi 40 menit ini, Wings Air mengoperasikan pesawat baling-baling ATR 72-500 berkapasitas hingga 78 penumpang.
Dalam suatu kesempatan diskusi, salah seorang politikus senior berseloroh bahwa dalam kondisi birokrasi di Indonesia yang regulasinya jelas namun sistemnya tidak berjalan baik, maka diperlukan terobosan strategi untuk memecah kebuntuan. Salah satunya menurut petinggi partai tersebut adalah perlunya mengadopsi konsep dari olahraga bola basket, yaitu man to man marking.
Adopsi yang dimaksud adalah menjaga agar suatu program pembangunan bisa berjalan cepat, maka para stakeholder pemangku kepentingan harus bisa terus mengawal programnya. Dalam birokrasi yang masih banyak hambatannya, maka penjagaan terhadap kebijakan itu harus serius dalam perpindahannya dari meja ke meja birokrasi Indonesia yang sangat panjang.
Ketika de-bottlenecking lewat berbagai program reformasi birokrasi masih belum bisa diharapkan benar, maka de-bottlenecking “paksa” bisa dilakukan lewat konsep man to man marking. Dalam contoh Bandara Wiriadinata, Tasikmalaya, bisa dilihat bagaimana Wali Kota Tasikmalaya serta anggota DPR RI Dapil Jabar XI Nurhayati Monoarfa melakukan penjagaan itu.
Tentu masalah perizinan tak akan mungkin selesai dalam dua hari, apalagi untuk urusan penerbangan yang pertimbangannya sangat banyak. Kalau melihat ke belakang, pada 9 Maret 2017, Wings Air sudah melalukan uji coba pendaratan di Lanud Wiriadinata sebagaimana disampaikan oleh Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman pada media tanggal 10 Maret. Pembangunan terminal bandara pun sudah dikebut oleh Pemkot Tasikmalaya dan Pemprov Jawa Barat pada tahun ini.
Memang yang namanya birokrasi seharusnya tidak berjalan seperti ini. Seharusnya birokrasi bisa berjalan mulus mengikuti kebutuhan masyarakat. Namun, tentu dalam kondisi yang belum ideal ini, terobosan dari para wakil rakyat di eksekutif dan legislatif memiliki peran yang pivotal.
Kita tahu tiap daerah punya wakil rakyat di DPR RI dan DPD. Jika masing-masing wakil tersebut serius mendorong program untuk daerahnya, maka harusnya tak ada lagi daerah yang tak terperhatikan.
Tentu kita tidak bisa berharap sim salabim birokrasi langsung sehat. Butuh waktu panjang dan mungkin melewati beberapa generasi. Namun, langkah terobosan untuk mendorong, bahkan menekan birokrasi untuk berjalan lebih baik sangat perlu.
Peristiwa bersejarah untuk pertama kalinya Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya, Jawa Barat, didarati penerbangan komersial berjadwal menjadi salah satu contoh termutakhir terobosan tersebut. Pada 1 Juli lalu, ATR 72-500 sukses mendarat di sana. Sebelumnya dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman mengeluh pada Presiden Jokowi mengenai penerbangan berjadwal yang tak kunjung menghampiri Tasikmalaya pada 9 Juni lalu.
“Sudah 12 tahun memohon agar ada penerbangan komersial untuk memperlancar kegiatan ekonomi Tasik, tapi tak kunjung terlaksana,” kata wali kota di hadapan Presiden, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, serta Dirjen Perhubungan Udara Agus Santoso yang saat itu ikut hadir menyambut rombongan.
Presiden Jokowi lalu menginstruksikan untuk mem-follow up permintaan yang lama terkatung-katung ini kepada Dirjen Perhubungan Udara. Presiden memberi tenggat dua pekan. Keesokan harinya, Presiden Jokowi kembali ke Lanud Wiriadinata dan ternyata segala urusan agar penerbangan komersial bisa masuk ke lanud itu sudah dibereskan.
Maskapai Wings Air yang merupakan anak perusahaan dari Lion Air Group memulai penerbangan berjadwal dari Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma di Jakarta menuju Bandara (Lanud) Wiriadinata di Tasikmalaya, Jawa Barat), pada 1 Juli lalu. Untuk penerbangan berdurasi 40 menit ini, Wings Air mengoperasikan pesawat baling-baling ATR 72-500 berkapasitas hingga 78 penumpang.
Dalam suatu kesempatan diskusi, salah seorang politikus senior berseloroh bahwa dalam kondisi birokrasi di Indonesia yang regulasinya jelas namun sistemnya tidak berjalan baik, maka diperlukan terobosan strategi untuk memecah kebuntuan. Salah satunya menurut petinggi partai tersebut adalah perlunya mengadopsi konsep dari olahraga bola basket, yaitu man to man marking.
Adopsi yang dimaksud adalah menjaga agar suatu program pembangunan bisa berjalan cepat, maka para stakeholder pemangku kepentingan harus bisa terus mengawal programnya. Dalam birokrasi yang masih banyak hambatannya, maka penjagaan terhadap kebijakan itu harus serius dalam perpindahannya dari meja ke meja birokrasi Indonesia yang sangat panjang.
Ketika de-bottlenecking lewat berbagai program reformasi birokrasi masih belum bisa diharapkan benar, maka de-bottlenecking “paksa” bisa dilakukan lewat konsep man to man marking. Dalam contoh Bandara Wiriadinata, Tasikmalaya, bisa dilihat bagaimana Wali Kota Tasikmalaya serta anggota DPR RI Dapil Jabar XI Nurhayati Monoarfa melakukan penjagaan itu.
Tentu masalah perizinan tak akan mungkin selesai dalam dua hari, apalagi untuk urusan penerbangan yang pertimbangannya sangat banyak. Kalau melihat ke belakang, pada 9 Maret 2017, Wings Air sudah melalukan uji coba pendaratan di Lanud Wiriadinata sebagaimana disampaikan oleh Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman pada media tanggal 10 Maret. Pembangunan terminal bandara pun sudah dikebut oleh Pemkot Tasikmalaya dan Pemprov Jawa Barat pada tahun ini.
Memang yang namanya birokrasi seharusnya tidak berjalan seperti ini. Seharusnya birokrasi bisa berjalan mulus mengikuti kebutuhan masyarakat. Namun, tentu dalam kondisi yang belum ideal ini, terobosan dari para wakil rakyat di eksekutif dan legislatif memiliki peran yang pivotal.
Kita tahu tiap daerah punya wakil rakyat di DPR RI dan DPD. Jika masing-masing wakil tersebut serius mendorong program untuk daerahnya, maka harusnya tak ada lagi daerah yang tak terperhatikan.
(poe)