Semangat Memaafkan Idul Fitri
A
A
A
PERTUNJUKAN mudik di negeri ini dalam menyambut Idul Fitri adalah suatu pertunjukan kolosal dengan skala yang sangat besar. Semangat jutaan rakyat negeri ini melakukan perjalanan dari daerah-daerah urban tempatnya merantau kembali ke kampung tempatnya dilahirkan atau tempat leluhurnya beranak-pinak begitu luar biasa.
Semangat mudik adalah semangat yang sangat positif. Suasana kehangatan Ramadan dan Lebaran membuat banyak umat Islam yang merantau di berbagai kota metropolis di Indonesia ingin kembali berkumpul dengan keluarga setelah bekerja keras mencari nafkah.
Berkumpul dengan keluarga diyakini oleh para pemudik bisa menjadi penyemangat untuk menjalani kehidupan di kota satu tahun ke depan. Mudik menjadi pelipur lara kerasnya bertarung di perantauan.
Mudik dan Idul Fitri menjadi sarana untuk menghapuskan semua kesalahan yang terjadi antarsesama manusia. Semangat inilah yang menjadikan mudik sebagai hal yang selalu dinanti.
Tak ada halangan yang bisa menghadang hasrat berkumpul dengan sanak famili lewat mudik. Tantangan biaya selalu dapat diatasi, tantangan waktu selalu bisa disiasati, bahkan tantangan kemacetan luar biasa selalu bisa dimaklumi oleh para pemudik.
Kesemuanya tak sebanding dengan kenikmatan berkumpul dengan keluarga di hari raya terbesar umat Islam ini, Idul Fitri. Idul Fitri yang dirayakan salah satunya dengan mudik ke kampung halaman ini harus kita gapai substansinya. Idul Fitri itu bicara tentang saling memaafkan.
Momen ini adalah salah satu mekanisme yang sangat baik untuk membangun kembali semangat kebersamaan. Karena bagaimanapun manusia itu adalah sumber kesalahan.
Maka itu, terlepas dari berbagai macam masalah mudik yang kita lihat, tentu sangat elok kita sebagai bangsa untuk menengok kembali apa inti dari semangat Idul Fitri yang baru saja dirayakan ini. Inti dari hari raya ini adalah kembalinya umat Islam ke keadaan fitrah setelah sebulan menjalankan ibadah puasa.
Lalu bagaimana menerjemahkan kembalinya ke keadaan fitrah tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Satu hal penting dalam menerjemahkannya adalah kita harus menginternalisasi dan mengimplementasikan semangat fitrah tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selama ini bangsa ini masih mengalami keterpecahan yang luar biasa setelah nyaris tersegregasi pada momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Keterbelahan yang terjadi begitu nyata sehingga kondisi “kami dan kalian” terasa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Harusnya perpecahan seperti ini bisa terobati dengan semangat Idul Fitri. Kesalahan dalam kehidupan sosial politik pasti muncul, maka momen ini bisa jadi obatnya.
Namun rupanya perpecahan yang sempat sedikit mereda itu berlanjut pada 2017 ini seiring meningginya tensi Pilkada DKI Jakarta. Seperti kita tahu, yang namanya pendukung ada yang posisinya moderat dan keras. Sangat disayangkan ketika kelompok keras dari kedua belah pihak yang bersitegang justru mampu merebut sorotan.
Jika kita terus menyoroti pandangan kelompok, luka-luka baru dalam kehidupan sosial politik kita akan terus bermunculan. Namun kalau kita mau menggeser sedikit sorotan kita pada kelompok-kelompok moderat yang sepenuh tenaga menjaga kewarasan sosial politik Indonesia, kita akan bisa lihat semangat kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang kuat di sana.
Dari sana kita akan makin yakin bahwa ini adalah proses pembelajaran yang memang sering kali melukai hati. Tinggal maukah kita membuka hati untuk suatu rasa maaf sehingga kita bisa kembali sebagai bangsa yang fitri? Bangsa yang mencapai derajat yang tinggi dan menggapai kemenangan.
Semoga semangat Idul Fitri ini bisa meresap dalam semangat bernegara kita dan menjadi bahan bakar kemajuan bangsa dan negeri ini.
Semangat mudik adalah semangat yang sangat positif. Suasana kehangatan Ramadan dan Lebaran membuat banyak umat Islam yang merantau di berbagai kota metropolis di Indonesia ingin kembali berkumpul dengan keluarga setelah bekerja keras mencari nafkah.
Berkumpul dengan keluarga diyakini oleh para pemudik bisa menjadi penyemangat untuk menjalani kehidupan di kota satu tahun ke depan. Mudik menjadi pelipur lara kerasnya bertarung di perantauan.
Mudik dan Idul Fitri menjadi sarana untuk menghapuskan semua kesalahan yang terjadi antarsesama manusia. Semangat inilah yang menjadikan mudik sebagai hal yang selalu dinanti.
Tak ada halangan yang bisa menghadang hasrat berkumpul dengan sanak famili lewat mudik. Tantangan biaya selalu dapat diatasi, tantangan waktu selalu bisa disiasati, bahkan tantangan kemacetan luar biasa selalu bisa dimaklumi oleh para pemudik.
Kesemuanya tak sebanding dengan kenikmatan berkumpul dengan keluarga di hari raya terbesar umat Islam ini, Idul Fitri. Idul Fitri yang dirayakan salah satunya dengan mudik ke kampung halaman ini harus kita gapai substansinya. Idul Fitri itu bicara tentang saling memaafkan.
Momen ini adalah salah satu mekanisme yang sangat baik untuk membangun kembali semangat kebersamaan. Karena bagaimanapun manusia itu adalah sumber kesalahan.
Maka itu, terlepas dari berbagai macam masalah mudik yang kita lihat, tentu sangat elok kita sebagai bangsa untuk menengok kembali apa inti dari semangat Idul Fitri yang baru saja dirayakan ini. Inti dari hari raya ini adalah kembalinya umat Islam ke keadaan fitrah setelah sebulan menjalankan ibadah puasa.
Lalu bagaimana menerjemahkan kembalinya ke keadaan fitrah tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Satu hal penting dalam menerjemahkannya adalah kita harus menginternalisasi dan mengimplementasikan semangat fitrah tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selama ini bangsa ini masih mengalami keterpecahan yang luar biasa setelah nyaris tersegregasi pada momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Keterbelahan yang terjadi begitu nyata sehingga kondisi “kami dan kalian” terasa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Harusnya perpecahan seperti ini bisa terobati dengan semangat Idul Fitri. Kesalahan dalam kehidupan sosial politik pasti muncul, maka momen ini bisa jadi obatnya.
Namun rupanya perpecahan yang sempat sedikit mereda itu berlanjut pada 2017 ini seiring meningginya tensi Pilkada DKI Jakarta. Seperti kita tahu, yang namanya pendukung ada yang posisinya moderat dan keras. Sangat disayangkan ketika kelompok keras dari kedua belah pihak yang bersitegang justru mampu merebut sorotan.
Jika kita terus menyoroti pandangan kelompok, luka-luka baru dalam kehidupan sosial politik kita akan terus bermunculan. Namun kalau kita mau menggeser sedikit sorotan kita pada kelompok-kelompok moderat yang sepenuh tenaga menjaga kewarasan sosial politik Indonesia, kita akan bisa lihat semangat kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang kuat di sana.
Dari sana kita akan makin yakin bahwa ini adalah proses pembelajaran yang memang sering kali melukai hati. Tinggal maukah kita membuka hati untuk suatu rasa maaf sehingga kita bisa kembali sebagai bangsa yang fitri? Bangsa yang mencapai derajat yang tinggi dan menggapai kemenangan.
Semoga semangat Idul Fitri ini bisa meresap dalam semangat bernegara kita dan menjadi bahan bakar kemajuan bangsa dan negeri ini.
(poe)