Meninjau (Istilah) Persekusi

Rabu, 14 Juni 2017 - 09:00 WIB
Meninjau (Istilah) Persekusi
Meninjau (Istilah) Persekusi
A A A
Dicky Pelupessy
Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI, Pernah Mengikuti Sekolah Musim Panas mengenai Forced Migration di Refugee Studies Centre, University of Oxford

Media sosial sering kali mem-viral-kan foto atau video suatu peristiwa. Tidak sesering foto atau video, media sosial juga kadang memviralkan istilah (biasanya istilah gaul atau alay, seperti misalnya "baper") atau ungkapan bernada lucu (misalnya "sakitnya tuh di sini" atau "di situ saya merasa sedih").

Kali ini, cukup mengejutkan, media sosial kita mem-viral-kan istilah yang serius, yaitu persekusi. Ya, istilah persekusi secara tiba-tiba menjadi viral, dan bagi banyak orang istilah persekusi tidak ada di dalam kosakata mereka sampai kemudian istilah ini viral di media sosial. Istilah persekusi ini umumnya dipahami dari kejadian yang dialami dokter Fiera Lovita di Solok dan kejadian serupa yang dialami seorang remaja di Cipinang, Jakarta Timur.

Istilah

Arti kata dari istilah persekusi ini tentu saja dapat peroleh dari Kamus Besar Bahasa Indo­nesia (KBBI). Menurut KBBI, persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Bagi saya, istilah persekusi pertama kali saya dapati saat menjalani studi pasca­sarjana 13 tahun lalu. Saya mengenal istilah persekusi untuk pertama kali saat mengikuti kuliah modul urusan kemanusiaan (humanitarian affairs) yang membahas tentang krisis dan darurat kemanusiaan. Kemudian, saya makin familier dengan istilah persekusi saat mengikuti sekolah musim panas mengenai forced migration pada tahun 2008.

Sampai sebelum kasus dokter Fiera viral di media sosial kita, istilah persekusi yang saya pahami erat kaitannya dengan isu mengenai pencari suaka (asylum seeker) dan pengungsi (refugee). Dalam isu ini, persekusi merupakan istilah kunci (key term) dan bahkan konsep kunci (key concept). Persekusi didefinisikan kurang lebih sebagai perlakuan salah, bisa dalam bentuk kekerasan (ancaman pembunuhan, pemenjaraan semena-mena/tanpa proses peradilan, penyiksaan dan sejenisnya) maupun diskriminasi yang serius dan berkelanjutan (sustained). Perlakuan salah ini dilakukan oleh pelaku, bisa negara atau kelompok yang tidak dapat dikendalikan oleh negara, yang ditujukan kepada target atas dasar ras, keyakinan, kebangsaan, keanggotaan kelompok, atau pandangan politik si target.

Ada tidaknya persekusi inilah yang menjadi dasar penilaian apakah seseorang memenuhi kriteria sebagai pencari suaka dan pada akhirnya bisa mendapat status sebagai pengungsi. Dengan kata lain, untuk mencari suaka dan menjadi pengungsi harus ada "syarat" telah terjadi persekusi. Jelas disebutkan di dalam Konvensi dan Protokol tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah orang yang mengungsi melintasi batas negara karena 'ada bukti yang sangat kuat takut mengalami tindakan persekusi' (owing to well-founded fear of being persecuted) di negara asalnya.

Dalam hal orang telah diakui sebagai pencari suaka dan apalagi setelah mendapat status pengungsi, berlaku prinsip non-refoulement sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap pencari suaka dan pengungsi. Prinsip ini menyatakan bahwa seorang pencari suaka atau pengungsi tidak dapat secara paksa dikembalikan/dipulangkan ke negara asalnya karena mungkin akan kembali mengalami persekusi. Bagi mereka yang telah mendapatkan status pengungsi- yang ditetapkan oleh Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) - maka mereka berhak memperoleh solusi jangka panjang (durable solutions). Solusi jangka panjang yang umumnya dijadikan pilihan adalah menempatkan secara permanen di negara di mana mereka mencari suaka atau di negara ketiga.

Hati-hati
Viral dan populernya istilah persekusi di satu sisi positif karena meningkatkan kesadaran kita akan istilah persekusi itu sendiri. Namun, di sisi lain kita perlu menyadari bahwa apabila persekusi dianggap sedemikian marak terjadi, maka kondisi keamanan masyarakat dapat dinilai tidak cukup terkendali. Meski istilah persekusi tidak viral dan tidak banyak dipakai saat itu, konflik yang pernah terjadi di Aceh dan kerusuhan Mei 1998 telah membuat beberapa negara luar menerima permintaan suaka sejumlah orang (hingga mencapai ribuan orang) dengan alasan terjadi per­sekusi sebagai akibat ter­jadinya konflik dan kondisi keamanan masyarakat yang tidak cukup terkendali.

Apabila persekusi, seakan-akan ataupun benar, terjadi di mana-mana, maka bisa ditafsirkan bukan hanya kondisi keamanan masyarakat yang tidak cukup terkendali, tetapi juga kinerja aparat keamanan yang kurang optimal. Sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, kepolisian bisa saja dinilai kurang optimal menjalankan tugasnya untuk memberikan perlindungan kepada warga masyarakat yang membutuhkan. Bisa saja juga kepolisian dianggap kurang tegas menegakkan hukum karena ketidakmampuannya mengendalikan perilaku sebagian warga masyarakat yang bertindak sendiri.

Oleh karena itu, sesungguhnya penting untuk berhati-hati dalam menggunakan istilah persekusi. Maraknya peristiwa yang dikenai dengan istilah persekusi, bukan saja menunjukkan bermasalahnya kondisi keamanan masyarakat dan penegakan hukum atas peristiwa yang disebut sebagai persekusi.

Lebih dari itu, memunculkan pertanyaan bagi kita semua, apakah kita bisa menerima seandainya Indonesia dikenal sebagai negara asal dari para pencari suaka dan pengungsi seperti negara tetangga, Myanmar sebagai negara asal orang Rohingya? Kalau saya, tidak!
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8337 seconds (0.1#10.140)