Memaknai Empat Skenario Insiden Teror Inggris
A
A
A
Frega Wenas Inkiriwang
Dosen Unhan dan Awardee LPDP Kandidat PhD di The London School of Economics and Political Science, Inggris
PADA tahun 2017, Inggris tampaknya menjadi salah satu sasaran empuk dari sejumlah aksi teror. Hanya dalam hitungan bulan, beberapa insiden teror telah memakan korban jiwa di negeri itu. Masih hangat dalam ingatan kita teror Westminster yang terjadi Maret 2017 lalu.
Khalid Masood, warga Inggris keturunan Timur Tengah, melancarkan aksinya di Jembatan Westminster yang merupakan salah satu ikon Kota London karena berdekatan dengan Big Ben dan Palace of Westminster (Gedung Parlemen Inggris). Awalnya diduga aksi tersebut terkait NIIS namun tidak terbukti.
Aksi yang dilakukan Masood adalah murni karena motif pribadi yang terinspirasi dengan pola teror dilakukan NIIS menyerang aparat keamanan. Sang pelaku bukan hanya menewaskan seorang polisi, tetapi juga sejumlah masyarakat sipil yang mengejutkan warga London.
Berselang dua bulan dari Westminster Attack, insiden teror kembali melanda Inggris. Sebuah bom bunuh diri meledak di Manchester pada 22 Mei lalu, ketika berakhirnya konser musik Ariana Grande, seorang penyanyi Amerika Serikat. Korbannya kebanyakan remaja dan orang tua yang menjemput anak-anak mereka.
Si pelaku, Salman Abedi, warga Inggris keturunan Libia, diidentifikasi merupakan pelakunya yang terkait NIIS. Insiden teror bom Manchester ini menewaskan 22 orang termasuk di antaranya dua warga Polandia yang sedang menjemput anak mereka.
Belum lama berselang, Inggris kembali dikejutkan dengan insiden teror di London pada malam hari 3 Juni 2017. Insiden teror terjadi di tiga titik berbeda. Pertama di London Bridge, salah satu jembatan yang merupakan ikon Kota London dan dijadikan lirik lagu populer.
Sebuah mobil van menabrak pejalan kaki dengan kecepatan kencang. Modusnya serupa dengan insiden teror Westminster terdahulu. Pelaku pun menurut para saksi mata, setelah menabrak, keluar menggunakan senjata tajam dan menusuk pejalan kaki yang berada di sekitarnya.
Insiden kedua terjadi di Borough Market, lokasinya berdekatan dengan London Bridge. Sementara insiden ketiga di Vauxhall yang berada di selatan London.
Ketiga insiden ini tentu kembali mengejutkan warga Inggris. Belum genap sebulan insiden teror bom Manchester berlalu, telah terjadi aksi teror lain yang mencemaskan warga. Apalagi pascakejadian, pihak keamanan memblokade daerah sekitar TKP dan merazia sejumlah pub maupun tempat-tempat publik. Setelah terjadinya insiden, Perdana Menteri Theresa May pun langsung menerima briefing tentang perkembangan situasi keamanan.
Ia bahkan berkoordinasi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang perkembangan yang ada. Mencermati situasi keamanan yang terjadi di Inggris akhir-akhir ini, tentu mengherankan mengingat Inggris terkenal sebagai salah satu negara yang ketat sistem keamanannya.
Ada beberapa skenario mungkin bisa dimaknai dari insiden-insiden teror di Inggris tersebut. Pertama, tentu adalah murni karena menjadi aksi sasaran dari jaringan teroris yang berafiliasi dengan NIIS seperti bom Manchester. Inggris merupakan sekutu Amerika yang selalu ikut dalam misi-misi militer multinasional, seperti Afghanistan dan Irak.
Tentu keterlibatan Inggris ini berpotensi menimbulkan dendam dari jaringan teroris yang menjadi musuhnya. Masih hangat aksi bom London tahun 2005 yang terjadi di sejumlah titik dan menewaskan lebih dari 50 orang.
Skenario kedua, tentu adalah insiden teror tersebut merupakan motif murni individu yang merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Modus operandinya terinspirasi dengan aksi-aksi yang telah dilakukan jaringan teroris terkait dengan NIIS. Salah satunya seperti yang dilakukan Khaled Masood di Palace of Westminster, London.
Sementara skenario ketiga adalah kemungkinan adanya aksi yang dilatarbelakangi motif lawan politik. Inggris pada 8 Juni 2017 menyelenggarakan pemilu yang menentukan mayoritas di parlemen dan Perdana Menteri yang akan memimpin. Dengan berulangnya aksi teror, tentu bisa mengurangi kepercayaan publik akan pemerintahan yang dipimpin Theresa May.
Kredibilitas PM May menjadi diragukan dalam menangani masalah keamanan negara karena terjadi insiden teror beberapa kali dalam tempo singkat. Skenario terakhir kemungkinan berkaitan dengan opsi Brexit dalam referendum Juni tahun 2016 lalu. PM May dikenal sangat mendukung Brexit dan menginginkan agar prosesnya bisa segera difinalisasi.
Namun dengan terjadi insiden teror yang berulang, sangat berpotensi menciptakan opini publik akan perlunya kolaborasi dengan negara Uni Eropa. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi sejumlah aksi teror di Prancis dan Jerman.
Tentu dengan pisahnya Inggris dari Uni Eropa akan mengurangi aset yang ada, mengingat Inggris memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan terorisme, baik oleh polisi maupun militer serta unit intelijennya.
Keempat skenario ini kemungkinan besar melatarbelakangi terjadinya insiden-insiden teror di Inggris. Bukan tidak mungkin ada skenario yang juga terjadi secara bersamaan. Mencermati perkembangan tersebut, tentu Indonesia harus lebih mawas diri.
Negara seperti Inggris dengan sistem keamanan jauh lebih maju dan masyarakat yang demokratis masih menjadi sasaran teror. Indonesia dengan latar belakang yang lebih kompleks tentu harus mengantisipasi agar tidak terjadi aksi serupa di Tanah Air.
Kolaborasi antara semua elemen nasional, baik pihak kepolisian, militer, dan masyarakat sekalipun, menjadi kunci keberhasilan dari penanggulangan aksi terorisme di Tanah Air. Usulan Revisi Undang-Undang Terorisme yang ada saat ini untuk melegitimasi kewenangan TNI tentu menentukan keberhasilan pada masa mendatang.
Dosen Unhan dan Awardee LPDP Kandidat PhD di The London School of Economics and Political Science, Inggris
PADA tahun 2017, Inggris tampaknya menjadi salah satu sasaran empuk dari sejumlah aksi teror. Hanya dalam hitungan bulan, beberapa insiden teror telah memakan korban jiwa di negeri itu. Masih hangat dalam ingatan kita teror Westminster yang terjadi Maret 2017 lalu.
Khalid Masood, warga Inggris keturunan Timur Tengah, melancarkan aksinya di Jembatan Westminster yang merupakan salah satu ikon Kota London karena berdekatan dengan Big Ben dan Palace of Westminster (Gedung Parlemen Inggris). Awalnya diduga aksi tersebut terkait NIIS namun tidak terbukti.
Aksi yang dilakukan Masood adalah murni karena motif pribadi yang terinspirasi dengan pola teror dilakukan NIIS menyerang aparat keamanan. Sang pelaku bukan hanya menewaskan seorang polisi, tetapi juga sejumlah masyarakat sipil yang mengejutkan warga London.
Berselang dua bulan dari Westminster Attack, insiden teror kembali melanda Inggris. Sebuah bom bunuh diri meledak di Manchester pada 22 Mei lalu, ketika berakhirnya konser musik Ariana Grande, seorang penyanyi Amerika Serikat. Korbannya kebanyakan remaja dan orang tua yang menjemput anak-anak mereka.
Si pelaku, Salman Abedi, warga Inggris keturunan Libia, diidentifikasi merupakan pelakunya yang terkait NIIS. Insiden teror bom Manchester ini menewaskan 22 orang termasuk di antaranya dua warga Polandia yang sedang menjemput anak mereka.
Belum lama berselang, Inggris kembali dikejutkan dengan insiden teror di London pada malam hari 3 Juni 2017. Insiden teror terjadi di tiga titik berbeda. Pertama di London Bridge, salah satu jembatan yang merupakan ikon Kota London dan dijadikan lirik lagu populer.
Sebuah mobil van menabrak pejalan kaki dengan kecepatan kencang. Modusnya serupa dengan insiden teror Westminster terdahulu. Pelaku pun menurut para saksi mata, setelah menabrak, keluar menggunakan senjata tajam dan menusuk pejalan kaki yang berada di sekitarnya.
Insiden kedua terjadi di Borough Market, lokasinya berdekatan dengan London Bridge. Sementara insiden ketiga di Vauxhall yang berada di selatan London.
Ketiga insiden ini tentu kembali mengejutkan warga Inggris. Belum genap sebulan insiden teror bom Manchester berlalu, telah terjadi aksi teror lain yang mencemaskan warga. Apalagi pascakejadian, pihak keamanan memblokade daerah sekitar TKP dan merazia sejumlah pub maupun tempat-tempat publik. Setelah terjadinya insiden, Perdana Menteri Theresa May pun langsung menerima briefing tentang perkembangan situasi keamanan.
Ia bahkan berkoordinasi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang perkembangan yang ada. Mencermati situasi keamanan yang terjadi di Inggris akhir-akhir ini, tentu mengherankan mengingat Inggris terkenal sebagai salah satu negara yang ketat sistem keamanannya.
Ada beberapa skenario mungkin bisa dimaknai dari insiden-insiden teror di Inggris tersebut. Pertama, tentu adalah murni karena menjadi aksi sasaran dari jaringan teroris yang berafiliasi dengan NIIS seperti bom Manchester. Inggris merupakan sekutu Amerika yang selalu ikut dalam misi-misi militer multinasional, seperti Afghanistan dan Irak.
Tentu keterlibatan Inggris ini berpotensi menimbulkan dendam dari jaringan teroris yang menjadi musuhnya. Masih hangat aksi bom London tahun 2005 yang terjadi di sejumlah titik dan menewaskan lebih dari 50 orang.
Skenario kedua, tentu adalah insiden teror tersebut merupakan motif murni individu yang merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Modus operandinya terinspirasi dengan aksi-aksi yang telah dilakukan jaringan teroris terkait dengan NIIS. Salah satunya seperti yang dilakukan Khaled Masood di Palace of Westminster, London.
Sementara skenario ketiga adalah kemungkinan adanya aksi yang dilatarbelakangi motif lawan politik. Inggris pada 8 Juni 2017 menyelenggarakan pemilu yang menentukan mayoritas di parlemen dan Perdana Menteri yang akan memimpin. Dengan berulangnya aksi teror, tentu bisa mengurangi kepercayaan publik akan pemerintahan yang dipimpin Theresa May.
Kredibilitas PM May menjadi diragukan dalam menangani masalah keamanan negara karena terjadi insiden teror beberapa kali dalam tempo singkat. Skenario terakhir kemungkinan berkaitan dengan opsi Brexit dalam referendum Juni tahun 2016 lalu. PM May dikenal sangat mendukung Brexit dan menginginkan agar prosesnya bisa segera difinalisasi.
Namun dengan terjadi insiden teror yang berulang, sangat berpotensi menciptakan opini publik akan perlunya kolaborasi dengan negara Uni Eropa. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi sejumlah aksi teror di Prancis dan Jerman.
Tentu dengan pisahnya Inggris dari Uni Eropa akan mengurangi aset yang ada, mengingat Inggris memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan terorisme, baik oleh polisi maupun militer serta unit intelijennya.
Keempat skenario ini kemungkinan besar melatarbelakangi terjadinya insiden-insiden teror di Inggris. Bukan tidak mungkin ada skenario yang juga terjadi secara bersamaan. Mencermati perkembangan tersebut, tentu Indonesia harus lebih mawas diri.
Negara seperti Inggris dengan sistem keamanan jauh lebih maju dan masyarakat yang demokratis masih menjadi sasaran teror. Indonesia dengan latar belakang yang lebih kompleks tentu harus mengantisipasi agar tidak terjadi aksi serupa di Tanah Air.
Kolaborasi antara semua elemen nasional, baik pihak kepolisian, militer, dan masyarakat sekalipun, menjadi kunci keberhasilan dari penanggulangan aksi terorisme di Tanah Air. Usulan Revisi Undang-Undang Terorisme yang ada saat ini untuk melegitimasi kewenangan TNI tentu menentukan keberhasilan pada masa mendatang.
(whb)