Mendefinisikan Ulang Sosok Teroris
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Pansus RUU Terorisme DPR RI
PERISTIWA ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta, beberapa waktu lalu, seperti gelegar petir di siang bolong.
Selain menewaskan dan melukai aparat polisi dan masyarakat sipil, dentuman bom di malam jahanam itu juga memaksa kita untuk mempertanyakan, apakah Indonesia memang belum aman dari ancaman teroris? Seperti sudah diduga, sejumlah petinggi negeri pun mendesak agar penyelesaian dan pengesahan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUUPTPT) dipercepat.
Desakan percepatan ini mengingatkan kita saat peristiwa ledakan Bom Thamrin, awal Januari 2016 lalu.
Setuju atau tidak, perubahan undang-undang bukanlah satu-satunya solusi menyelesaikan persoalan terorisme di Indonesia, sebab kita tidak mau mengulang kesalahan yang sama saat Pemerintah menghadapi kegentingan yang memaksa dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Akibatnya, atmosfer Perppu tersebut cenderung dinilai represif dan sekadar menjerat dan melumpuhkan pelaku teroris Bom Bali 2002 silam.
Tidak heran jika kemudian salah tangkap terduga teroris seakan menjadi gejala yang kerap terjadi.
Langkah negara pun yang diwakili Detasemen Khusus 88 menjadi sorotan publik. Bahkan, sebagian besar kasus terorisme di negeri ini selalu identik atau diidentikkan dengan aktivis-aktivis Islam.
Upaya pemberantasan terorisme belakangan ini pun cenderung membuat publik jenuh. Pelaku terorisme seolah semakin tumbuh dan berkembang dengan pola dan nama yang baru, sesuai dengan dinamika politik global.
Tidak heran jika sejumlah pihak melihat upaya penanganan terorisme seolah dilakukan berdasarkan pesanan dan intervensi asing. Drama salah tangkap yang kerap dilakukan Densus 88 sering kali merugikan banyak pihak.
Tidak jarang, akibat pertemanan dan teman sepengajian pun bisa langsung ditangkap dan diduga terlibat aksi terorisme. Kasus yang dialami Fahrudin bisa menjadi contoh.
Fahrudin adalah terdakwa kasus ledakan Bom Thamrin. Di depan majelis hakim, Fahrudin menyatakan tidak terlibat aksi tersebut. Korban salah tangkap dalam kasus terorisme kerap berakhir tanpa upaya pemulihan nama baik, bahkan ada yang sampai tewas.
Radikalisme
Seiring berjalannya waktu, gerakan terorisme semakin diimpitkan dengan radikalisme dalam memahami agama Islam, dan juga tentang sistem pemerintahan serta konstitusi negara.
Ada dugaan modus tebar isu, pancing, dan jebak kerap ditebarkan secara sistemik. Praktis, produk yang dihasilkan adalah kekerasan, adu domba, dan saling membunuh.
Gagal paham menentukan seseorang sebagai teroris ini pun terjadi pada serangan teroris yang terjadi di Bandara Orly, Paris pada Sabtu, 18 Maret 2017 lalu. Dalam serangan tersebut, seorang pria bersenjata, Ziyed Ben Belgacem, 39, berhasil ditembak mati oleh pasukan keamanan bandara.
Belgacem tewas setelah ia menodongkan senjata api ke kepala seorang petugas keamanan wanita. Dengan suara lantang, ia ingin mati untuk Allah SWT.
Belakangan, jaksa antiteror Prancis, Francois Molins, membuka hasil penyelidikannya dan mengungkapkan bahwa Ziyed tidak terkait dengan kelompok radikal Islam seperti dugaan sebelumnya. Ziyed diketahui memiliki beberapa catatan kriminal dan hasil autopsi menunjukkan ia mengonsumsi kokain.
Dari kasus Ziyed ini, muncul pertanyaan, individu seperti apa yang berpotensi menjadi seorang teroris? Sejumlah ahli menganjurkan agar dalam melakukan penggambaran ini kita mesti hati-hati karena suatu insiden teror dipercaya berakar dari kemarahan dan selalu diikuti dengan berita dan analisis spekulatif di berbagai media.
Tidak jarang kemudian diikuti dengan kesalahan dalam merepresentasikan apa yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum.
Fakta sejarah membuktikan dua hal terkait isu terorisme. Pertama , sejarah terorisme klasik sejatinya merupakan anak kandung dari dan dibesarkan oleh peradaban barat sendiri. Kekerasan dan terorisme di belahan dunia timur baru terjadi pada awal abad ke 20.
Kedua, ada kecenderungan kuat di Barat dalam memandang Islam Timur Tengah sebagai salah satu kawasan surga bagi kekerasan politik dan terorisme. Padahal kekerasan dan terorisme kontemporer itu juga bersumber dari barat sendiri.
Sayangnya, realita ini sering kali diabaikan. Faktanya, perbedaan antara Timur/Islam dan Barat dengan mempertimbangkan penggunaan kekerasan/terorisme, hanya perbedaan bentuk, bukan substansi. Hal yang pasti keduanya telah membunuh sejumlah besar penduduk selama beberapa dekade terakhir.
UU Terorisme
Perang genderang terhadap aksi terorisme yang digaungkan oleh George W Bush semasa menjadi presiden AS, yang kini masih nyaring kedengarannya telah mendorong pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).
UUPTPT dianggap tak lagi merespons laju kejahatan terorisme yang kian berubah bentuk dan modus. Namun, pengesahan RUUPTPT tak bisa dipaksa untuk dipercepat. Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam mereformulasi kriteria teroris.
Pertama , ketidakjelasan menetapkan seseorang sebagai teroris jelas telah membawa dampak nyata bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian selama ini dialami korban salah tangkap.
Dampaknya antara lain: pertama, penyiksaan [torture ]. Kejadian yang dialami Sukamto, Syafrudin, Syamsul, Jufri dan Syamsudin di Poso pada Desember 2012 lalu dan Siyono di Klaten pada Maret 2016 menunjukkan bukti adanya penyiksaan. setelah ditangkap, mereka pun dipulangkan dalam kondisi fisik yang babak belur.
Kedua , Stigmatisasi. Tindakan aparat penegak hukum secara subyektif menentukan seseorang sebagai kelompok radikal atau teroris telah memberikan stigma terhadap orang tersebut di mata publik bahwa yang bersangkutan adalah teroris.
Dampak ini tidak hanya dialami oleh yang bersangkutan, tetapi juga akan berimbas terhadap keluarga besar yang akan semakin dikucilkan masyarakat.
Ketiga, kehilangan penghasilan. Hal yang sama dialami Angga Dimas, Bambang Sukirno, Wiji Joko Santoso yang bergabung dalam Yayasan Hilal Ahmar dan masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1837/Pen.Pid/2015/PN.Jkt.Pst tanggal 26 November 2015.
Mereka harus menderita karena hilangnya penghasilan usahanya menerbitkan buku kesehatan dan harus menghentikan kegiatan sosialnya dalam membantu umat Islam di daerah konflik karena semua rekening miliknya diblokir.
Akhirnya upaya mereformulasi ketentuan menentukan seseorang itu teroris atau bukan, mutlak dipertegas. Tentu kita tidak mau terbawa situasi adu domba antarumat beragama dijadikan salah satu alasan untuk menjerat seseorang menjadi teroris atau bukan.
Rancangan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana teroris sejatinya harus menjawab kegelisahan masyarakat yang menjadi korban akibat hegemoni kekuasaan dan tindakan brutal oknum aparat atas nama pelaku atau jaringan dari kelompok teroris.
Selain itu, upaya transformasi regulasi menuju pengaturan rancangan undang-undang PTPT yang lebih komprehensif harus memperhatikan kegelisahan umat Islam yang merasa agamanya dibajak dan disalahgunakan oleh kelompok ekstremis-teroris.
Upaya perubahan undang-undang ini diharapkan mendefinisikan ulang guna menegaskan dengan pasti atas jawaban siapa yang dimaksud dengan teroris yang sejati [baca: ideologi] tersebut.
Anggota Pansus RUU Terorisme DPR RI
PERISTIWA ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta, beberapa waktu lalu, seperti gelegar petir di siang bolong.
Selain menewaskan dan melukai aparat polisi dan masyarakat sipil, dentuman bom di malam jahanam itu juga memaksa kita untuk mempertanyakan, apakah Indonesia memang belum aman dari ancaman teroris? Seperti sudah diduga, sejumlah petinggi negeri pun mendesak agar penyelesaian dan pengesahan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUUPTPT) dipercepat.
Desakan percepatan ini mengingatkan kita saat peristiwa ledakan Bom Thamrin, awal Januari 2016 lalu.
Setuju atau tidak, perubahan undang-undang bukanlah satu-satunya solusi menyelesaikan persoalan terorisme di Indonesia, sebab kita tidak mau mengulang kesalahan yang sama saat Pemerintah menghadapi kegentingan yang memaksa dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Akibatnya, atmosfer Perppu tersebut cenderung dinilai represif dan sekadar menjerat dan melumpuhkan pelaku teroris Bom Bali 2002 silam.
Tidak heran jika kemudian salah tangkap terduga teroris seakan menjadi gejala yang kerap terjadi.
Langkah negara pun yang diwakili Detasemen Khusus 88 menjadi sorotan publik. Bahkan, sebagian besar kasus terorisme di negeri ini selalu identik atau diidentikkan dengan aktivis-aktivis Islam.
Upaya pemberantasan terorisme belakangan ini pun cenderung membuat publik jenuh. Pelaku terorisme seolah semakin tumbuh dan berkembang dengan pola dan nama yang baru, sesuai dengan dinamika politik global.
Tidak heran jika sejumlah pihak melihat upaya penanganan terorisme seolah dilakukan berdasarkan pesanan dan intervensi asing. Drama salah tangkap yang kerap dilakukan Densus 88 sering kali merugikan banyak pihak.
Tidak jarang, akibat pertemanan dan teman sepengajian pun bisa langsung ditangkap dan diduga terlibat aksi terorisme. Kasus yang dialami Fahrudin bisa menjadi contoh.
Fahrudin adalah terdakwa kasus ledakan Bom Thamrin. Di depan majelis hakim, Fahrudin menyatakan tidak terlibat aksi tersebut. Korban salah tangkap dalam kasus terorisme kerap berakhir tanpa upaya pemulihan nama baik, bahkan ada yang sampai tewas.
Radikalisme
Seiring berjalannya waktu, gerakan terorisme semakin diimpitkan dengan radikalisme dalam memahami agama Islam, dan juga tentang sistem pemerintahan serta konstitusi negara.
Ada dugaan modus tebar isu, pancing, dan jebak kerap ditebarkan secara sistemik. Praktis, produk yang dihasilkan adalah kekerasan, adu domba, dan saling membunuh.
Gagal paham menentukan seseorang sebagai teroris ini pun terjadi pada serangan teroris yang terjadi di Bandara Orly, Paris pada Sabtu, 18 Maret 2017 lalu. Dalam serangan tersebut, seorang pria bersenjata, Ziyed Ben Belgacem, 39, berhasil ditembak mati oleh pasukan keamanan bandara.
Belgacem tewas setelah ia menodongkan senjata api ke kepala seorang petugas keamanan wanita. Dengan suara lantang, ia ingin mati untuk Allah SWT.
Belakangan, jaksa antiteror Prancis, Francois Molins, membuka hasil penyelidikannya dan mengungkapkan bahwa Ziyed tidak terkait dengan kelompok radikal Islam seperti dugaan sebelumnya. Ziyed diketahui memiliki beberapa catatan kriminal dan hasil autopsi menunjukkan ia mengonsumsi kokain.
Dari kasus Ziyed ini, muncul pertanyaan, individu seperti apa yang berpotensi menjadi seorang teroris? Sejumlah ahli menganjurkan agar dalam melakukan penggambaran ini kita mesti hati-hati karena suatu insiden teror dipercaya berakar dari kemarahan dan selalu diikuti dengan berita dan analisis spekulatif di berbagai media.
Tidak jarang kemudian diikuti dengan kesalahan dalam merepresentasikan apa yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum.
Fakta sejarah membuktikan dua hal terkait isu terorisme. Pertama , sejarah terorisme klasik sejatinya merupakan anak kandung dari dan dibesarkan oleh peradaban barat sendiri. Kekerasan dan terorisme di belahan dunia timur baru terjadi pada awal abad ke 20.
Kedua, ada kecenderungan kuat di Barat dalam memandang Islam Timur Tengah sebagai salah satu kawasan surga bagi kekerasan politik dan terorisme. Padahal kekerasan dan terorisme kontemporer itu juga bersumber dari barat sendiri.
Sayangnya, realita ini sering kali diabaikan. Faktanya, perbedaan antara Timur/Islam dan Barat dengan mempertimbangkan penggunaan kekerasan/terorisme, hanya perbedaan bentuk, bukan substansi. Hal yang pasti keduanya telah membunuh sejumlah besar penduduk selama beberapa dekade terakhir.
UU Terorisme
Perang genderang terhadap aksi terorisme yang digaungkan oleh George W Bush semasa menjadi presiden AS, yang kini masih nyaring kedengarannya telah mendorong pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).
UUPTPT dianggap tak lagi merespons laju kejahatan terorisme yang kian berubah bentuk dan modus. Namun, pengesahan RUUPTPT tak bisa dipaksa untuk dipercepat. Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam mereformulasi kriteria teroris.
Pertama , ketidakjelasan menetapkan seseorang sebagai teroris jelas telah membawa dampak nyata bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian selama ini dialami korban salah tangkap.
Dampaknya antara lain: pertama, penyiksaan [torture ]. Kejadian yang dialami Sukamto, Syafrudin, Syamsul, Jufri dan Syamsudin di Poso pada Desember 2012 lalu dan Siyono di Klaten pada Maret 2016 menunjukkan bukti adanya penyiksaan. setelah ditangkap, mereka pun dipulangkan dalam kondisi fisik yang babak belur.
Kedua , Stigmatisasi. Tindakan aparat penegak hukum secara subyektif menentukan seseorang sebagai kelompok radikal atau teroris telah memberikan stigma terhadap orang tersebut di mata publik bahwa yang bersangkutan adalah teroris.
Dampak ini tidak hanya dialami oleh yang bersangkutan, tetapi juga akan berimbas terhadap keluarga besar yang akan semakin dikucilkan masyarakat.
Ketiga, kehilangan penghasilan. Hal yang sama dialami Angga Dimas, Bambang Sukirno, Wiji Joko Santoso yang bergabung dalam Yayasan Hilal Ahmar dan masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1837/Pen.Pid/2015/PN.Jkt.Pst tanggal 26 November 2015.
Mereka harus menderita karena hilangnya penghasilan usahanya menerbitkan buku kesehatan dan harus menghentikan kegiatan sosialnya dalam membantu umat Islam di daerah konflik karena semua rekening miliknya diblokir.
Akhirnya upaya mereformulasi ketentuan menentukan seseorang itu teroris atau bukan, mutlak dipertegas. Tentu kita tidak mau terbawa situasi adu domba antarumat beragama dijadikan salah satu alasan untuk menjerat seseorang menjadi teroris atau bukan.
Rancangan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana teroris sejatinya harus menjawab kegelisahan masyarakat yang menjadi korban akibat hegemoni kekuasaan dan tindakan brutal oknum aparat atas nama pelaku atau jaringan dari kelompok teroris.
Selain itu, upaya transformasi regulasi menuju pengaturan rancangan undang-undang PTPT yang lebih komprehensif harus memperhatikan kegelisahan umat Islam yang merasa agamanya dibajak dan disalahgunakan oleh kelompok ekstremis-teroris.
Upaya perubahan undang-undang ini diharapkan mendefinisikan ulang guna menegaskan dengan pasti atas jawaban siapa yang dimaksud dengan teroris yang sejati [baca: ideologi] tersebut.
(nag)